Skema perekrutan 1 juta guru PPPK bukan akan mengatasi kekurangan guru, melainkan juga jalan tengah mengatasi permasalahan guru honorer. Peluang guru honorer jadi ASN terbuka lebar. Kendala anggaran pun tak ada lagi.
Oleh
Yovita Arika
·3 menit baca
Pengangkatan guru yang tidak sesuai dengan kebutuhan menjadi titik pangkal perekrutan guru honorer. Kebutuhan guru terus bertambah, baik karena ada guru yang pensiun maupun karena kebijakan pendidikan yang berdampak pada peningkatan kebutuhan guru.
Program wajib belajar sembilan tahun mulai 1994 yang dilanjutkan wajib belajar 12 tahun mendorong penambahan sekolah/ruang kelas untuk meningkatkan akses pendidikan. Pada tahun ajaran 2009/2010 hingga 2016/2017, jumlah siswa SMP negeri, misalnya, meningkat lebih dari 11 persen, tetapi jumlah guru berkurang hampir 4 persen.
Regulasi yang mengatur bahwa setiap mata pelajaran harus diampu oleh guru yang berbeda juga menambah kebutuhan guru. Ketentuan ini tertuang dalam Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2014 tentang Guru dan Dosen serta Peraturan Pemerintah Nomor 74 Tahun 2008 tentang Guru yang diperbarui dengan PP Nor 19/2017.
Kebijakan zonasi dalam penerimaan peserta didik baru (PPDB) sejak 2017 mempunyai andil menambah kebutuhan guru. Kebijakan ini mendorong pemerintah daerah membuka sekolah/kelas baru karena meningkatnya minat siswa masuk sekolah negeri. Sejak penerapan PPDB zonasi, paling tidak ada penambahan 800 sekolah negeri.
Kekurangan guru yang terus bertambah tak terkejar oleh pengangkatan guru baru. Perekrutan guru honorer pun tak dapat dihindari agar pendidikan tidak terganggu. Jika pada 1999/2000 jumlah guru honorer di sekolah negeri sebanyak 84.600 orang dari total 1,5 juta guru di sekolah negeri, sepuluh tahun kemudian meningkat enam kali lipat menjadi 585.300 orang.
Kebutuhan guru yang terus meningkat bak gayung bersambut dengan harapan menjadi pegawai negeri. Banyak yang rela menjadi guru berhonor minim dan tidak ada perlindungan hukum dengan harapan suatu saat diangkat menjadi pegawai negeri sipil.
Saat ini, jumlah guru honorer di sekolah negeri mencapai 742.459 orang atau 36 persen dari total guru di sekolah negeri. Mereka mengisi kekurangan guru yang tahun ini mencapai 1.020.921 orang.
Sistem merit
Harapan menjadi pegawai negeri sipil tidak selalu mudah terwujud karena perekrutan CPNS terbatas, apalagi pemerintah pernah melakukan moratorium perekrutan CPNS. Usia juga menjadi kendala karena persyaratan mendaftar CPNS maksimal 35 tahun, belum lagi harus bersaing dengan lulusan Lembaga Pendidikan Tenaga Kependidikan (LPTK) yang baru.
Di rentang waktu 2004-2014, pemerintah memang pernah mengangkat sekitar 1 juta tenaga honorer, termasuk guru honorer menjadi PNS secara otomatis. Namun, reformasi birokrasi yang mengacu pada Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (ASN) tidak memungkinkan lagi pengangkatan tenaga honorer secara otomatis menjadi ASN.
Karena itu, pada 2018 pemerintah membuka peluang bagi guru honorer dan tenaga honorer lainnya yang melewati batas maksimal usia mendaftar CPNS untuk menjadi ASN melalui pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja (PPPK). Namun, perekrutan pertama pada 2019 yang tanpa didahului usulan formasi pegawai dari pemerinta daerah ini menyebabkan 34.954 guru honorer yang lulus seleksi hingga kini masih menunggu penetapan.
Ketentuan penggajian PPPK daerah bersumber pada APBD membuat pemda alot mengusulkan formasi PPPK dengan alasan keterbatasan anggaran. Karena itu, tidak heran jika saat ini pun usulan formasi guru PPPK baru sekitar 200.000 meski pemerintah membuka lowongan guru PPPK tahap kedua hingga 1 juta mulai 2021 untuk mengatasi kekurangan guru ASN.
Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nadiem Anwar Makarim dalam beberapa kesempatan meminta pemda mengusulkan formasi sebanyak-banyaknya karena pemerintah pusat telah memastikan anggaran tersedia untuk gaji dan tunjangan guru PPPK. Saat pengumuman rencana seleksi guru PPPK 2021 pada 23 November 2020, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pun menjamin anggaran untuk guru PPPK.
Guru PPPK yang menikah dan mempunyai dua anak, misalnya, akan mendapatkan gaji dan tunjangan kinerja sama seperti ASN sekitar Rp 4,06 juta per bulan. Pembayarannya melalui transfer umum dan penyaluran dana alokasi umum setiap bulan setelah pemda menyampaikan realisasi belanja pegawai.
Skema ini menjadi jalan tengah untuk mengangkat guru honorer menjadi ASN karena pemda mendapat kepastian anggaran. Namun, skema ini belum sepenuhnya menjamin penyelesaian masalah guru honorer. Mereka harus lulus seleksi dan saingan mereka tidak hanya sesama guru honorer, tetapi juga lulusan Pendidikan Profesi Guru (PPG) yang saat ini tidak mengajar.
Direktur Jenderal Guru dan tenaga Kependidikan Kemendikbud Iwan Syahril optimistis dengan kesempatan tes hingga tiga kali akan memberi peluang besar bagi guru honorer untuk lulus seleksi. Apalagi Kemendikbud juga menyediakan materi pelatihan bagi guru honorer agar siap mengikuti seleksi ini. Kalaupun pada akhirnya nanti tetap ada guru honorer yang tidak lulus seleksi, mereka tetap diberi kesempatan mengajar hingga formasi guru ASN terisi.
Sembari menunggu kebutuhan 1 juta guru PPPK terpenuhi, larangan pemerintah daerah merekrut guru honorer harus ditegakkan. Ketentuan honor minimal sesuai upah minimal provinsi juga jangan sekadar imbauan. Selain itu, buka kesempatan bagi guru honorer untuk mengikuti ujian sertifikasi guru.