Pembelajaran jarak jauh menuntut para guru bertransformasi dan beradaptasi untuk menjaga para siswa tetap belajar. Upaya ekstra para guru ini seharusnya dibarengi pula dengan kebijakan yang ekstra dari pemerintah.
Oleh
Yovita Arika
·5 menit baca
Sudah hampir tujuh bulan pelaksanaan pembelajaran jarak jauh, para guru masih menghadapi berbagai hambatan dalam pembelajaran. Guru pun terus melakukan berbagai upaya agar pembelajaran bisa efektif dan menjaga para muridnya tetap belajar.
Pembelajaran jarak jauh (PJJ) tidak hanya soal bagaimana guru menyampaikan pembelajaran secara daring atau luring, tetapi juga bagaimana menyesuaikan model pembelajaran dengan kondisi siswa. Perbedaan latar belakang sosial siswa yang selama ini disetarakan melalui pembelajaran tatap muka di sekolah, kini menjadi terbuka dan memunculkan kesenjangan.
Karena itu, model pembelajaran tak lagi bisa sama untuk semua siswa karena daya dukung siswa untuk mengikuti PJJ berbeda satu sama lain. Bahkan di kelas yang sama, pembelajaran bisa secara daring dan luring karena tidak semua siswa memiliki akses ke teknologi digital. Tantangan dan kerja ekstra bagi guru.
Di SMA Negeri 2 Gunung Putri, Kabupaten Bogor, Jawa Barat, misalnya, sekolah memfasilitasi para siswa yang tidak mempunyai gawai untuk mengikuti pembelajaran tatap muka di sekolah dengan protokol kesehatan yang ketat. Dari 978 siswa, sekitar 10-15 persen berasal dari keluarga tidak mampu dan tidak mempunyai gawai.
Sedangkan siswa yang memiliki gawai mengikuti pembelajaran daring. Mahalnya harga kuota internet menjadi kendala sejumlah siswa yang perekonomian orangtuanya terdampak pandemi. Bantuan subsidi kuota internet menjadi solusi meski hanya sementara. Menjaga interaksi guru dan siswa menjadi tantangan .
“Untuk tidak menghilangkan konteks interaksi, guru mengajar dari sekolah dengan memanfaatkan enam set studio (untuk pembelajaran daring),” kata Leo Chandra, guru SMAN 2 Gunung Putri, dalam diskusi daring bertema Mengurai Tantangan Pendidikan di Masa Pandemi yang diselenggarakan Pusat Penelitian Kebijakan, Balitbang dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Kamis (8/10/2020).
Namun bagi sekolah yang tidak memiliki fasilitas pendukung seperti SMAN 2 Gunung Putri, pembelajaran daring sangat jauh dari ideal karena minim interaksi. Minuk Karmini, guru SMPN 39 Kota Bekasi, Jabar, misalnya, mengandalkan grup Whatsapp dengan para muridnya untuk pembelajaran daring.
“Ini (menggunakan aplikasi Whatsapp) bukan pembelajaran yang ideal, tetapi kami tetap ingin melayani siswa, termasuk (melayani) siswa yang tidak bisa pembelajaran daring kami visit (guru berkunjung ke rumah siswa). Dengan demikian siswa merasa (tetap) terlayani dan diperhatikan,” kata Minuk.
Melibatkan orangtua
Guru tetap menjadi tumpuan untuk menjaga keberlanjutan belajar para siswa meski guru bukan lagi sentral pembelajaran. Ada orangtua yang seharusnya berperan membimbing anak-anaknya selama belajar di rumah. Namun, kondisi keluarga tidak selalu ideal bagi siswa, tidak semua orangtua bisa mendampingi anaknya ketika belajar karena harus bekerja atau tingkat pendidikannya rendah.
Kemampuan orangtua siswa untuk membimbing anak minim, bahkan ada orangtua siswa yang buta huruf.(Yunita May Atanumba)
“Kemampuan orangtua siswa untuk membimbing anak minim, bahkan ada orangtua siswa yang buta huruf,” kata Yunita May Atanumba, guru SD Masehi Matakapidu, Kabupaten Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur ketika menceritakan pelaksanaan PJJ di sekolahnya.
Karena itu, melibatkan orangtua dalam pendidikan anak-anak mereka selama pandemi ini menjadi tantangan tersendiri bagi Yunita dan guru-guru lainnya. Mereka pun terus berkomunikasi dengan orangtua untuk memberikan pemahaman bahwa siswa harus tetap “bersekolah” meski di rumah.
Mereka mengajak orangtua dan pemerintah desa membuat titik-titik kumpul untuk kegiatan belajar mengajar. Pembelajaran hanya bisa dilakukan melalui guru kunjung karena wilayah di mana sekolah berada dan para siswa tinggal belum terlayani listrik.
Tempat tinggal siswa yang berjauhan, ada yang berjarak 8 kilometer dari sekolah dan harus berjalan kaki melewati gunung dan sungai, membuat pembelajaran melalui guru kunjung hanya bisa dilakukan maksimal selama satu jam di masing-masing titik. Karena itu guru harus selalu memutar otak untuk menghadirkan pembelajaran yang menyenangkan dan efektif bagi siswa.
Dampak PJJ
Melayani siswa dengan empati akan menjaga semangat siswa untuk tetap belajar meski banyak kendala. Sebab, semakin lama PJJ semakin nyata ancaman kehilangan pengalaman belajar (lost learning), juga penurunan kemampuan belajar karena paparan kegiatan belajar yang rutin semakin berkurang.
“Dari survei kami, (selama PJJ) jam belajar menurun, frekuensi belajar setiap minggu juga menurun, banyak (siswa) yang tidak belajar setiap hari, sebagian besar malahan. Pasti ada lost learning, juga potensi putus sekolah terutama di daerah tertinggal,” kata Pelaksana Tugas Kepala Pusat Penelitian Kebijakan (Puslitjak)Balitbang dan Perbukuan, Kemendikbud Irsyad Zamjani.
Pada siswa yang mengikuti pembelajaran daring pun, berdasarkan survei Puslitjak, terjadi penurunan motivasi belajar.“Semakin tinggi jenjang siswa, semakin rendah kehadiran siswa, motivasi belajar semakin berkurang,” kata Indah Pratiwi, peneliti Puslitjak.
Banyak guru telah bertransformasi dan beradaptasi menyikapi perubahan mendadak sistem pendidikan karena pandemi ini. Namun pola strategi ini, menurut peneliti Sosiologi Pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Anggi Afriansyah, masih sangat individual di sekolah-sekolah, dan tergantung pada infrastruktur yang dimiliki sekolah.
Dengan belum adanya kepastian kapan PJJ akan berakhir, otoritas pendidikan dari pusat hingga daerah harus mempunyai ekstra kebijakan untuk meminimalisir lost learning dan juga putus sekolah. Tanggung jawab ini bukan hanya pada guru, tetapi terutama pada pemerintah.
“Dari segi struktural, mesin birokrasi belum berjalan optimal, dari pusat hingga daerah. Kondisi Indonesia mensyaratkan kebijakan yang tidak seragam. Selama ini kesan yang tertangkap, yang diperhatikan siswa yang bisa mengakses internet. Bagaimana mereka yang tidak terakses (internet) jangan sampai ditinggalkan,” kata Anggi.
Karena itu belajar dari para guru, pemerintah juga harus bertransformasi dan beradaptasi untuk melayani semua siswa yang beragam kondisi. Harus ada upaya struktural dengan memanfaatkan mesin birokrasi dari pusat hingga daerah, juga dengan melibatkan komunitas.