Anggaran Pendidikan Perlu Mempertimbangkan Mitigasi Risiko
Pandemi Covid-19 telah memaksa lebih dari 68 juta anak Indonesia tidak belajar di sekolah. Dengan akses dan daya serap bervariasi, mereka berupaya mengikuti pendidikan jarak jauh demi mengurangi terhentinya pembelajaran.
Oleh
Mediana
·5 menit baca
Pandemi Covid-19 yang kini masih berlangsung membuat aktivitas kegiatan-kegiatan pembelajaran secara langsung di sekolah terhenti. Pembelajaran jarak jauh lantas menjadi pilihan utama agar anak-anak tetap mendapatkan layanan pendidikan. Ini menjadi pembelajaran bahwa penyusunan perencanaan alokasi anggaran semestinya diarahkan untuk memitigasi segala risiko potensi negatif.
Hal itu mengemuka dalam diskusi daring Melek APBN #9 "APBN Pendidikan Selalu Naik: Ekspektasi vs Realita", Sabtu (5/9/2020), di Jakarta. Diskusi ini dikelola Himpunan Mahasiswa Administrasi Publik Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Diponegoro.
Bank Dunia dalam "Temuan Inti: Estimasi Dampak Covid-19 pada Sistem Pembelajaran dan Pendapatan di Indonesia - Cara Mengubah Arus (Agustus 2020)" mempertimbangkan efek dari periode penutupan sekolah dan efektivitas mitigasi. Hasilnya terdapat tiga skenario, yakni "saat ini", "optimistis", dan "pesimistis".
Skenario "saat ini" menilai dampak penutupan dampak penutupan sekolah selama periode empat bulan atau 24 Maret - akhir Juli 2020. Skenario "optimistis" mengasumsikan dampak saat semua sekolah akan dibuka pada September 2020 sehingga total waktu penutupan sekolah mencapai enam bulan. Adapun skenario "pesimistis" memperkirakan dampak jika sekolah ditutup selama delapan bulan.
Patokan dampak yang dipakai oleh Bank Dunia dalam laporan itu di antaranya hasil Program Penilaian Pelajar Internasional atau PISA. Program ini mengukur pembelajaran siswa untuk membaca, Matematika, dan Sains.
Untuk pengukuran kemampuan membaca, misalnya, dengan skenario "saat ini", Bank Dunia memproyeksikan bahwa siswa sekolah menengah di Indonesia akan kehilangan rata - rata 11 poin dibanding skor PISA tahun 2018. Bagi siswa dari keluarga termiskin, pengurangan skor kemampuan membaca diperkirakan 4 persen, sedangkan siswa dari keluarga terkaya sebesar 2 persen.
Sebelum Covid-19, perbedaan poin skor kemampuan membaca siswa dari kuintil termiskin dan terkaya adalah 57 atau setara 1,4 tahun sekolah. Setelah empat bulan penutupan sekolah, perbedaan poin naik menjadi 64 atau setara 1,6 tahun sekolah.
Dalam laporan tersebut, Bank Dunia turut menyertakan hasil survei Pendataan Potensi Desa (PODES) tahun 2018. Isinya adalah sekitar 96 persen penduduk Indonesia telah terjangkau internet ataupun televisi.
Ini adalah dua moda pendukung utama pembelajaran selama penutupan sekolah. Namun, hanya 86 persen dari total populasi dapat mengakses moda tersebut karena keterbatasan sarana akses internet dan televisi. Bank Dunia mengasumsikan, efektivitas pembelajaran jarak jauh baru setara 40 persen tatap muka langsung di sekolah.
Masyarakat semestinya bukan hanya melihat angka alokasi untuk pendidikan yang muncul di anggaran pendapatan dan belanja negara atau daerah, melainkan juga arah peruntukannya (dalam) memitigasi risiko. (Patrya Pratama)
"Masyarakat semestinya bukan hanya melihat angka alokasi untuk pendidikan yang muncul di anggaran pendapatan dan belanja negara atau daerah (APBN/APBD), melainkan juga arah peruntukannya (dalam) memitigasi risiko," ujar Direktur Eksekutif Inisiatif Kepemimpinan Pendidikan untuk Raih Prestasi (INSPIRASI) Foundation Patrya Pratama.
Berangkat dari proyeksi potensi risiko negatif, dia memandang ada dua pertimbangan yang harus diputuskan pemerintah ketika menyusun alokasi anggaran pendidikan. Pertimbangan pertama menyangkut peruntukan untuk meningkatkan infrastruktur akses pembelajaran. Pertimbangan kedua mengenai peruntukan peningkatan kualitas pembelajaran.
Patrya mengatakan, sebelum pandemi Covid-19, anak berangkat ke sekolah sehingga alokasi anggaran pendidikan tentunya fokus kepada kualitas pembelajaran. Sementara saat pandemi, realitas menunjukkan keragaman kondisi belajar - mengajar. Tidak semua orangtua piawai mendampingi anak belajar serta tidak semua guru dan kepala sekolah fasih mengelola manajemen pembelajaran jarak jauh.
"Pengelolaan satuan pendidikan di Indonesia sudah terdesentralisasi sehingga mempengaruhi ekseskusi rencana penganggaran di masing - masing daerah. Kami menyarankan agar penyusunan rencana alokasi anggaran pendidikan tahun depan pun harus melihat kenyataan itu," kata dia.
Berdasarkan hasil rapat koordinasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemdikbud) dan Komisi X DPR, 3 September 2020, Kemdikbud mengusulkan pagu anggaran pada RAPBN 2021 sebesar Rp 81,5 triliun. Dana ini diperuntukkan untuk lima program. Program pertama adalah pendidikan anak usia dini (PAUD) dan wajib belajar 12 tahun (Rp 12,35 triliun), pemajuan dan pelestarian budaya (Rp 975,9 miliar), kualitas pengajaran dan pembelajaran (Rp 11,6 triliun), pendidikan tinggi (Rp 27,6 triliun), pendidikan dan pelatihan vokasi (Rp 5,2 triliun), dan dukungan manajemen (Rp 23,6 triliun).
Dalam kesempatan itu, Mendikbud Nadiem Makarim juga mengajukan anggaran sekitar Rp 1,48 triliun untuk program kurikulum dan asesmen kompetensi minimum atau pengganti ujian nasional 2021. Anggaran terbesar dialokasikan untuk kurikulum.Adapun rinciannya pelatihan dan pendampingan terkait kurikulum untuk guru dan tenaga kependidikan sebesar Rp 518,8 miliar, pengembangan kurikulum dan perbukuan Rp 137,8 miliar dan implementasi kurikulum Rp 346,9 miliar.
Wakil Sekretaris Jenderal Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI) Satriwan Salim yang hadir saat diskusi Melek APBN #9, mengatakan, pihaknya menyayangkan kabar tentang Mendikbud mengajukan anggaran untuk program kurikulum dan asesmen kompetensi minimum. Dia memandang, pengajuan itu tidak melihat realitas kondisi pembelajaran selama pandemi Covid-19.
Kondisi sekarang adalah darurat. Kami harap, pemerintah menganggarkan untuk kebutuhan memitigasi risiko yang berpotensi timbul karena pandemi Covid-19. (Satriwan Salim)
"Kondisi sekarang adalah darurat. Kami harap, pemerintah menganggarkan untuk kebutuhan memitigasi risiko yang berpotensi timbul karena pandemi Covid-19," ujar dia.
Satriwan mengatakan, selama penutupan sekolah, penerapan pembelajaran jarak jauh terdiri dari metode daring dan luring. Untuk metode daring, kebanyakan pemakaiannya adalah siswa kelas menengah atas, terjangkau akses internet, dan punya gawai. Keluhan mereka soal pengeluaran pulsa sudah dijawab pemerintah melalui bantuan kuota internet.
Sementara PJJ metode luring, kebanyakan dijalani oleh siswa dan guru di daerah pelosok. Mereka memiliki keterbatasan akses internet, gawai, dan sarana pembelajaran lainnya. Sejumlah guru pun harus menerapkan praktik kunjung.
"Kami berharap, alokasi anggaran pendidikan tidak semata - mata diperuntukan untuk memperbaiki skor PISA. Realitas kondisi pembelajaran di masyarakat sangat beragam," kata dia.
Wakil Dekan II FISIP Universitas Diponegoro, Ika Riswanti Putranti, berpendapat pentingnya organisasi masyarakat peduli pendidikan untuk ikut memberikan saran peruntukan APBN dan APBD. Pemerintah bisa melibatkan mereka.
Menurut dia, agar memudahkan mitigasi risiko karena pandemi Covid-19, pemerintah perlu memetakan persoalan pembelajaran yang muncul. Setelah itu, pemerintah baru menyusun alokasi anggaran dan peruntukan.