Di tengah krisis iklim, bencana hidrometeorologi adalah bom waktu bagi Indonesia yang wilayahnya terdiri dari belasan ribu pulau kecil. Bencana tanah longsor di Pulau Serasan, Natuna, jadi alarm keras.
Oleh
PANDU WIYOGA, YOLA SASTRA
·5 menit baca
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Sebuah rumah tertimbun longsor di Kampung Genting, Desa Pangkalan, Kecamatan Serasan, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau, Kamis (9/3/2023).
Selain tanah longsor, bencana hidrometeorologi lain seperti gelombang pasang, angin kencang, dan kekeringan juga mengintai 1.200 warga yang tinggal di Pulau Serasan, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Akibat krisis iklim, bencana alam menjadi bom waktu bagi Indonesia yang wilayahnya terdiri dari belasan ribu pulau kecil.
Longsor yang terjadi di Pulau Serasan pada 6 Maret 2023 mengubur 30 rumah di Kampung Genting, Desa Pangkalan. Hingga Sabtu (11/3/2023) pukul 17.00, sebanyak 44 korban tewas telah ditemukan dan 10 korban lain masih dalam pencarian, diduga tertimbun material longsor.
Salah satu korban longsor yang selamat, Hendri (47), mengatakan, sebelum terjadi bencana, hujan lebat turun hampir selama dua minggu tanpa henti. Saat kejadian, ia dan keluarga tengah beristirahat di dalam rumah selepas gotong royong.
”Tiba-tiba saya dengar suara seperti ledakan dari atas gunung. Setelah itu, saya tak ingat apa-apa. Waktu tersadar, tahu-tahu setengah badan saya tertimbun tanah,” katanya.
Saat masih mencerna tentang apa yang sebenarnya telah terjadi, Hendri mendengar anak sulungnya, Meri (19), merintih minta tolong. Seorang diri, dengan tangan kosong, ia menggali tanah dan mengangkat runtuhan rumah.
Setelah Hendri berhasil menyelamatkan Meri, ia teringat istri dan anak bungsunya juga harus segera ditolong. Ia pun berteriak minta tolong sekuat tenaga. Namun, tiada yang menjawab, sunyi.
Saat itulah Hendri menyadari bahwa tanah longsor telah mengubur seluruh rumah di kampungnya. Tak ada pertolongan yang datang. Istri serta anak bungsu dia tak terselamatkan.
Pada 10 Maret lalu, Kepala Kepala Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika Dwikorita Karnawati mengatakan, longsor di Pulau Serasan disebabkan oleh hujan lebat yang turun selama berhari-hari. BMKG sudah memberi peringatan dini pada 28 Februari, tetapi tak ada respons dini dari pemerintah maupun warga.
”Untuk sementara, kami identifikasi masih ada tiga zona yang (tanahnya) berpotensi untuk bergerak. Kami akan berkoordinasi dengan Badan Nasional Penanggulangan Bencana serta Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat untuk mitigasi lanjut,” ujarnya.
Selain rawan longsor, kata Dwikorita, Pulau Serasan juga rawan terhadap bencana gelombang pasang angin kencang ketika hujan dan kekeringan saat kemarau. Ia meminta pemerintah agar merelokasi warga yang tinggal di zona merah bencana ke tempat aman.
PANDU WIYOGA
Ibrahim (tengah) mengungsi di atas perahu bersama 17 warga lain yang terdampak bencana tanah longsor di Pulau Serasan, Natuna, Kepulauan Riau, Sabtu (11/3/2023).
Salah satu warga yang tinggal di zona bahaya adalah Ibrahim (58). Ia tinggal di Kampung Air Raya yang berada di lereng bukit.
Sejumlah longsor kecil telah terjadi di lereng tersebut dan mengancam sejumlah rumah warga. Maka, Ibrahim dan 17 warga dari Kampung Air Raya mengungsi di atas perahu sejak 6 Maret lalu.
”Kami tak tenang tinggal di darat. Pulau ini hampir semua wilayahnya berbukit-bukit jadi longsor bisa terjadi kapan saja,” katanya.
Ibrahim yang berprofesi sebagai nelayan merasakan beberapa tahun belakangan bencana alam semakin sering terjadi di laut maupun di darat. Kini, musim juga hampir mustahil diprediksi. Hujan lebat dan angin kencang bisa datang setiap saat.
Di laut, musim ombak tinggi atau yang disebut warga musim angin utara terjadi lebih lama. Dulu ombak tinggi terjadi hanya pada Desember dan Januari, tetapi kini musim ombak tinggi berlangsung hingga awal April.
Di darat, situasinya juga tak lebih baik. Musim hujan menyebabkan banjir, rob, dan longsor. Adapun musim kemarau mengakibatkan kekeringan berkepanjangan.
”Laut sekarang tak menghidupi, pulau juga tak aman dijadikan tempat tinggal. Entah bagaimana hidup kami ke depan,” ujar Ibrahim.
Seorang polisi anggota Satuan Tugas Tanggap Bencana Natuna melintas di lokasi bencana tanah longsor di Desa Pangkalan, Pulau Serasan, Natuna, Kepulauan Riau, Sabtu (11/3/2023).
Bom waktu
Manajer Kampanye Pesisir dan Laut di Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) Parid Ridwanuddin mengatakan, bencana longsor di Pulau Serasan, Natuna, mestinya jadi alarm keras bagi pemerintah. Di tengah krisis iklim, bencana alam dapat menjadi bom waktu di pulau-pulau kecil.
Menurut Parid, krisis iklim yang salah satunya ditandai dengan cuaca ekstrem telah menempatkan masyarakat di pulau-pulau kecil dalam kondisi yang amat rawan. Akibat krisis iklim, bencana hidrometeorologi terus meningkat dalam sepuluh tahun terakhir.
”Pulau-pulau kecil, seperti Serasan, yang tidak diapa-apakan pun sudah rentan karena setiap saat harus berhadapan dengan berbagai potensi bencana. Apalagi, bila ditambah kehadiran industri ekstraktif, kehancuran pulau-pulau kecil pasti akan lebih cepat,” kata Parid.
Sayangnya, tambah Parid, Pemerintah kini justru banyak mengeluarkan izin ataupun konsesi pertambangan dan eksploitasi hutan di pulau-pulau kecil.
Misalnya di Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, ada proyek hutan tanaman energi yang menyasar hutan-hutan alam. Di Maluku Utara, pulau-pulau kecil yang hutannya masih lebat justru dibuka untuk konsesi pertambangan nikel. Begitu pula izin pertambangan emas di Sangihe, Sulawesi Utara.
PANDU WIYOGA
Tim Satuan Tugas Tanggap Bencana Natuna mengevakuasi salah satu korban tewas akibat tanah longsor di Desa Pangkalan, Pulau Serasan, Natuna, Kepulauan Riau, Sabtu (11/3/2023).
Parid melanjutkan, dari 111 pulau kecil terdepan di Indonesia, 83 pulau di antaranya mengalami kerentanan dan terancam tenggelam akibat kenaikan air laut yang dipicu krisis iklim. Walakin, belum tampak keseriusan pemerintah dalam menetapkan peta jalan perlindungan pulau-pulau kecil tersebut.
”Itu menggambarkan betapa pemerintah Indonesia dari dulu sampai sekarang tidak serius melindungi pulau-pulau kecil. Padahal, Indonesia adalah negara kepulauan yang amat rentan dengan dampak krisis iklim,” ujarnya.
Pemerintah Indonesia, kata Parid, semestinya punya data atau informasi pulau mana saja yang bentang alamnya terancam. Pemerintah juga harus menghentikan atau mengevaluasi seluruh izin industri ekstraktif di pulau-pulau kecil.
”Masalah krisis iklim ini jika tidak diantisipasi dari sekarang, kita akan menghadapi situasi banyaknya pengungsi iklim. Akan banyak orang-orang yang harus mengungsi dari pulau-pulau kecil karena terdampak bencana,” ujarnya.
Parid menyebut, adanya peta jalan perlindungan pulau-pulau kecil menjadi penting. Saat ini, pemerintah sedang menyusun rencana pembangunan jangka panjang (RPJP). Perlindungan terhadap pulau kecil dan upaya menghentikan proyek-proyek berbahaya bagi pulau-pulau kecil mesti dimasukkan dalam RPJP.