Nekat Mendatangi ”Kampung Begal” di Lampung
Kematian lima pemuda asal Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur, membawa saya masuk ke daerah yang selama ini sering dicap sebagai ”kampung begal”. Apa benar Jabung seseram yang kerap diceritakan orang?
Kematian lima pemuda asal Kecamatan Jabung, Kabupaten Lampung Timur, membawa saya masuk ke daerah yang selama ini sering dicap sebagai ”kampung begal”. Apa benar Jabung seseram yang kerap diceritakan orang?
Pada 1 April 2017, Polresta Bandar Lampung menembak mati lima pemuda yang diduga sebagai pelaku pencurian kendaraan bermotor. Lima pemuda berinisial SF (20), JI (20), RK (17), IS (17), dan HE (17) itu disebut tewas dalam baku tembak di Bandar Lampung.
Namun, keluarga para pemuda yang dituduh sebagai pencuri sepeda motor itu tidak terima dengan tindakan polisi. Mereka meragukan anak-anaknya adalah pelaku kejahatan.
Kasus yang kala itu menjadi perdebatan mendorong saya untuk melihat lebih dekat seperti apa daerah Jabung. Setelah berkoordinasi dengan editor di Jakarta melalui Whatsapp, saya pun bersiap untuk berangkat ke Jabung pada Sabtu (8/4/2017) pagi. Rencananya, saya akan menginap 1-2 malam untuk menyelami kehidupan warga di sana.
Belum apa-apa, kendala sudah menghadang. Mencari mobil sewaan untuk pergi ke Jabung ternyata amat sulit. Sudah tiga sopir mobil travel yang saya hubungi menolak mobilnya disewa. Alasannya tentu saja karena takut dibegal. Ada yang sudah mau, tetapi tiba-tiba membatalkan dengan alasan harus mengantar penumpang lain pada hari yang sama.
Tak ingin ditolak lagi, kali ini saya pakai taktik dengan ”membohongi” sopir travel yang akan saya sewa. Saat menelepon, saya hanya minta diantarkan ke Kabupaten Lampung Timur, tanpa menyebut spesifik daerah Jabung.
Saya juga berkilah hanya ingin menyewa mobil satu hari saja, pulang-pergi. Cara itu membuat saya akhirnya berhasil mendapatkan mobil sewaan.
Tak hanya itu, kendala lain datang. Kepergian saya ke Jabung membuat orangtua saya gelisah. Singkat cerita, mereka meminta suami saya, yang saat ini masih berstatus tunangan, untuk menemani liputan. Jadilah, kami berangkat bertiga. Saya, tunangan saya, dan sopir.
Baca juga: Polisi di Lampung Pun Terlibat Komplotan Pencurian Sepeda Motor
Jabung berjarak sekitar 75 kilometer dari Kota Bandar Lampung. Perjalanan ke sana semestinya hanya butuh waktu 1,5 jam. Namun, kondisi jalan yang rusak dan berlubang membuat waktu tempuh ke Jabung menjadi lebih lama, sekitar 2,5 jam.
Kami juga harus melewati kebun karet, jagung, dan singkong yang sepi. Syukurnya, tak ada kendala berarti selama perjalanan.
Memasuki wilayah Desa Negara Batin, Kecamatan Jabung, suasana sepi berganti menjadi deretan rumah panggung yang berdiri kokoh di tepi jalan utama. Negara Batin adalah 1 dari 15 desa di bawah Kecamatan Jabung.
Rumah-rumah tradisional khas Lampung yang ada di Jabung tampak masih mempertahankan ciri utama, yakni terbuat dari kayu dengan tiang-tiang sebagai badan penyangga badan rumah.
Meski demikian, setiap rumah memiliki desain rumah panggung yang beragam. Ada rumah panggung yang di bagian sampingnya terdapat tangga yang cukup tinggi. Ada juga rumah panggung dengan tangga di bagian tengah. Mayoritas rumah memiliki banyak jendela yang lebar-lebar dengan serambi sebagai tempat bersantai atau menerima tamu.
Di sepanjang jalan terlihat banyak warga menjemur padi dan jagung di halaman rumah. Jalan utama desa kondisinya beraspal mulus.
Menurut sejumlah tokoh masyarakat, nama Jabung berasal dari nama tanaman obat sejenis lengkuas yang bunganya harum berwarna merah (Alpine malacensis). Konon, tanaman itu banyak ditemukan di wilyah itu.
Jabung sebenarnya merupakan daerah pertanian yang subur. Tahun 2015, saat daerah lain di Lampung gagal panen padi akibat El Nino, Desa Tanjung Sari di Kecamatan Jabung bisa tetap panen karena memiliki sistem irigasi yang bagus. Keberhasilan Tanjung Sari membuat desa itu didatangi Menteri Pertanian saat itu Andi Amran Sulaiman saat panen raya.
Baca juga: Menguji Stereotipe "Chef" Galak
Menginap
Tiba di Jabung, tempat pertama yang saya tuju adalah rumah Pak Mansyur Syah, Kepala Desa Negara Batin. Saya menghabiskan waktu dua jam untuk mewawancarai Pak Mansyur.
Berbagai hal saya tanyakan, termasuk soal stigma Jabung sebagai sarang pelaku kejahatan. Mansyur tak menampik. Ia bahkan mengungkapkan, dalam 10 tahun terakhir ada belasan peti jenazah dikirim ke desa-desa di Jabung. Isinya, jasad warga desa yang ditembak polisi karena terlibat kasus pencurian sepeda motor.
Meski demikian, Mansyur menolak anggapan bahwa di Jabung dilakukan semacam regenerasi pelaku pencurian kendaraan bermotor. Menurutnya, tentu saja tidak ada orangtua di situ yang ingin anaknya menjadi pencuri sepeda motor atau perampok, apalagi sampai mengajarkannya.
Munculnya kriminalitas di Jabung akibat pengaruh narkoba dan desakan ekonomi. Selama ini, pelaku yang tertangkap atau tertembak aparat umumnya berasal dari keluarga miskin yang juga terlibat kasus narkoba.
”Kami sedang berupaya memperbaiki nama Jabung. Namun, kami juga butuh dukungan banyak pihak, baik aparat maupun pemerintah kabupaten atau provinsi,” kata Mansyur.
Tak terasa, obrolan yang asyik bersama Pak Mansyur membuat saya lupa waktu. Sopir yang mengantar saya rupanya sudah gelisah. Beberapa kali dia mengirim pesan melalui Whatsapp berisi ajakan segera keluar dari Jabung sebelum malam tiba.
Sang sopir bahkan memberitahu bahwa ia sudah berkali-kali ditelepon sang istri yang memintanya segera pulang. Dengan berat hati terpaksa pesan itu saya abaikan karena saya sudah berniat untuk bermalam di Jabung.
Saya masih butuh berbincang dengan narasumber lainnya. Usai berpamitan dengan Pak Mansyur, saya ganti berkunjung ke rumah Ibrahim dan Zainal Abidin, tokoh pemuda setempat.
Sang sopir yang cemas kembali menanyakan kepastian pulang ke Bandar Lampung karena hari sudah mulai sore. Saya lalu menyampaikan bahwa saya butuh menginap di Jabung. Tak lupa saya meyakinkan bahwa kondisi kami akan baik-baik saja. Mendengan penjelasan saya, raut wajahnya hanya bisa pasrah.
Malam itu, kami menginap di rumah orangtua Ibrahim. Kami disambut ramah dan hangat. Sajian teh hangat dan pisang goreng menemani perbincangan. Setelah itu, kami bahkan diajak makan sate di warung pinggir jalan.
Seusai makan malam, mereka mengajak saya menengok kegiatan beberapa pemuda yang sedang berlatih silat. Dengan semangat, mereka berlatih bela diri tanpa senjata. Beberapa di antaranya pernah menjadi juara berbagai lomba.
Zainal lalu bercerita, banyak warga mengalami diskriminasi akibat stigma Jabung sebagai ”kampung begal”. Identitas sebagai warga Jabung membuat warga kesulitan mendapat pekerjaan.
Padahal, mereka tidak pernah memiliki catatan kejahatan. Akibatnya, mereka terpaksa kembali ke desa karena ditolak bekerja di kota. Sementara tidak banyak lapangan pekerjaan tersedia di desa.
Beberapa orang juga pernah mengalami diskriminasi saat terjaring razia kendaraan bermotor di jalan. Beberapa warga Jabung pernah diminta sampai membuka sepatu dan kaus kaki lalu seluruh bagian tubuhnya diperiksa hanya gara-gara identitas mereka sebagai orang Jabung.
Baca juga: Mengejar Halaman Depan untuk Yadnya Kasada
Untuk menghindari diskriminasi dan kecurigaan polisi, saat pergi ke luar kabupaten, warga Jabung sengaja membawa buku pemilik kendaraan bermotor (BPKB), selain membawa STNK dan SIM.
Warga sadar, banyaknya pelaku tindak kriminal yang mengaku asal Jabung membuat aparat memperketat pemeriksaan saat bertemu dengan warga Jabung.
Karena itulah, mereka kemudian bergotong royong melakukan berbagai kegiatan positif demi mengembalikan nama baik Jabung. Mereka ingin membuktikan bahwa tidak semua warga Jabung adalah pelaku kejahatan.
Kesan saya pribadi setelah tiba di Jabung dan berbincang dengan warga setempat, daerah itu tidak seseram yang diceritakan orang. Buktinya saya selamat sentausa masuk dan keluar dari wilayah itu. Pak Sopir yang semula ketakutan juga senyum-senyum saja setelah melewati hari di sana dengan aman.
Daerah Jabung tampak cukup makmur dan kebanyakan warganya masih menjaga identitas budaya. Walaupun harus diakui ada beberapa orang yang menjadi ”nila” dan merusak susu sebelanga.