Kekerasan Seksual Sudah Darurat, DPR Tunggu Apa Lagi?
Indonesia berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Tidak ada kata yang lebih tinggi lagi dari itu. Ironisnya, DPR justru tidak melanjutkan pembahasan Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual.
Oleh
SONYA HELLEN SINOMBOR
·6 menit baca
Rancangan Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual kembali ke titik nol. Itulah kata yang paling tepat untuk menanggapi keputusan Dewan Perwakilan Rakyat yang mengeluarkan dari daftar Program Legislasi Nasional Prioritas 2020, pada awal Juli lalu. Maka, kekecewaan dan kemarahan pun dilontarkan sejumlah kalangan kepada para wakil rakyat.
Betapa tidak, saat ini, pembahasan dan pengesahan Rancangan Undang-Undang (RUU) Penghapusan Kekerasan Seksual menjadi undang-undang dinilai sudah sangat mendesak. Kehadiran undang-undang yang akan menjadi payung hukum untuk mencegah kekerasan seksual dan melindungi para korban, sudah ditunggu, menyusul kondisi darurat kekerasan seksual di Tanah Air.
Kita berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Tidak ada kata yang lebih tinggi lagi dari itu.
“Kita berada dalam kondisi darurat kekerasan seksual. Tidak ada kata yang lebih tinggi lagi dari itu. Mau pakai kata apa lagi, supaya anggota Dewan Perwakilan Rakyat memahami akan urgensi dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual,” ujar Arianti Ina Restuani Hunga, Ketua Pusat Studi Gender dan Anak, Universitas Kristen Satya Wacana (UKSW) Salatiga, Jawa Tengah, Minggu (2/7/2020).
Arianti mengakui sebagai akademisi, dirinya sungguh gemas terhadap sikap para wakil rakyat yang terkesan ‘mengabaikan’ dan ‘menyepelekan’ persoalan kekerasan seksual yang terjadi selama ini. Alasan, DPR yang merasa sulit menyelesaikan pembahasan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual di masa pandemi Covid-19, dinilai terlalu mengada-ada, bahkan menimbulkan berbagai pertanyaan publik.
Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak, I Gusti Ayu Bintang Darmawati, dalam sebuah seminar daring, mengungkapkan kekerasan seksual terhadap perempuan dan anak sudah pada tingkat yang sangat mencemaskan, karena kasusnya cenderung meningkat. Survei Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) yang dilakukan Kementerian PPPA dan Badan Pusat Statistik (BPS) 2016, menemukan 11,3 persen perempuan dan anak yang mengalami kekerasan seksual.
Sedangkan pada masa pandemi angka kekerasan seksual diperkirakan meningkat. Dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan (Simfoni) KemenPPPA, hingga 24 Juni 2020 laporan Kekerasan terhadap Perempuan mencapai 1.799 kasus, dengan 231 kasus kasus kekerasan seksual sebanyak 231 kasus.
Terakhir, kasus pemerkosaan terhadap seorang remaja oleh anggota Pusat Pelayanan Terpadu Pemberdayaan Perempuan dan Anak Lampung Timur, dan kekerasan seksual dengan pelaku warga negara Perancis, dengan puluhan korban. Diduga masih banyak kasus yang tidak dilaporkan.
Berbagai kasus kekerasan seksual yang menimpa perempuan, bahkan anak-anak perempuan dan laki-laki, yang terungkap sepanjang masa pandemi Covid-19, seharusnya membuka mata dan menggugah hati para wakil rakyat. Kasus-kasus kekerasan seksual yang semakin meningkat dengan modus yang semakin canggih, seharusnya mendorong DPR bergegas membahas dan mengesahkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual.
Dengarkan jeritan korban
Sebagai wakil rakyat, seharusnya DPR berada di garda terdepan menyuarakan jeritan para korban kekerasan seksual dan memperjuangkan keadilan bagi korban karena kasus-kasus yang dialaminya belum diatur oleh hukum nasional yang berlaku saat ini.
”Sikap DPR sulit diterima dengan akal sehat dan nalar kita. DPR mau tunggu apa lagi? Darurat kekerasan seksual sudah disuarakan sejak delapan tahun yang lalu oleh Komisi Nasional Anti Kekerasan Seksual terhadap Perempuan. Justru di masa pandemi Covid-19 inilah momentum untuk menghadirkan aturan hukum yang akan melindungi korban dan mencegah jatuhnya korban lebih banyak,” tegas Arianti.
Saking gemasnya pada DPR, Arianti dan para akademisi, pekan lalu, menggalang gerakan mendukung RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dikembalikan lagi ke posisi Prolegnas Prioritas 2020. Hingga, Minggu sekitar 1.500 dukungan akademisi terkumpul. Jika DPR memang merasa sulit mengurai aturan yang akan diatur dalam RUU tersebut, para akademisi menyatakan siap membantu dengan mengerahkan semua kemampuan akademik mereka.
Bukan hanya akademisi, semenjak DPR menghapuskan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dari daftar Prolegnas Prioritas 2020, ratusan organisasi masyarakat sipil yang selama ini mengawal perjalanan RUU tersebut juga mengungkapkan kekecewaan bahkan kemarahan mereka terhadap DPR. Sejak pekan lalu, organisasi masyarakat sipil kembali turun ke jalan. Mereka menggelar aksi di depan Gedung MPR/DPR/DPD.
Tidak serius
Tidak adanya kemajuan berarti dari proses RUU Penghapusan Kekerasan Seksual sesungguhnya menunjukkan DPR belum memahami situasi genting persoalan kekerasan seksual yang terjadi di Tanah Air. Bahkan DPR dianggap tidak serius untuk membahas RUU tersebut.
Sikap tidak serius DPR sebenarnya sudah ditunjukkan sejak periode 2014-2019. Perjalanan legislasi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual seperti sengaja ditarik ulur oleh Panitia Kerja Komisi VIII DPR. Hingga akhir masa periode DPR lalu sesungguhnya tidak ada kemajuan berarti dari RUU tersebut.
Bahkan janji anggota DPR bahwa RUU Penghapusan Kekerasan Seksual akan di-carry over (dilanjutkan pembahasannya oleh DPR periode 2019-2024) hanya janji kosong. Buktinya, proses legislasi UU tersebut kembali lagi di titik awal.
Padahal, dari sisi anggaran, proses legislasi dari RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bukan tanpa biaya. Sebelum masuk ke pembahasan RUU tersebut, anggota panja melakukan kunjungan kerja ke Perancis (13-20 Maret) dan Kanada (17-24 Maret).
Dalam laporan kepada pimpinan DPR, kunjungan ke Perancis diikuti 13 anggota panja dan tiga tenaga sekretariat komisi tersebut. Namun, di agenda hanya separuh waktu untuk studi banding, tapi setengah waktunya ternyata dipakai untuk jalan-jalan ke pusat wisata gunung Jungfraujoch di Swiss.
Sementara ketika pulang dari kunjungan luar negeri, hampir tidak terlihat antusiasme anggota panja untuk meneruskan RUU tersebut. Kecuali mengundang beberapa pakar dan perwakilan organisasi perempuan/keagamaan, selama sisa waktu periode DPR, rapat panja terkait RUU Penghapusan Kekerasan Seksual tidak menunjukkan perkembangan berarti.
Bahkan, pada tahun 2019, meski ada jadwal, sering rapatnya batal. Kalau ada rapat dengar pendapat, jumlah anggota panja yang hadir hanya hitung jari.
Saat periode DPR berganti, muncul kembali asa kepada para wakil rakyat untuk melanjutkan RUU Penghapusan Kekerasan Seksual. Organisasi masyarakat sipil menagih janji DPR soal carry over, tapi ternyata itu tidak ada. RUU Penghapusan Kekerasan Seksual kembali masuk daftar prolegnas, seperti RUU yang lain.
Belakangan, RUU itu menjadi usulan inisiatif dari anggota Badan Legislasi DPR. Namun, belakangan RUU tersebut diambil alih oleh Komisi VIII sebagai usul inisiatif Komisi tersebut. Akan tetapi di tengah jalan, Komisi VIII angkat tangan dan menarik diri sebagai pengusul, dengan alasan tidak ada titik temu dan menjadi beban legislasi. Ujungnya, awal Juli lalu, status RUU Penghapusan Kekerasan Seksual didrop dari daftar Prolegnas Prioritas 2020.
Hingga saat ini, posisi RUU Penghapusan Kekerasan Seksual pun masih menggantung. Taufik Basari, anggota Baleg DPR dari Fraksi Nasdem, yang awalnya menjadi pengusul RUU tersebut, juga sempat kecewa ketika tahu RUU tersebut berpindah ke Komisi VIII. Dia bahkan baru tahu belakangan bahwa status RUU tersebut beralih ke Komisi VIII.
”Secara formal status RUU masih usulan Komisi VIII,” ujar Taufik, yang berharap ada peluang untuk mengambil RUU tersebut sebagai usulan inisiatif Baleg, seperti awalnya.
Kini, nasib RUU Penghapusan Kekerasan Seksual bergantung pada DPR. Apakah akan maju atau tetap jalan di tempat, hanya DPR-lah yang tahu. Kondisi darurat kekerasaan seksual saat ini seharusnya mengetuk nurani para wakil rakyat!