Kebijakan untuk pembelajaran jarak jauh lebih mendukung pembelajaran daring. Siswa yang tidak memiliki gawai untuk pembelajaran daring dan yang melakukan pembelajaran luring masih di luar jangkauan bantuan pemerintah.
Oleh
Yovita Arika
·4 menit baca
Kebijakan subsidi kuota internet untuk pembelajaran jarak jauh dalam jaringan atau daring mendapat apresiasi sekaligus kritik. Subsidi ini dapat memperlancar pembelajaran daring, tetapi penyaluran bantuan ini secara merata berbasis nomor telepon seluler dinilai tidak tepat sasaran.
Subsidi ini akan diberikan kepada semua guru, dosen, siswa, dan mahasiswa tanpa kecuali asalkan mendaftarkan nomor telepon seluler ke Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Satu nomor telepon seluler bisa didaftarkan untuk lebih dari satu siswa jika para siswa tersebut menggunakan satu gawai untuk pembelajaran daring.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan beralasan, butuh waktu lama jika harus memilah-milah berdasarkan kebutuhan. Subsidi kuota internet harus segera disalurkan mulai September 2020. Berdasarkan data nomor telepon seluler tersebut, Kemendikbud juga berharap bisa memetakan siswa yang tidak bisa mengikuti pembelajaran jarak jauh (PJJ) secara daring.
Ketika opsi (pemberian subsidi kuota internet) semua sama rata, ini bagian dari refleksi kelemahan sistem pendataan.
”Ketika opsi (pemberian subsidi kuota internet) semua sama rata, ini bagian dari refleksi kelemahan sistem pendataan,” kata Ketua Komisi X DPR Syaiful Huda ketika dihubungi Kompas pada Jumat (28/8/2020).
Komisi X telah membentuk Panitia Kerja PJJ dan hasilnya, salah satunya, meminta Kemendikbud menyediakan peta masalah PJJ di setiap satuan pendidikan, termasuk ketersediaan listrik, jaringan telekomunikasi, serta kemampuan peserta didik dan orangtua. Informasi ini bisa menjadi dasar pengambilan kebijakan yang lebih tepat untuk mengurai masalah PJJ.
Lima bulan PJJ seharusnya sudah cukup untuk memetakan masalah. ”Kan, sudah jelas daerah mana yang tidak terakses internet, tidak ada listrik, dan sebagainya. Tanpa ada kebijakan kuota ini pun seharusnya sudah terpetakan,” kata Anggi Afriansyah, peneliti sosiologi pendidikan di Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Jumat (28/8/2020).
Mengacu data Kemendikbud sebelum pandemi, sebanyak 40.779 (18 persen) sekolah dasar dan menengah tidak memiliki akses internet dan 7.552 (3 persen) sekolah belum terpasangi fasilitas listrik. Sekolah-sekolah yang belum terpasangi listrik ini dipastikan berada di daerah yang belum ada infrastruktur jaringan internet, yang hingga kini masih 11.277 desa/kelurahan.
Dengan kondisi tersebut, PJJ tidak bisa seluruhnya diselenggarakan secara daring, tetapi juga luring, atau kombinasi keduanya karena faktor kepemilikan gawai, akses internet, ataupun geografis. Dari akses teknologi, meskipun jumlah kepemilikan telepon seluler di Indonesia lebih dari 140 persen penduduk, penggunanya baru 62,41 persen karena satu orang bisa memiliki lebih dari satu telepon seluler, dan pengakses internet baru 39,90 persen penduduk (BPS, 2019).
Survei yang dilakukan sejumlah lembaga, seperti Unicef Indonesia, Wahana Visi Indonesia (WVI), Komisi Perlindungan Anak Indonesia, dan sejumlah organisasi guru, pun menggambarkan permasalahan dalam PJJ. Bahkan, survei WVI di sembilan provinsi pada 12-18 Mei 2020 menemukan, 32 persen dari 943 anak yang disurvei tidak bisa mengikuti PJJ baik daring maupun luring.
Di semua provinsi dipastikan lebih banyak lagi siswa yang tidak dapat mengikuti pembelajaran sama sekali karena pandemi ini, terutama di daerah tertinggal, terluar, dan terdepan (3T). Laporan yang diterima Federasi Serikat Guru Indonesia (FSGI), misalnya, sejumlah siswa di Konawe Selatan, Sulawesi Tenggara, juga mengalami hal serupa. Faktor geografis menjadi kendala utama guru berkunjung ke rumah siswa.
Tertinggal
Namun, selama ini, kebijakan Kemendikbud lebih mendukung pembelajaran daring. Ini mulai dari penyediaan akses gratis ke sekitar 10 laman belajar daring, relaksasi dana bantuan operasional sekolah (BOS) untuk subsidi kuota internet bagi guru dan siswa, serta subsidi kuota internet. Program Belajar di Rumah melalui TVRI dan RRI sifatnya hanya tambahan pelajaran dan tidak semua siswa yang disasar dapat mengaksesnya.
Ketiadaan peta masalah PJJ, kata Wakil Sekretaris Jenderal FSGI Satriawan Salim, membuat banyak siswa belum tersentuh bantuan. Para siswa yang tidak mempunyai gawai untuk PJJ daring, siswa yang mengikuti pembelajaran luring, juga siswa yang tidak bisa mengikuti pembelajaran masih di luar jangkauan bantuan pemerintah.
Kebijakan pendidikan di masa pandemi, kata Anggi, seharusnya memprioritaskan mereka yang terkendala dan tidak mempunyai akses PJJ. Dalam kondisi normal sebelum pandemi pun, para siswa dari keluarga berpenghasilan rendah ini umumnya sudah tertinggal dibandingkan dengan siswa lain dari keluarga menengah ke atas.
”Kalau kondisi ini sampai akhir tahun, kalau tidak ada bantuan pemerintah, mereka akan terus tertinggal. Format bantuan jangan hanya pada mereka yang mempunyai akses teknologi, tetapi juga yang tidak, yang harus (belajar) tatap muka atau luring,” kata Anggi.
Sebelum pandemi pun, persoalan akses pendidikan masih mendominasi. Sebanyak 4,33 juta (6 persen) anak putus sekolah, sebagian besar karena faktor ekonomi. Kesenjangan pendidikan juga masih tinggi dilihat dari angka partisipasi kasar (APK) SMP kelompok termiskin yang hanya 89,68 persen dibandingkan kelompok terkaya yang 91,37 persen. Di jenjang SMA/sederajat pun demikian, APK 70,14 persen pada kelompok termiskin dibandingkan 95,26 persen pada kelompok terkaya.
Jika selama ini guru-guru berjibaku mencari cara yang efektif untuk mengajar dan berupaya agar para muridnya tidak tertinggal, demikian pula hendaknya pemerintah. Keberpihakan pada mereka yang terkendala PJJ, kata Anggi, menjadi hal utama agar mereka tidak semakin tertinggal. Pintu masuk peningkatan kualitas pendidikan adalah akses yang setara terlebih dahulu, baru bicara teknologi.