Dihantam Ombak Laut Natuna Saat Menuju Pulau Terpencil
Menjelang subuh, tiba-tiba kapal miring ke kanan. Orang-orang terbangun dari tidurnya. Dari jendela terlihat ombak tinggi menghantam haluan depan kapal. Saya terhuyung ke ruangan terbuka di dek belakang.
Senin (6/3/2023) sore, saya melamun di depan laptop. Setelah seharian mencari berita, hari itu saya pulang dengan tangan kosong. Bagi seorang wartawan, tak ada yang lebih menjengkelkan daripada hari-hari semacam itu.
Sejak empat tahun terakhir, saya ditugaskan sebagai wartawan Desk Regional dengan penempatan di Batam, Kepulauan Riau. Namun, cakupan wilayah liputan saya bukan hanya Batam, melainkan seluruh Provinsi Kepulauan Riau yang terdiri dari 2.408 pulau.
Suatu ketika, saya pernah bercerita kepada teman wartawan di Jakarta tentang sulitnya jadi wartawan di wilayah kepulauan. Namun, dia hanya memasang muka datar saat mendengar cerita saya.
”Secara teori, asal kamu rajin mencari, pasti selalu ada berita menarik di salah satu dari ribuan pulau itu,” katanya dengan enteng memberi nasihat.
Mendengar itu, rasanya ingin saya lempar dia ke Laut Natuna, biar diseruduk penyu, disengat ubur-ubur, dan ditelan paus.
Mendengar itu, rasanya ingin saya lempar dia ke Laut Natuna, biar diseruduk penyu, disengat ubur-ubur, dan ditelan paus. Mungkin dia kira menyeberang antarpulau semudah melintasi Kanal Banjir Barat.
Tiba-tiba suara ponsel membuyarkan lamunan saya. Saya tak berani membuka aplikasi Whatsapp, takut ada editor menagih berita. Maka saya hanya mengintip pesan masuk dari notifikasi di atas layar ponsel.
Ternyata itu chat dari salah satu teman wartawan di Batam. ”Ndu, Natuna longsor. Korban ada 50,” kata kawan itu.
Saya membatin, mana mungkin ada bencana alam sebesar itu di Kepri. Dalam sejarah provinsi ini, satu-satunya kejadian yang memakan korban jiwa dalam jumlah besar adalah tenggelamnya perahu pekerja migran tanpa dokumen.
Saya tak ambil pusing dan kembali melamun. Namun, lagi-lagi ponsel saya berbunyi. Kembali dengan hati-hati saya mengintip notifikasi pesan.
Kali ini yang masuk chat dari Teguh, fotografer kantor berita Antara di Batam. ”Ndu, berangkat ke Natuna? Berkabar ya kalau turun ke lokasi,” katanya.
Teguh bilang dia mendapat informasi tentang bencana tanah longsor itu dari Cherman, wartawan Antara di Natuna. Saya kenal baik Cherman dan percaya informasi darinya akurat.
Barulah saya yakin bahwa bencana besar telah terjadi di Natuna. Saya langsung meraih ponsel dan menghubungi Raja Darmika, Kepala Pelaksana Badan Penanggulanan Bencana Daerah (BPBD) Natuna.
”Lokasi longsor di Pulau Serasan. Jumlah korban diperkirakan ada puluhan,” kata Raja singkat.
Usai menelepon Raja, saya berusaha menghubungi sejumlah nelayan di Pulau Serasan. Namun, hanya terdengar jawaban, ”Nomor yang Anda tuju sedang tidak aktif atau berada di luar jangkauan.”
Karena tak ada lagi yang bisa saya hubungi, saya segera mengetik berita pendek. Menjahit informasi dari Raja dan pernyataan Bupati Natuna yang saya peroleh ketika menghubungi Raja.
Baca juga: Longsor di Pulau Serasan Natuna, Bencana Terburuk Sepanjang Sejarah Kepri
Potong jalur
Pulau Serasan terpisah laut sejauh 700 kilometer dari Pulau Batam. Jika naik transportasi umum, yakni kapal Pelni, bisa makan waktu hingga empat hari. Malangnya lagi, transportasi ke Serasan juga tidak setiap hari tersedia.
Setelah telepon ke sana kemari, akhirnya saya mendapat informasi bahwa ada kapal roll on roll of (ro-ro) yang akan membawa anggota TNI dan Polri menuju Serasan. Kapal itu bakal berlayar dari Pulau Bintan pada Selasa (6/5/2023).
Selasa pagi, saya langsung meluncur ke Pelabuhan Batu Ampar, Batam, untuk menyeberang ke Pelabuhan Tanjung Uban, Bintan. Sesampai di sana, ternyata ratusan orang dan puluhan kendaraan sudah antre di dekat kapal ro-ro yang katanya akan menuju Serasan.
Di lokasi itu saya bertemu dengan Junaidi, Kepala Dinas Perhubungan Kepri. Ia mengatakan, kapal ro-ro Bahtera Nusantara I secara khusus ditugaskan Kementerian Perhubungan untuk mengangkut siapa saja yang ingin menuju lokasi bencana di Serasan.
Menurut dia, rute kapal juga diubah, tidak memutar melewati selat-selat di antara pulau-pulau kecil, tetapi potong jalur melewati laut lepas. Dengan begitu, waktu perjalanan dapat dipangkas dari normalnya empat hari menjadi dua hari.
Setelah mendengar penjelasan itu, saya melirik Teguh. ”Kapal ro-ro lewat laut lepas di musim angin utara. Ini gila,” ujar saya.
Musim angin utara adalah istilah orang Kepri untuk menyebut musim ombak tinggi yang biasanya terjadi pada Oktober-Maret. Hingga beberapa hari sebelum keberangkatan kami dari Tanjung Uban, syahbandar beberapa kali melarang kapal berlayar karena tinggi ombak mencapai lebih dari 4 meter.
Dihantam ombak
Singkat cerita, setelah jadwal keberangkatan molor sampai malam, Bahtera Nusantara I akhirnya angkat jangkar dari Pulau Bintan. Tak peduli dengan musim angin utara, kapal itu berlayar membelah Laut Natuna menuju arah utara ke Pulau Serasan.
Saya telat masuk dek penumpang karena terlalu lama memotret anggota TNI-Polri yang menyusun bantuan untuk korban bencana di dek bawah. Akibatnya, saya tak kebagian bed dan terpaksa harus puas tidur di kursi semalaman.
Saya tak tahu pasti kapal itu berisi berapa orang, tetapi perkiraan saya, lebih dari 500 orang. Selain mengangkut ratusan anggota Polri dan TNI, kapal itu juga mengangkut petugas BPBD dan sejumlah sukarelawan bencana.
Sebagian penumpang lainnya adalah keluarga korban bencana. Akibat longsor, jaringan komunikasi di Serasan putus sehingga mereka harus pulang untuk mengetahui kondisi keluarga.
Saat saya mencoba memejamkan mata untuk tidur, ombak belum begitu kuat. Kapal hanya bergoyang-goyang sedikit. Di sekeliling, samar-samar terdengar tangisan pelan dari para penumpang yang mengkhawatirkan keluarga mereka di Serasan.
Menjelang subuh, tiba-tiba kapal miring ke kanan. Orang-orang terbangun dari tidurnya. Dari jendela terlihat ombak tinggi menghantam haluan depan kapal dan air tepercik ke mana-mana.
Saya berjalan terhuyung ke ruangan terbuka di dek belakang. Ada empat orang dari tim Inafis Polda Kepri di sana. Baju tim identifikasi jenazah yang berwarna oranye tampak mencolok di antara anggota Brimob yang berpakaian serba hitam dan prajurit TNI yang berbaju loreng.
Orang-orang Inafis itu berbaring di kursi panjang dengan wajah pucat. Beberapa kali mereka berlari ke kamar mandi untuk mengosongkan isi perut yang berontak dikocok ombak.
”Aku mending meriksa 10 mayat busuk daripada naik kapal begini. Laut ini kacau kali, mau mati aku rasanya,” ujar anggota Inafis yang bertubuh kurus.
Mengatasi bosan
Di atas kapal, waktu rasanya berjalan amat lambat. Tak ada sinyal internet dan telepon untuk mengalihkan perhatian dari guncangan ombak yang menyiksa. Sepanjang perjalanan juga tak terlihat pemandangan apa pun selain laut biru yang terpanggang matahari.
Untuk membunuh waktu, saya membaca kliping berita Kompas yang telah saya download sebelum berangkat. Itu adalah kumpulan berita tentang longsor di sejumlah daerah dalam 20 tahun terakhir.
Seorang anggota Brimob bertubuh jangkung mendekati dan bertanya saya sedang apa. Saya jelaskan bahwa saya sedang riset untuk berita yang akan saya buat ketika nanti tiba di lokasi bencana.
Anggota Brimob itu mengeluarkan ponsel dan membuka aplikasi peta yang tidak pernah saya lihat sebelumnya. Kata dia, itu aplikasi yang mereka pakai saat operasi menumpas kelompok teroris di Poso, Sulawesi Tengah.
Si Brimob tampak bangga dengan aplikasi itu. Ia memamerkan kemampuan aplikasi itu untuk menghitung jarak dan menampilkan detil peta tanpa butuh sinyal seluler.
”Pantas korbannya banyak, permukimannya di bawah bukit. Kalau longsor mereka mau lari ke laut pun susah karena akses ke laut tertutup bakau,” kata Si Brimob menganalisis peta Pulau Serasan.
Langit sudah gelap dan kami masih asyik mengobrol. Saya meminta dia untuk menunjukkan peta pulau-pulau lain di Kabupaten Natuna dan Kabupaten Kepulauan Anambas. Pulau-pulau di dua daerah itu memiliki banyak kemiripan.
”Ini di Anambas malah hutannya banyak yang bolong-bolong. Ada air terjunnya lagi. Lebih ngeri ini kalau longsor, soalnya penduduknya lumayan padat,” ujar Si Brimob.
Kami berdua lama sekali mengamati peta dan mengobrol soal gugusan ratusan pulau-pulau kecil di perbatasan Indonesia sebelah barat laut itu. Sampai-sampai kami tak sadar kapal sudah hampir sandar di pelabuhan Pulau Serasan.
Baca juga: Longsor di Pulau Serasan Tanpa Peringatan Dini
Krisis iklim
Kamis (9/3/2023) pukul 00.30, saya turun dari kapal dan untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Pulau Serasan. Saya dan Teguh dijemput Cherman yang lebih dulu tiba di sana.
Cherman menawari kami untuk menginap di rumah warga yang dekat dengan lokasi bencana, tetapi aman dari ancaman longsor. Saya mengiyakan tawaran itu agar dapat segera istirahat dan menyiapkan badan untuk liputan esok hari.
Saya menghabiskan empat hari untuk meliput bencana tanah longsor yang membunuh 54 orang itu. Dari wawancara dengan sejumlah warga dan pengamatan lapangan, terungkap bahwa tanah longsor terjadi setelah hujan turun tanpa henti selama tiga hari.
Dalam sepuluh tahun terakhir, bencana hidrometeorologi terus meningkat akibat krisis iklim. Cuaca ekstrem yang makin sering terjadi karena krisis iklim membuat hidup masyarakat di pulau-pulau kecil kini amat rawan.
Di tengah krisis iklim yang semakin parah, bukan tak mungkin bencana yang lebih besar tengah mengintai penduduk di pulau-pulau kecil itu.
Setelah menyelesaikan liputan, saya pulang dengan menumpang kapal Pelni Bukit Raya. Perjalanan ke Bintan akan ditempuh selama empat hari. Kapal itu akan singgah di sejumlah pelabuhan di Natuna dan Anambas.
Di kapal itu terdapat ratusan warga yang akan mengungsi ke pulau lain. Sebagian mengatakan tak akan kembali lagi ke Serasan karena tanah longsor telah mengubur seluruh harta benda dan keluarga mereka.
Saat saya tengah ancang-ancang untuk memilih tempat tidur di dek penumpang, seorang ibu mengajak saya bercakap-cakap. Ia langsung tahu kalau saya seorang wartawan lewat kaos yang saya kenakan dengan tulisan kompas.id di dada.
”Baru kali ini ke pulau terpencil kaya gini, ya? Siap-siap ke sini lagi, Bang. Soalnya pulau-pulau lain di sekitar sini juga mulai sering longsor,” ujarnya.
Saya hanya bisa tersenyum karena tak tahu harus menjawab apa. Di tengah krisis iklim yang semakin parah, bukan tak mungkin bencana yang lebih besar tengah mengintai penduduk di pulau-pulau kecil itu.
Baca juga: Bom Waktu Bencana di Pulau-pulau Kecil