48 Jam ”Terkungkung” Bersama Sapi-sapi
Saya duduk di atas alas bambu yang berada di luar terpal dengan posisi kaki menjuntai ke bawah dan bersinggungan langsung dengan punggung sapi. Aroma amoniak dari kotoran sapi menusuk hidung.
Berangkat dari Malang menuju Situbondo dengan bus umum hari Senin (29/5/2023), tujuan saya hendak menumpang truk pengangkut sapi yang menuju Ibu Kota. Namun, setelah dua hari, yang dicari tak kunjung saya jumpai.
Memang tidak mudah mencari obyek bergerak dengan kendaraan umum. Pernah, dari atas bus yang melaju saya melihat truk pengangkut sapi sedang berhenti.
Namun, tak mudah untuk minta turun dari bus begitu saja. Kali lain, bus tengah berhenti dan truk pengangkut sapi melintas. Tentu saja saya tidak mungkin mengejarnya.
Setelah sempat transit di Probolinggo, saya melanjutkan perjalanan ke Situbondo. Di sanalah saya baru bisa tanya sana-sini. Ternyata tidak banyak yang mengetahui di mana truk pengangkut sapi biasa berhenti.
Saya mulai gusar. Sudah masuk hari kedua, Selasa (30/5/2023), tetapi pencarian terhadap sopir truk pengangkut sapi belum juga membuahkan hasil. Apa daya, saya hanya bisa terus mencari sambil berusaha sabar. Saat itu lepas pukul 14.30 dan perjalanan sudah mencapai kawasan Taman Nasional Baluran di perbatasan Situbondo dan Banyuwangi, Jawa Timur, Selasa (30/5/2023).
Kalau ada yang tanya, buat apa sih susah-susah ikut truk pengangkut sapi? Ikut truk biasa saja sudah susah, masih ditambah truknya membawa sapi. Terbayang, kan, kondisinya.
Sebenarnya, semua itu demi misi menyelisik seluk-beluk pengangkutan sapi untuk kebutuhan kurban Idul Adha. Kantor meminta saya menelusurinya sejak dari Situbondo. Kelak, saya meneruskan perjalanan hingga Banyuwangi karena di Situbondo sulit menemukan sopir truk pengangkut sapi, apalagi yang bersedia ditumpangi.
Sebenarnya saya sempat menemukan beberapa truk yang sedang berhenti. Akan tetapi, begitu saya datangi, sang sopir tidak memberikan respons positif, malah nyuekin. Padahal, saya sudah menyatakan siap patungan membeli bahan bakar atau mentraktir mereka makan selama perjalanan.
Kebanyakan yang menolak saya beralasan kabin truk sudah penuh diisi tiga orang atau bahkan lebih, sedangkan naik di bak tidak mungkin karena penuh oleh sapi. Alasan lain, pengawal sapi atau bos sapi tidak mengizinkan orang lain ikut menumpang di truk.
Maklum, truk-truk itu sudah disewa oleh pemilik/pedagang sapi dengan biaya puluhan juta rupiah. Truk besar dengan panjang lebih dari 10 meter itu rata-rata membawa sapi dari Bali dan Nusa Tenggara Barat (NTB). Satu truk berisi lebih dari 20 ekor sapi.
Beban berat yang mengganduli kepala saya sedikit terangkat ketika bertemu Joko Mulyo, peternak di Desa Wonorejo, Kecamatan Banyuputih, Situbondo. Dengan sukarela, ia meminjamkan sepeda motornya sehingga saya bisa mengecek warung-warung makan di sekitar yang biasa dikunjungi sopir truk untuk makan dan sejenak beristirahat.
Sebelum itu, untuk mencari truk pengangkut sapi, saya hanya bisa berjalan kaki menyusuri jalan pantura. Hal itu saya lakukan sejak turun di depan Kantor Taman Nasional Baluran di Batangan usai menumpang bus jurusan Situbondo-Banyuwangi.
Baca juga: Ribuan Kilometer Ditempuh Demi Memasok Sapi ke Ibu Kota
Sempat juga sebentar saya menggunakan jasa ojek dari anak muda yang saya temui di depan minimarket. Seorang pemilik warung yang ramah juga pernah membantu menghubungkan saya dengan temannya, seorang sopir truk pengangkut sapi.
Ia membolehkan saya ikut dengannya sampai Jakarta. Sayangnya, ia masih harus menyelesaikan perjalanan ke Bali dan baru akan melewati daerah itu kembali paling cepat tiga hari ke depan.
Jadilah saya harus memikirkan cara untuk mencari sopir lain. Tak ingin kemalaman di tepi hutan tanpa hasil, saya putuskan untuk mencari peruntungan di tempat lain.
Seorang sopir truk sapi tujuan Madura menyarankan saya pergi ke daerah Pelabuhan Ketapang di Banyuwangi yang jaraknya 35 kilometer dari situ. ”Di sana banyak truk keluar dari kapal dan berhenti sebentar di karantina,” ujarnya.
Saya pun bergegas menghadang bus menuju Banyuwangi, lanjut naik ojek ke kantor Balai Karantina. Tiba pukul 16.30, ternyata kondisinya sepi. Warga sekitar mengatakan, truk-truk sapi sudah berhenti siang tadi. Lemaslah saya.
Meski tidak ada kepastian, tidak ada jalan lain selain menanti. Kata warga, biasanya truk-truk akan mulai berdatangan lagi seusai maghrib. Sambil menunggu, saya mengisi perut dengan makanan seadanya sambil menahan sakit gigi yang kumat.
Setelah itu, saya duduk-duduk saja di depan Balai Karantina, tepatnya di sebelah pos satpam, hingga sejurus kemudian seorang petugas keamanan yang tampaknya berperan sebagai koordinator keluar dari kantor dan menghampiri saya.
Dia menanyakan keperluan saya berada di situ. ”Kalau ada kegiatan berkaitan (liputan) karantina harus melalui humas,” katanya.
Baca juga: Sapi Kurban Sepekan Naik Truk dari Bima ke Depok
Setelah memberi penjelasan bahwa saya hanya numpang duduk sambil menunggu ada sopir truk yang bisa ”membawa” saya ke Jakarta, akhirnya dia paham dan membiarkan saya duduk di situ sampai dua jam sesudahnya.
Sayangnya, hingga pukul 19.30 tak ada tanda-tanda truk sapi datang. Harapan pun mulai layu. Saya berkonsultasi dengan Kepala Biro Kompas Jawa Timur apakah sebaiknya mencari penginapan saja dulu sambil menunggu esok hari memulai pencarian lagi.
Setelah mendapat lampu hijau, saya segera memesan kamar di salah satu penginapan terdekat. Namun, belum sampai 5 menit, sebuah truk bermuatan sapi tiba-tiba masuk ke halaman Balai. ”Mas, ada truk sapi datang,” seru seorang satpam.
Awalnya saya merespons datar informasi itu lantaran sudah pesan penginapan. Namun, ketika melongok ke jalan raya, ada lebih dari dua truk lain yang datang. Bahkan, di belakangnya menyusul lagi beberapa truk lainnya hingga jumlahnya mencapai belasan truk. Semuanya berasal dari di Bima, Nusa Tenggara Barat.
Suasana pun menjadi hiruk-pikuk. Apalagi, sejumlah peternak yang tadinya berada di atas bak ikut turun lalu mengatur posisi sapi-sapi mereka. Sebagian lagi memberi pakan dan minum.
Saya bergegas mendatangi seorang sopir truk yang berwarna hijau. Kembali saya menerima penolakan. Tak patah arang, ganti saya mendatangi truk berwarna putih.
Baca juga: Nekat Mendatangi "Kampung Begal" di Lampung
Tak disangka, sopir bernama Erwin itu langsung mengizinkan saya ikut. Tetapi, bukan di dalam kabin, melainkan di atas bak truk bersama para peternak. Alasannya, di kabin sudah penuh berisi empat orang.
Mendapat angin segar, kesempatan itu pun tidak saya sia-siakan. Saya nekat naik dengan pertimbangan belum tentu nantinya bertemu lagi dengan sopir yang mau saya tumpangi. Dengan susah payah karena sambil menggendong tas ransel besar, saya berusaha memanjat bak truk dari samping kanan.
Di atas bak ternyata sudah ada tujuh peternak yang ikut mengantar sapi-sapi mereka ke Ibu Kota. Mereka duduk di atas bilah-bilah bambu yang ditata sejajar dengan ujung-ujungnya diikat ke bagian atas dinding bak truk dengan bantuan tali.
Ukuran alas bambu itu sekitar 2x2 meter dengan bagian atas diberi atap terpal berbentuk segitiga. Bentuknya keseluruhan seperti tenda kemah. Di dalamnya gelap karena tanpa penerangan. Tenda itu hanya bisa dipakai untuk duduk di bagian tengah.
Saya duduk di atas alas bambu yang berada di luar terpal dengan posisi kaki menjuntai ke bawah dan bersinggungan langsung dengan punggung sapi. Aroma amoniak dari kotoran sapi menusuk hidung.
Dalam keremangan terlihat seorang peternak tertidur dengan wajah kepayahan akibat mabuk perjalanan. Maklum, sudah dua hari perjalanan dari Bima.
Baca juga: Menguji "Stereotipe" Chef Galak
Saya lalu teringat harus memberi kabar terbaru kepada Kepala Biro di grup Whatsapp bahwa saya sudah dapat truk dan urung menginap di Banyuwangi. Beberapa teman di grup mengingatkan agar saya berhati-hati dan tidak nekat.
”Utamakan keselamatan, tak ada berita seharga nyawa,” ucap seorang kawan.
Tiba-tiba, dari kegelapan tenda terdengar suara seseorang berkata, ”Mas, yakin bakal sampai Jakarta?" Ia mengulangi pertanyaannya sekali lagi.
”Maksudnya?” tanya saya.
”Ya, kita, kan, tidak pernah tahu apa yang akan terjadi. Kita masih dua hari lagi di jalan,” sahutnya.
Mendengar itu tekad saya langsung goyah. Saya meresponsnya dengan langsung turun dan berniat mencari truk lain yang memungkinkan saya bisa masuk ke dalam kabin.
Meski sedikit menyesal, saya putuskan untuk kembali duduk di dekat pos satpam. Mata saya nanar menyaksikan satu per satu truk mulai meninggalkan Balai Karantina setelah menyelesaikan urusan administrasi mereka.
Tinggal tiga truk tersisa. Tak disangka, seorang warga tiba-tiba menarik lengan saya dan mendatangi sebuah truk yang tengah berhenti di seberang jalan.
Seseorang yang sayangnya saya lupa namanya itu kemudian menyampaikan kepada sang sopir truk bahwa ada ada wartawan Kompas yang hendak liputan angkutan sapi dari daerah ke Jakarta dalam rangka menyambut Idul Adha.
Tanpa banyak tanya, sopir yang bernama Riswanto itu mengizinkan saya ikut begitu saja. Dia menyuruh saya langsung naik ke kabin di belakang kursi sopir dan duduk di kursi panjang yang hampir penuh oleh salon spiker, tas, dan jaket milik sopir, serta seorang pengawal sapi bernama Tajudin.
Dari sinilah perjalanan panjang selama 48 jam dimulai. Diawali dengan membelah malam bersama 27 ekor sapi, perjalanan pun penuh goyangan ritmik karena suspensi truk yang tentu tak seempuk mobil pribadi.
Kami baru berhenti saat dini hari untuk istirahat sejenak di warung makan atau rest area. Udara dingin dan gigitan nyamuk menyambut. Kali ini kantuk tak menemukan penyalurannya. Jangankan membayangkan soal empuknya kasur, mandi saja tak terpikirkan.
Duduk bersila di kursi panjang kabin truk tanpa banyak gerak bukanlah hal yang menyenangkan, apalagi selama dua hari. Dengan kecepatan rata-rata tak lebih dari 60 kilometer per jam, perjalanan sepanjang Tol Trans-Jawa hanya menawarkan pemandangan yang itu-itu saja.
Menghadap ke depan, terlihat jalan raya dengan kanan kiri hamparan sawah atau lahan. Menengok ke kanan bertemu gantungan baju, tas, dan jaket sopir. Tengok ke kiri bertatapan dengan tumpukan salon spiker dan tas milik pengawal sapi. Tengok ke belakang, dari balik kaca terlihat sapi-sapi lengkap dengan kotorannya yang belum dibersihkan.
Kondisi ini masih diperparah dengan asap rokok. Baik sopir maupun pengawal sapi tak henti merokok. Untung saya pakai masker yang kemudian fungsinya bertambah sebagai penangkal paparan asap meskipun tidak bisa sepenuhnya.
Rasa bosan pun mulai menyergap. Saat mampir sejenak di rest area tol, saya bertemu truk-truk lain dari rombongan yang sama dengan truk yang saya tumpangi. Sempat beberapa kali bertemu dengan truk pengangkut sapi dari rombongan lain, tetapi sulit untuk mengajak sopirnya mengobrol karena jadwal istirahat yang tidak sama. Saat truk saya harus berangkat, mereka baru tiba, atau sebaliknya.
Dalam perjalanan terkadang tak sengaja saya tertidur lalu terbangun gara-gara mendengar sopir yang mengeluh ngantuk. Lain kali terbangun karena mendengar sopir dan pengawal sapi yang ”ngomel” lantaran salah jalan.
Pengawal sapi di truk berbeda yang memandu rombongan adalah orang NTB yang belum hapal peta Jakarta sehingga salah jalan sedikit kendaraan harus memutar jauh.
Badan sudah tidak karuan rasanya. Untunglah, saat istirahat di rest area, Riswanto lebih sering menyerahkan kursi panjangnya untuk saya, sedangkan dia memilih tidur di dek atas bak truk.
Saat tidur, saya berbantalkan sudut pinggiran salon spiker dengan kaki menumpang tas di ujung yang berseberangan. Posisi tubuh membentuk huruf ”V” karena kursi penuh barang.
Lewat pengalaman ini, saya jadi ikut merasakan bagaimana perjuangan mereka yang mencari nafkah dengan cara memenuhi kebutuhan kurban di hari raya. Bukan saja kekuatan fisik yang diperlukan, melainkan juga psikis. Yang terakhir ini sangat penting agar tetap waras sampai di tujuan.
Kisah-kisahnya dapat dibaca melalui beberapa tulisan, foto, dan video yang terbit di koran Kompas dan Kompas.id.
Truk yang saya tumpangi berangkat dari Banyuwangi pada Selasa (30/5/2023) selepas pukul 20.00 dan tiba di Sawangan, Depok, Jawa Barat, Kamis (1/6/2023) sekitar pukul 20.00. Dengan kata lain, saya menghabiskan waktu 48 jam di jalan.
Lima belas menit setelah tiba di tujuan, saya sudah berada di atas sadel motor ojek daring menuju rumah kawan terdekat untuk mandi dan tidur, dua hal mewah yang absen dari kehidupan saya dalam dua hari terakhir.