Hati-hati! Kejahatan Berbasis Jender Lewat Daring Mengintai Anak Perempuan
Kekerasan berbasis jender secara daring sebelum dan saat pandemi Covid-19 membayangi anak-anak dan kaum muda seiring meningkatnya penggunaan internet saat belajar dari rumah. Pengawasan orangtua menjadi kunci.
Kekerasan berbasis jender melalui daring sebelum dan saat pandemi Covid-19 membayangi anak-anak dan kaum muda seiring meningkatnya penggunaan internet saat belajar dari rumah. Orangtua harus meningkatkan pengawasan kepada anak-anak agar jangan sampai mereka menjadi korban pelaku kejahatan seksual melalui daring.
”Yakinkan diri sendiri bahwa kamu spesial dan layak dicintai dan dihargai oleh siapa pun. Memberi peringatan untuk diri sendiri terhadap apa pun yang membuat diri tidak nyaman, serta beranikan diri sendiri untuk bisa melawan dan menolak. Sebab, tidak ada yang berhak menyentuh tubuhmu tanpa izin darimu.”
Kalimat di atas adalah tips dan nasihat dari Renya Reka dari Youth Coalition for Girls (YCG) Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, kepada anak-anak muda jika mereka menjadi korban kekerasan berbasis jender saat hadir dalam Serial Diskusi #1 Jaringan AKSI dan Rumah Kita Bersama (Rumah KitaB), Rabu (13/5/2020). Diskusi itu mengusung tema ”Kekerasan Berbasis Gender pada Anak dan Kaum Muda di Masa Pandemik Covid-19”.
Dalam forum diskusi daring tersebut, Renya mengingatkan kepada anak-anak perempuan, termasuk laki-laki, untuk berhati-hati saat mengenal seseorang melalui media sosial. Bagi Renya, sikap berani melawan dan menolak bujuk rayu seseorang untuk melakukan hal-hal yang bertentangan dengan kehendak diri sendiri harus dimulai dari anak-anak muda sendiri.
”Jika berada dalam suatu hubungan, ingat! Dia bukan satu-satunya orang yang mencintai kamu,” tegas Renya seraya memaparkan hasil survei YCG tentang kekerasan dalam berpacaran di Kota Kupang tahun 2018 dan 2019.
Kasus kekerasan yang banyak dialami responden adalah tindakan stalking (pacar memaksa mengetahui password akun media sosial dan yang bersangkutan harus terus melaporkan keadaannya).
Dari survei terhadap anak perempuan usia 13-18 tahun, YCG menemukan kasus kekerasan yang banyak dialami responden adalah tindakan stalking (pacar memaksa mengetahui password akun media sosial dan yang bersangkutan harus terus melaporkan keadaannya). Berikutnya adalah kekerasan psikologis dan seksual serta fisik.
Dari situasi itulah kemudian YCG gencar berkampanye kepada anak-anak muda di kotanya, bahkan di Tanah Air, untuk peka. Jika menjadi teman korban, Renya meminta agar menjadi teman yang triple L (look, listen, link), yakni tetaplah memantau, mendengarkan, dan bersama dengan teman yang menjadi korban.
”Yakinkan korban bahwa ia berharga dan memiliki hak untuk diperlakukan dengan layak. Dampingi korban dan jangan mengisolasi dari lingkungan, serta mengajaknya menceritakan masalah ini dengan keluarga atau teman yang dia percaya,” ujarnya.
Survei YCG menunjukkan betapa kekerasan berbasis jender, terutama berbasis daring, sudah mengintai anak muda, terutama perempuan, sebelum pandemi Covid-19 terjadi. Saat pandemi Covid-19, ancaman kekerasan tersebut semakin menguat.
Terbukti, selama masa pandemi Covid-19, hingga medio Mei 2020, dari semua pengaduan yang masuk ke layanan hotline Lembaga Bantuan Hukum Asosiasi Perempuan Indonesia untuk Keadilan (LBH APIK) Jakarta, kekerasan berbasis jender secara daring paling banyak dilaporkan. Sejumlah anak perempuan berusia 11 hingga 20 tahun menjadi korban bujuk rayu sejumlah pelaku kejahatan seksual dan pacar.
Dari 172 pengaduan yang diterima LBH APIK Jakarta, sebanyak 60 kasus yang diadukan adalah kekerasan berbasis jender secara daring. ”Pelaku kekerasan ini merayu dan memberikan iming-iming agar korban mengirimkan foto dan video terkait aktivitas seksual. Setelah korban mengirimkan foto dan video dirinya, pelaku kemudian memeras korban,” ujar Uli Pangaribuan, Koordinator Pelayanan Hukum LBH APIK Jakarta.
Selanjutnya, ketika korban tidak mau mengikuti kemauan pelaku, pelaku mengancam akan menyebarkan foto dan video di media sosial. ”Biasanya korban tidak sadar jika diminta melepaskan pakaian, lalu direkam video oleh pelaku. Setelah itu, pelaku meminta lagi korban melakukannya. Ketika korban tidak mau, pelaku mengancam akan menyebarkan video yang sebelumnya,” tutur Uli.
Modus yang sama terjadi pada kasus kekerasan dalam berpacaran. Biasanya, sang pelaku adalah pacar korban, yang kemudian memeras korban, meminta uang dan lain-lain. Jika tidak dikabulkan, pelaku mengancam menyebarkan foto atau video korban.
Menimpa anak perempuan
Tak hanya pengaduan di LBH APIK, kekerasan terhadap anak muda secara daring juga tergambar dalam hasil survei (masih dalam pendataan sementara) yang dilakukan Yayasan Plan International Indonesia (YPII) terkait isu kekerasan terhadap anak dan kaum muda di masa pandemi Covid-19.
YPII sejak akhir April hingga medio Mei 2020 di delapan provinsi (Aceh, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Nusa Tenggara Barat, Nusa Tenggara Timur, Papua, dan Sulawesi Tengah) melakukan pengambilan data dalam dua survei, pertama tingkat desa, kedua terhadap anak dan kaum muda. Survei di tingkat desa (19 April-14 Mei 2020) dengan 314 responden (pemerintah desa, komite perlindungan anak desa dan lembaga sejenis, guru, tenaga kesehatan desa). Survei terhadap anak dan kaum muda meliputi 434 responden (per 18 Mei 2020), responden berusia di bawah 24 tahun, baik perempuan maupun laki-laki (termasuk disabilitas).
Hasilnya, selama masa pandemi Covid-19, sejumlah anak dan kaum muda, terutama perempuan, malah menjadi korban kekerasan dalam berbagai bentuk, mulai kekerasan emosional/psikis, ekonomi, verbal, fisik, seksual, penelantaran, kekerasan secara daring, hingga perkawinan, eksploitasi, dan perdagangan anak.
”Tren yang terlihat dari survei tersebut, ternyata anak perempuan adalah korban kekerasan paling besar, sementara pelaku kekerasannya sebagian besar laki-laki,” ujar Rani Hastari, Gender and Inclusion Specialist YPII.
Karena itulah anak dan kaum muda perlu mendapat perhatian khusus dan dilibatkan secara bermakna dalam menghadapi situasi pandemi ini. Kerentanan perlu dilihat dari berbagai sisi sesuai konteks mengingat anak dan kaum muda mengalami situasi yang beragam dan risiko terhadap bermacam bentuk kekerasan, khususnya terhadap perempuan dan penyandang disabilitas.
Semua pemangku kepentingan dan lembaga terkait dari pusat hingga daerah perlu melihat situasi lebih dalam agar upaya penanganan, dukungan, dan pendekatan yang dilakukan dapat tepat sasaran dan mengatasi masalah yang sebenarnya.
Catatan Tahunan Komisi Nasional Antikekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) Tahun 2020 menunjukkan sepanjang tahun 2019 tercatat kenaikan yang cukup signifikan, yakni pengaduan kasus kejahatan siber sebanyak 281 kasus (2018 tercatat 97 kasus) atau naik 300 persen dibandingkan tahun 2018 yang tercatat 97 kasus. Kasus siber terbanyak berbentuk ancaman dan intimidasi penyebaran foto dan video porno korban.
Tersamarkan
Selama pandemi Covid-19, dari data Sistem Informasi Online Perlindungan Perempuan dan Anak (SIMFONI-PPA) sejak 1 Januari hingga 17 Mei 2020, angka kekerasan terhadap anak yang dilaporkan sejumlah lembaga layanan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (PPPA) mencapai 2.191 kasus. Dari jumlah tersebut, terdapat 2.400 anak yang menjadi korban, di antaranya korban kekerasan dalam rumah tangga sebanyak 554 anak.
Bentuk kekerasan yang paling banyak diterima anak, baik sebelum maupun sesudah pandemi, sama, yaitu kekerasan seksual, fisik, dan psikis. Meski secara grafik laporan menurun, hal itu tidak berarti kasus kekerasan terhadap anak tidak banyak terjadi sebab ada banyak hambatan bagi korban untuk melapor karena di masa pandemi.
”Melihat situasi krisis seperti sekarang, dengan berbagai tekanan psikis dan dampak ekonomi yang dirasakan keluarga-keluarga di saat pandemi Covid-19, kemungkinan terjadi kekerasan sangat besar,” ujar Deputi Perlindungan Anak Kementerian PPPA Nahar, Selasa (19/5/2020).
Nahar bahkan mengatakan, ibarat gunung es, seberapa parah fenomena kekerasan terhadap anak, situasi dan kondisinya sangat tersamarkan. Sebab, dalam situasi seperti ini, hanya keluarga sendiri yang tahu apa yang terjadi di dalam rumahnya. Jika tidak ada yang melaporkan, kekerasan yang terjadi tidak akan pernah terungkap.
Konsumsi pornografi meningkat
Kekerasan berbasis jender secara daring, menurut psikolog forensik Reza Indragiri Amriel, terjadi seiring konsumsi pornografi komersial yang meningkat. Sejak pandemi Covid-19, hub pornografi di Amerika Serikat secara domestik naik 6,4 persen dan internasional 11,6 persen pada Maret 2020. Hasil estimasi Absolute Market Insights menunjukkan ada potensi pasar pornografi tahun ini naik 15,12 persen dari 35,17 miliar dollar AS pada 2019.
Reza menduga kasus tiga remaja putri asal Palangkaraya melakukan live mesum di Instagram beberapa waktu lalu terinspirasi oleh tren tersebut. ”Apabila ada unsur komersial, motif cybersex adalah instrumental alias memperoleh manfaat dari pelanggaran hukum. Akan tetapi, sebatas iseng, apa boleh buat karena memang ada sebagian orang mendemonstrasikan watak narsis dengan cara mempertontonkan bagian tubuh yang sensitif ke orang lain,” tuturnya.
Selama berada di rumah untuk jangka waktu lama, anak-anak ataupun remaja mungkin akan mengakses internet lebih lama. Apalagi, lanjut Reza, akhir-akhir ini bermunculan begitu banyak aplikasi komunikasi daring dipakai sekolah untuk belajar jarak jauh. Hal yang harus dikhawatirkan, ketika jam berinternet anak ataupun remaja melonjak tajam, ada predator seksual yang diam-diam mengintai mereka.
Kejahatan seksual yang terjadi di ruang virtual biasanya dilakukan pelaku dengan menyamar sebagai teman sebaya yang menyenangkan anak ataupun remaja. Setelah berhasil membangun pertemanan virtual, pelaku segera melakukan aneka bentuk perundungan seksual.
Remaja, secara biologis, sudah mengalami kematangan seksual. Gairah seksual mereka sudah ada. Ketertarikan untuk bereksperimen secara seksual pun muncul. Reza menyebut usia remaja sebagai vivere pericoluso. Semuanya itu kini terfasilitasi oleh media sosial.
Baca juga : Alarm Perlindungan Anak dari Tragedi NF
Karena itulah orangtua dituntut lebih waspada dan tidak lalai mengawasi perilaku berselancar anak dan remaja di dunia maya. Anak-anak harus diingatkan bahwa dunia virtual sama atau bahkan dapat lebih berbahaya dibandingkan dengan dunia nyata.