Longsor di Pulau Serasan, Natuna, Kepulauan Riau, terjadi tanpa peringatan dini dari pemerintah. Tidak tersedia peta prakiraan pergerakan tanah. Hingga saat ini, masih 24 orang yang diduga tertimbun.
Oleh
PANDU WIYOGA, YOLA SASTRA
·4 menit baca
NATUNA, KOMPAS — Bencana longsor di Pulau Serasan, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, terjadi tanpa ada peringatan dini dari pemerintah. Akibatnya, korban tewas mencapai 30 orang dan hilang 24 orang. Ahli mitigasi bencana menilai itu mencerminkan minimnya upaya pengurangan risiko dan kesiapsiagaan.
Bupati Natuna Wan Siswandi mengatakan, pemerintah kabupaten tidak mengetahui potensi bencana longsor karena tidak tersedia peta prakiraan pergerakan tanah di Pulau Serasan. Padahal, pulau yang kontur tanahnya berbukit-bukit itu dihuni lebih kurang 12.000 jiwa.
”(Peta prakiraan pergerakan tanah) dari provinsi tidak ada dan dari (pemerintah) pusat pun tidak ada, karena selama ini tidak pernah terjadi longsor di Pulau Serasan,” kata Wan Siswandi.
Berdasarkan data Tanggap Bencana Kabupaten Natuna, hingga Kamis pukul 18.00, tercatat korban tewas akibat longsor ada 30 orang. Selain itu, masih terdapat 24 orang yang diduga tertimbun bangunan dan material longsor. Seluruh korban berada di Desa Pangkalan, Kecamatan Serasan
Salah satu korban selamat, Kepala Polsek Serasan Inspektur Satu Malik Mardiansyah, menuturkan, awalnya terjadi banjir kecil bercampur lumpur di Desa Jermalik dan Desa Pangkalan pada Senin (6/3/2023) pagi. Menurut dia, banjir seperti itu sudah beberapa kali terjadi di dua desa itu.
Pagi itu, Malik didampingi lima anggotanya memantau banjir di Desa Jermalik yang terletak di barat laut Desa Pangkalan. Setelah itu, empat anggota Polsek Serasan pulang ke markas, sedangkan Malik dan seorang pegawai harian lepas berhenti saat melintas di Desa Pangkalan.
Saat itu, Malik melihat Kepala Desa Pangkalan dan puluhan warga sedang bergotong royong. ”Mereka membersihkan air dan lumpur yang menutupi jalan aspal,” ujarnya.
Saat bersiap pulang, Malik mendengar suara ledakan besar. Spontan ia segera meloncat ke motor yang dikendarai si pegawai harian lepas. Sekilas ia melihat batu-batu besar melayang di atas kepalanya.
”Alhamdulillah waktu itu posisi motor sedang hidup, kalau tidak mungkin saya enggak akan selamat. Kepala Desa Pangkalan dan orang-orang yang gotong royong itu enggak ada yang selamat satu pun,” ucap Malik.
Pulau Serasan terletak sekitar 550 kilometer (km) dari pusat provinsi di Pulau Bintan dan 200 km dari pusat kabupaten di Pulau Natuna Besar. Hal itu membuat tim SAR dan alat berat tidak bisa didatangkan dalam waktu singkat ke lokasi bencana.
Tim SAR yang datang dari Pulau Natuna Besar membutuhkan waktu tujuh jam menggunakan kapal feri untuk sampai ke Pulau Serasan. Adapun tim SAR gabungan dalam jumlah besar yang datang dari Batam dengan kapal roll on-roll off butuh waktu 26 jam.
Menurut Wan Siswandi, yang menjadi fokus tim SAR gabungan saat ini adalah mengevakuasi korban secepat mungkin. Namun, tim SAR di lapangan sulit melakukan evakuasi dengan cepat karena hanya tersedia dua buah alat berat.
”Sore ini datang empat ekskavator tambahan yang diangkut dengan kapal tongkang dari Pulau Natuna Besar. Semoga hal itu dapat membantu evakuasi,” kata Wan Siswandi.
Ahli mitigasi bencana Universitas Gadjah Mada, Teuku Faisal Fathani, berpendapat, tingkat potensi risiko bencana longsor di Indonesia memang tinggi. Oleh sebab itu, semua pihak mesti terlibat dalam memitigasinya.
Faisal sangat menyayangkan kejadian bencana longsor di Pulau Serasan yang menewaskan puluhan warga dan puluhan lainnya hilang. Kejadian ini menunjukkan masih minimnya upaya pengurangan risiko dan kesiapsiagaan.
”Masyarakat melalui aparat pemerintah desa melakukan peninjauan dan aktif melapor ke Badan Penanggulangan Bencana Daerah. Oh, ini ada tanda-tanda. Saya tidak yakin, longsor sebesar itu tidak ada tanda-tanda sama sekali,” kata Faisal.
Saya tidak yakin, longsor sebesar itu tidak ada tanda-tanda sama sekali. (Teuku Faisal Fathani)
Lemahnya mitigasi bencana tak terlepas dari paradigma yang masih mengutamakan pada respons darurat dan pemulihan bencana. Sementara itu, pengurangan risiko bencana dan kesiapsiagaan belum mendapat perhatian. Padahal, keempat poin tersebut sama pentingnya. Ketangguhan terhadap bencana tercipta apabila keempat poin itu proporsional.
”Salah satu bagian dari pengurangan risiko bencana adalah kajian risiko. Kalau suatu daerah berisiko, kesiapsiagaan masyarakatnya harus dibangun. Masyarakat dilatih dengan cara-cara sederhana. Kalau banjir, hujan sekian lama, harus mengungsi,” ujarnya.
Menurut Faisal, umumnya daerah-daerah tingkat II di Indonesia masih menganut paradigma itu. Anggaran untuk pengurangan risiko bencana relatif minim. Sebaliknya, daerah menyediakan dana siap pakai yang relatif besar untuk tanggap darurat jika terjadi bencana.
”Saya selalu tekankan, ubahlah paradigma, pengurangan risiko bencana adalah investasi. Mungkin bukan kita yang dapat manfaat, bisa jadi anak cucu kita nantinya,” ujar Faisal.
Wan Siswandi mengatakan, ke depan peta prakiraan pergerakan tanah harus ada di setiap kecamatan di Natuna. Saat ini, peta serupa baru mencakup wilayah satu kecamatan, yakni Bunguran Timur, dari total 13 kecamatan di kabupaten tersebut.
Dia menambahkan, 100 rumah warga di sekitar lokasi longsor juga akan direlokasi. Menurut dia, hal itu telah disetujui oleh Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat. Pemkab Natuna telah menyiapkan tanah di lokasi yang aman.