Mengawal Keadilan bagi Keluarga ABK Migran
Ketika mengetahui hak keluarga anak buah kapal migran dikembalikan perusahaan penyalur, tim Kompas turut mengucap syukur. Salah satu kepuasan wartawan adalah dapat mengawal keadilan bagi korban.

Sri Rahayu (28) mencermati perjanjian kerja suaminya, almarhum Warnoko (34), saat dijumpai di rumahnya di Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Rabu (26/7/2023). Warnoko meninggal karena sakit saat dalam kontrak kerja sebagai anak buah kapal ikan Korea Selatan. Ia berangkat melalui PT GNM Shipping Marindo.
Tulisan yang dibaca dan menjadi bahan perbincangan masyarakat luas atau memenangkan penghargaan menjadi salah satu kepuasan bagi wartawan. Namun, ada kebahagiaan lain yang juga tak terkira bagi peliput, yakni ketika bisa mengawal keadilan bagi korban. Itulah yang kami dapatkan dari meliput eksploitasi anak buah kapal migran.
“Selamat siang Mas, terima kasih banyak atas bantuannya. Uang sudah dikembalikan ke Mbak Ayu. Total Rp 28,8 juta sudah dikembalikan dan tanpa embel-embel apa pun.” Demikian pesan singkat yang terkirim dari Lindu, Ketua Persatuan Anak Rantau Sitanggal South Korea atau Parasit SK, dari Korea Selatan, Kamis (31/8/2023).
Pesan yang dikirim dari Korea Selatan itu seperti guyuran segar di kala Jakarta tengah diselimuti terik panas dan polusi udara. Itu menandakan berita dan tulisan kami membantu menghadirkan keadilan bagi Ayu, panggilan Sri Rahayu (28), warga Brebes, Jawa Tengah.
Baca juga : Agen Penyalur Menjerat ABK lewat Kontrak Kerja
Rahayu merupakan istri Warnoko, ABK perikanan migran yang meninggal di Korea Selatan pada Februari 2023 lalu. Warnoko bekerja ke Korsel melalui PT GNM Shipping Marindo, sebagai perusahaan penyalur. Kami mendapat akses informasi dari Rahayu setelah berkomunikasi dengan Lindu pada Juli. Lantas, PT GNM memutuskan mengembalikan pungutan itu usai dua hari berturut-turut masuk berita investigasi di halaman muka Harian Kompas, Rabu-Kamis (30-31/8/2023).

Sri Rahayu (28) memegang foto suaminya, almarhum Warnoko (34), di rumahnya di Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Rabu (26/7/2023).
Warnoko bekerja di kapal Korea Selatan sejak 2018. Untuk bisa bekerja sebagai kelasi (deckhand) di sana, ia menyerahkan uang jaminan total Rp 60 juta ke PT GNM selaku agen penyalur dari Indonesia. ”Pertama 30 (Rp 30 juta), terus waktu almarhum pulang cuti tambah 30 lagi,” ucap Rahayu sewaktu ditemui Kompas dalam tahap pengumpulan informasi.
Biaya pemulangan jenazah
Tidak hanya uang. Warnoko juga menjaminkan sertifikat tanah ibunya ke PT GNM. Menurut cerita Lindu, praktik itu biasa terjadi pada ABK-ABK yang bekerja ke Korsel. Alasan perusahaan penyalur, adanya jaminan bakal membuat ABK tidak kabur dari pekerjaannya.
Karena Warnoko meninggal saat dalam masa kontrak, jaminan uang dan surat tanah mestinya kembali ke keluarga secara utuh. Namun, perusahaan punya dalih untuk memotong uang jaminan, yaitu dengan membebankan biaya pemulangan jenazah Warnoko ketika sudah di Indonesia.
Biaya terdiri dari biaya incoming (kedatangan), ambulans dari Bandara Soekarno-Hatta Tangerang ke salah satu rumah sakit di Depok, ambulans dari RS itu ke Brebes, satu set kain kafan, pemandian jenazah, serta peti jenazah. Angka yang tertera di kuitansi Rp 26,8 juta.
Pemotongan belum selesai. Ada pula tambahan biaya Rp 2 juta untuk ongkos mengeluarkan jenazah dari bandara. Dari total Rp 60 juta, uang jaminan almarhum yang diterima Rahayu hanya Rp 31,2 juta.
Padahal, keluarga tidak pernah dimintai izin terkait pengurusan-pengurusan itu. Komunitas warga negara Indonesia di Korsel pun sudah membantu pemulasaraan jenazah secara lengkap, sehingga jenazah mestinya sudah bisa langsung diantar ke Brebes dari bandara, tanpa perlu transit dulu di RS untuk pemandian dan lain-lain.

Di sisi lain, Rahayu baru tahu ada biaya pemulangan jenazah ketika mengurus pengembalian jaminan di kantor pusat PT GNM di Jakarta, Mei silam. Sebelumnya, bahkan saat perwakilan PT ikut mengantar jenazah ke rumah duka bulan Maret, tidak pernah ada pemberitahuan apa pun mengenai biaya itu.
Jika Rahayu menolak pemotongan jaminan, sertifikat tanah ibunda Warnoko ditahan sampai uang asuransi almarhum cair dan biaya bisa dipotong dari sana. Daripada merepotkan ibu mertuanya, Rahayu menyerah. Uang Rp 31,8 juta ditransfer.
Baca juga : Sudah Tak Bernyawa, Hak ABK Migran Masih Dikebiri
Jika dibandingkan dengan gaji ABK migran di Korsel yang bisa belasan hingga puluhan juta rupiah per bulan, angka pemotongan tadi mungkin tak seberapa. Namun, apakah perusahaan memikirkan bahwa Rahayu tiba-tiba jadi orangtua tunggal dari dua anak dan tanpa penghasilan?
Praktik curang itu berpeluang terulang. Di tengah liputan kami pada Juli, Lindu menyampaikan bahwa MAN, ABK hasil pemberangkatan PT GNM yang juga meninggal di Korsel, akan tiba di Indonesia. Keluarga tak diberi tahu soal pemulasaraan jenazah setelah mendarat di bandara, persis yang dialami Rahayu.
Dengan bantuan Lindu, kami diam-diam melayat ke rumah duka, yang kebetulan juga di Brebes. Sekitar pukul 01.45 di Bulan Juli, peti berlapis terpal biru masuk rumah. Sejumlah warga menggotong peti dan menempatkannya di atas meja logam. Di depan peti, SAN, istri MAN, bersimpuh sambil sesenggukan.

Sri Rahayu (28) memegang foto suaminya, almarhum Warnoko (34), di rumahnya di Kecamatan Larangan, Kabupaten Brebes, Jawa Tengah, Rabu (26/7/2023). Warnoko meninggal karena sakit saat dalam kontrak kerja sebagai anak buah kapal ikan Korea Selatan.
Peti terpal biru adalah indikator ahli waris MAN berisiko diminta membayar biaya pengurusan jenazah, karena itu terjadi pada jenazah Warnoko. Padahal, tanpa harus diganti, peti dari Korsel sudah layak, bahkan jauh lebih layak.
Rahayu menunjukkan dokumentasi peti mati sewaktu jenazah Warnoko masih di Korsel. Peti tampak kokoh berwarna coklat muda. Namun, begitu jenazah Warnoko tiba di rumah keluarga—juga di Brebes—peti sudah berganti ke rangkaian papan berkualitas rendah dan berlapis terpal biru. Dari dokumentasi pemulasaraan jenazah MAN di Korsel, peti juga belum berganti ke peti dengan terpal.
Sepertinya, perusahaan sudah tahu bahwa Kompas mengawal pemenuhan hak ahli waris MAN. Akhirnya, ketika keluarga MAN datang ke Jakarta awal Agustus, PT GNM mengembalikan penuh uang jaminan almarhum MAN.
Kabar itu tersiar ke Rahayu. Ia tak bisa sembunyikan kekecewaannya terkait diskriminasi perusahaan tersebut. “Kok bisa yah, sedangkan sama-sama almarhum diongkosin dari Korea,” kata dia saat mengadu ke Lindu.
Tim Kompas pun berupaya mengumpulkan fakta terkait adanya permintaan jaminan serta pemotongan jaminan oleh PT GNM. Tim juga memastikan praktik-praktik itu melanggar lewat wawancara otoritas dan menyandingkan dengan regulasi.

Kepala Subdirektorat Kepelautan Direktorat Jenderal Perhubungan Laut Kemenhub Maltus Jackline Kapistrano menyebutkan, jika terjadi penahanan dokumen, sertifikat tanah, dan uang jaminan oleh perusahaan penyalur, hal itu menyalahi aturan. Kemenhub akan mengevaluasi jika ada perusahaan yang menjalankan praktik itu.
”Intinya, jangan sampai ada ABK yang dirugikan. Setiap ABK yang berangkat harus berdasarkan kompetensinya, bukan karena besaran uang yang jadi jaminannya,” katanya.
Ketika ditemui terpisah, Direktur PT GNM Shipping Marindo Warno mengatakan, jika ada ABK yang meninggal, pihak majikan di Korsel akan mengurus biaya pemulangan jenazah hingga ke kampung halaman. Namun, terkadang majikan hanya mengurus pemulangan hanya sampai bandara di Indonesia sehingga biaya pemulangan dari Bandara Soekarno-Hatta ke kampung halaman ditanggung oleh keluarga.
"Jadi untuk penjemputan jenazah ke rumahnya itu biaya sendiri. (Biayanya) dari keluarga. Nanti kami dari pihak perusahaan itu membantu," kata Warno, di Cirebon.

Direktur PT GNM Shipping Marindo Warno saat ditemui di Cirebon, Jawa Barat, Senin (31/7/2023).
Warno menambahkan, saat jenazah tiba di Jakarta akan diurus oleh yayasan yang bekerja sama dengan PT GNM. Adapun peti jenazah dibongkar dan diganti peti baru tidak perlu persetujuan keluarga.
Terkait pemotongan hak ahli waris dari ABK migran yang meninggal, Pasal 27 Ayat 2 Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2017 tentang Perlindungan Pekerja Migran Indonesia menyatakan, jika pekerja migran meninggal di negara penempatan maka perusahaan penempatan pekerja migran berkewajiban memulangkan ke tempat asal dengan cara yang layak serta menanggung biaya yang diperlukan termasuk biaya pemakaman.
Seluruh upaya itu membuat PT GNM mengembalikan Rp 28,8 juta ke Rahayu. Hak yang diterima Rahayu itu juga menjadi kebahagiaan bagi kami. Semoga saja, pengembalian hak ABK migran seperti uang jaminan dan sertifikat yang seharusnya dipulangkan kepada keluarga ABK tidak berhenti pada Rahayu semata.
Sebab, dari peliputan kami masih ada ahli waris ABK yang haknya juga dipotong dengan modus pembebanan biaya pemulangan jenazah. Seperti yang dialami Tarwen, istri dari Sulaeman, ABK migran yang meninggal di Korea Selatan pada akhir 2020 silam.
"Itu kejahatan. (Seharusnya) tanggung jawab mereka (perusahaan), kenapa dialihkan dan dibebankan pada keluarga," (Benny Rhamdani, Kepala BP2MI)
Saat kami temui, saat Tarwen (36) bercerita tentang peristiwa naas yang merenggut nyawa almarhum suaminya, Sulaeman, pada 29 Desember 2020 malam. Kapal Myeong Min Ho 32 yang dinaiki suaminya terbalik akibat badai di perairan Korea Selatan.
Tangis Tarwen pecah ketika mengingat kembali saat perwakilan perusahaan mendatangi rumahnya keesokan harinya. Saat mendapat kabar suaminya kecelakaan, Tarwen langsung tak berdaya. Saat itu, perusahaan juga menyampaikan bahwa jenazah Sulaeman belum ditemukan. Jenazah Sulaeman baru ditemukan sekitar sepekan setelah kejadian.
"Gimana saya nafkahi anak tiga. Yang besar kuliah, yang kedua SMK. Dari mana saya menafkahi anak-anak," ujar Tarwen sambil sesenggukan.

Tarwen (36), istri dari almarhum Sulaeman saat ditemui di Citemu, Kabupaten Cirebon, Jawa Barat. Sulaeman adalah ABK di kapal ikan Korea Selatan yang meninggal karena kecelakaan pada akhir Desember 2020.
Melihat kesedihan Tarwen, kami menjadi sulit berkata-kata. Mata kami pun ikut berkaca-kaca. Perasaan bersalah juga muncul karena merasa pertanyaan kami telah membuat Tarwen harus mengingat kembali sosok suaminya yang tak pernah dijumpai lagi selama lima tahun. Sulaeman diketahui berangkat ke Korea Selatan tahun 2018.
Siang itu, Tarwen ditemani oleh anak bungsunya, Mustofa (9) yang hanya bisa termenung melihat ibunya menangis. Beberapa kali dia terlihat menundukkan kepala, seolah ikut merasakan kesedihan yang sama. Bagaimana tidak, dua hari sebelum kejadian, Mustofa diketahui sempat berbincang dengan ayahnya melalui telepon.
Suasana duka juga kami rasakan ketika Tarwen menceritakan saat-saat pemulangan jenazah Sulaeman ke balai desa. Tak banyak hal yang dia ingat kala itu karena merasakan kekalutan yang luar biasa. Dia hanya mengingat tubuhnya gemetar saat peti mati suaminya tiba.
Akibat kematian suaminya itu, Tarwen memperoleh pertanggungan asuransi sebesar Rp 900 juta namun PT GNM meminta Tarwen mengganti biaya pemulangan mendiang Sulaeman dari Bandara Soekarno-Hatta ke kampung halaman di Cirebon sebesar Rp 25 juta. Alhasil, setelah Tarwen mendapatkan hak pertanggungan asuransi, kemudian dia mentransfer biaya pemulangan jenazah Sulaeman tersebut.

Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia Benny Rhamdani saat ditemui di Jakarta, Senin (7/8/2023).
Padahal, Kepala Badan Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (BP2MI) Benny Rhamdani mengungkapkan, perusahaan wajib mengurus proses pemulangan jenazah ABK yang meninggal dari negara penempatan hingga ke kampung halamannya. Keluarga ABK tidak boleh dimintai biaya pengganti pemulangan jenazah.
Jika perusahaanmembebankan biaya pemulangan jenazah korban, artinya mereka melakukan kejahatan. "Itu kejahatan. (Seharusnya) tanggung jawab mereka (perusahaan), kenapa dialihkan dan dibebankan pada keluarga," ujar Benny.