Ribuan Kilometer Ditempuh demi Memasok Sapi ke Ibu Kota
Ribuan kilometer dilalui untuk mengantar sapi dari Nusa Tenggara Barat menuju Ibu Kota. Beragam suasana pun dirasakan oleh sopir truk, pengawal sapi, hingga peternak selama dalam perjalanan.
Jarum jam menunjuk lepas pukul 00.42, Kamis (1/6/2023), saat Riswanto (51) tak lagi bisa menahan rasa kantuk. Tanda-tanda Rest Area Kilometer 389 Jalan Tol Trans-Jawa di Batang, Jawa Tengah, yang hendak dituju sebagai tempat istirahat tak kunjung terlihat.
Sementara truk Fuso warna oranye yang dia kemudikan lebih dari 600 kilometer hari itu—sejak bangun tidur terakhir di Kabupaten Situbondo, Jawa Timur, Rabu (31/5/2023) pagi—mulai melaju kurang stabil. Laju truk beberapa kali melambat dan sedikit goyang.
”Uaah…(menguap). Kok belum sampai ya, mana rest area kok belum kelihatan. Kok belum kelihatan…?” keluhnya lirih sambil menyeka mata dengan punggung telapak tangan.
Kompas yang duduk di bangku belakang sopir mencoba menawarkan diri untuk membantu membasuh mukanya dengan air mineral agar rasa kantuknya berkurang. Namun, Riswanto menolak tawaran itu.
Beberapa keping biskuit rasa kelapa—yang sebelumnya teronggok di kardus dekat tuas persneling—dia ambil untuk ”mengganjal” pelupuk mata. Sebelumnya, sejak istirahat terakhir di Rest Area Km 487 Boyolali, sebotol minuman energi dan berbatang-batang rokok telah dia isap tetapi kantuk tetap menyergap.
Sempat tebersit niat menggantikan dia mengemudi meski saya sendiri belum terbiasa membawa truk carier—bak dua dek yang biasa dipakai untuk mengangkut sepeda motor—sepanjang 12 meter. Niat itu pun akhirnya urung. Saya lebih memilih mengajak dia terus berbicara agar pandangannya tetap fokus ke depan.
Menggantikan sopir sebenarnya juga bukan pilihan bijaksana. Risikonya besar karena di bak truk ada 27 sapi bernilai ratusan juta rupiah yang sudah tiga hari di tempat itu. Salah sedikit bisa berbuntut fatal. Sapi bisa terguncang.
Dampaknya, kaki sapi bisa patah, sapi menjadi cacat, bahkan mati dan tidak laku dijual. Riswanto yang berasal dari Cengkareng, Jakarta Barat, itu tentu tidak menginginkan hal ini terjadi.
Untungnya, tak begitu lama, truk masuk Rest Area 389B. Begitu kendaraan terparkir, lelaki yang telah berpengalaman mengemudi selama 20 tahun di jalur Jawa dan Sumatera itu langsung naik ke dek atas dan tidur.
Namun, baru sebentar terlelap, dia memutuskan kembali turun dan masuk ke kabin dengan alasan tidak kuat menahan dingin tidur beratap langit. “Saya sebenarnya tidak biasa tidur di dalam kabin, gerah,” ucapnya.
Subuh pun tiba. Masih dibuai lelap, pintu truk tiba-tiba digedor dari luar oleh kawan sesama sopir. Sang kawan mengingatkan Riswanto untuk kembali melaju agar sampai di Jabodetabek sesuai target waktu, yakni Kamis malam.
Apa yang dialami Riswanto ini merupakan sepenggal gambaran bagaimana perjuangan melelahkan mengantarkan ternak dari daerah ke Ibu Kota. Bagaimana ternak diangkut ribuan kilometer dari petani di desa-desa terpencil di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat, untuk dijual kembali di pinggiran Jakarta.
Baca juga: Bergembira dengan Kesembuhan Sapi, Peternak Minta Wapres Berkurban di NTB
Truk yang dikemudikan Riswanto bersama empat truk lainnya sudah menempuh perjalanan sejak Sabtu (27/5) sore. Mereka sampai di Pelabuhan Poto Tano satu hari kemudian. Karena menunggu kapal yang lebih terbuka dan aman bagi ternak, baru Selasa (30/5) pagi mereka bisa menyeberang ke Jawa. Rombongan ini tiba di Pelabuhan Ketapang, Banyuwangi, Selasa malam.
Sepanjang perjalanan, para sopir yang ditemani ”pengawal sapi” itu hanya tidur 3-4 jam per hari. Lokasinya pun seadanya, terkadang di rest area tetapi tidak jarang di teras warung di pinggir jalan. Saat siang hari, mereka lebih sering beristirahat karena menyesuaikan dengan kebutuhan istirahat sapi dan pengaruh cuaca. Oh iya.. tak semua truk punya sopir pengganti ataupun kernet.
Saat istirahat, begitu pengawal sapi memberi makan dan minum kepada ternak yang mereka antar, para awak truk memanfaatkan waktu untuk makan, ngopi, merokok, dan terkadang bermain slot. Minuman energi, seperti Krating Daeng dan Hemaviton, pun menjadi bekal yang seolah wajib dibawa.
Baca juga: Semangat Pujon diMalang dalam Meningkatkan Produksi Susu
Riswanto dan kawan-kawan membawa 116 sapi. Sapi-sapi itu telah dibeli oleh salah satu bos untuk dijual lagi menjelang Idul Adha. Dengan berat hingga 300 kilogram per ekor, sapi itu dibeli seharga Rp 10 juta-Rp 12 juta per ekor dari peternak.
Di Bima tidak sulit untuk mendapatkan sapi (capi, bahasa setempat) dari peternak. Selama ini ada pedagang (blantik) yang berkeliling datang ke rumah-rumah untuk membeli sapi. Oleh blantik, sapi itu ada yang dikirim langsung ke Jakarta. Namun, ada pula yang dibeli oleh blantik lain lalu dikirim keluar daerah.
Tentu saja, di tiap tingkatan pedagang ada kenaikan harga Rp 500.000-Rp 1 juta per ekor. Sampai di Jakarta, saat menjelang Idul Adha seperti ini, harga sapi itu akan melambung hingga Rp 20 jutaan per ekor dengan pertimbangan faktor biaya transportasi, risiko perjalanan, dan lainnya. Pada momentum hari biasa harganya masih di bawah Rp 15 juta per ekor.
Lihat juga: Melihat dan Memilih Langsung Ternak Kurban di Kandangnya
Lukman, salah satu bos sapi yang menggelar jualan di kawasan Sawangan, Depok, Jawa Barat, menuturkan, jelang Idul Adha kali harga belanja dan jual sapi naik dibandingkan tahun sebelumnya. Harga belanja sapi dari peternak tahun ini naik 10-15 persen. Begitu pula dengan harga jual naik 10 persen.
”Peningkatan harga ada pengaruh dari ekspedisi. Harga di tingkat petani juga naik sehingga kita juga menaikkan harga sedikit,” kata Lukman yang menyiapkan 120 sapi asal Bima. Dia belum bisa menyebut berapa harga di sapi di lapaknya karena saat itu mereka baru saja tiba dari Bima dan butuh adaptasi selama beberapa hari di kandang.
Menurut Lukman, jumlah sapi yang masuk ke Jabodetabek tahun ini lebih banyak dibandingkan waktu yang sama tahun lalu yang masih terpengaruh penyakit mulut dan kuku. Jumlah pedagang sapi saat ini juga lebih banyak ketimbang sebelumnya.
Untuk mengangkut sapi dari Bima biasanya dilakukan melalui ekspedisi. Hitungannya mencapai Rp 25 juta-Rp 30 juta per truk dengan jumlah muatan di atas 20 ekor. Adapun satu ekor biasa dihitung Rp 1,5 juta. Kendaraan yang dipakai biasanya truk balen (pulang dari mengantar barang) yang dimodifikasi sedemikian rupa sehingga aman untuk mengangkut ternak.
Tahun lalu kami harus berebut dengan sesama teman untuk bisa masuk tol laut. Bahkan sampai hendak saling pukul. Tak ingin peristiwa itu terulang, tahun ini kami memilih cara ini. Tahun ini tak ada yang menggunakan tol laut.
Sekilas, orang bisa membedakan apakah sapi yang diangkut oleh truk berasal dari Bali atau NTB. Jika bak truk menggunakan paranet (jaring) sebagai pelindung panas, itu sapi dari Bali. Sementara truk dari NTB tidak memakai paranet sebagai pelindung karena sapi NTB dianggap lebih kuat dari paparan matahari.
Perjalanan dari Bima ke Jawa butuh waktu berhari-hari. Setelah menempuh perjalanan darat di Pulau Sumbawa, mereka masih harus menyeberang laut. Begitu sampai di Banyuwangi, mereka masih menempuh perjalanan darat selama dua hari sampai Jabodetabek. Jalur yang ditempuh mulai dari Jalan Raya Pantura yang sempit dan padat hingga masuk Jalan Tol Trans-Jawa di Probolinggo atau Pasuruan.
”Kami berangkat dari Bima pada Sabtu (27/6/2023) sore dan sampai pelabuhan Minggu sore. Di pelabuhan tidak bisa langsung menyeberang, tetapi harus memilih kapal yang terbuka. Kalau kapalnya tertutup, kasihan sapinya, bisa stres,” kata Tajudin (42), seorang pengawal sapi asal Desa Tangga, Kecamatan Monta, Kabupaten Bima.
Tajudin menjadi pengawal sapi dari NTB ke Jakarta sejak 1999. Jika pada awalnya dia mengawal sapi potong sepekan sekali, akhir-akhir ini dia hanya mengawal sapi untuk kebutuhan Idul Adha setahun sekali.
Ini merupakan kali pertama Tajudin mengantar sapi melalui Tol Trans-Jawa. Tahun lalu, mereka menggunakan tol laut dari sampai Jakarta dengan waktu tempuh enam hari. Karena tahun lalu ada pengalaman buruk menggunakan tol laut, tahun ini mereka memilih jalur darat.
”Tahun lalu kami harus berebut dengan sesama teman untuk bisa masuk tol laut. Bahkan sampai hendak saling pukul. Tak ingin peristiwa itu terulang, tahun ini kami memilih cara ini. Tahun ini tak ada yang menggunakan tol laut,” ujar Tajudin yang mengaku lega karena semua sapi yang dia kawal sehat dan selamat sampai tujuan. Selama menjadi pengawal sapi, dia mengaku tidak pernah mengalami kendala di jalan.
Mengantar ternak tidak hanya dilakukan pihak ekspedisi bersama pengawal. Tidak jarang peternak sapi ikut mengantar ke Jakarta secara bersama-sama dengan peternak lain satu desa. Mereka berangkat ke Jakarta untuk menjual sapi dan bertahan di sana sampai sapi-sapi itu habis terjual.
Kompas sempat hendak bergabung dengan truk yang ditumpangi oleh 11 orang (4 di kabin dan sisanya di atas bak truk) saat mereka tiba di Banyuwangi. Namun, mengingat kondisinya kurang aman dan lama perjalanan ke Jakarta yang mencapai dua hari, akhirnya Kompas memilih turun dan mencari truk lain.
Jumlah penumpang yang banyak membuat mereka harus memodifikasi bagian atas bak truk menggunakan bambu yang disusun pararel, lalu diikat tali, sebagai tempat duduk dan tidur. Ukurannya sekitar 2 meter x 2 meter beratap terpal dengan tinggi bagian tengah hanya cukup untuk duduk bersila bagi orang dewasa. Tumpukan karung berisi pakan ditaruh di sisi depan guna melindungi dari terpaan angin sepanjang perjalanan.
Ismail (50), peternak lain yang membawa sapi dari Bima, bahkan membawa dua keponakannya yang masih berumur 7 tahun dan 12 tahun ikut naik truk ke Jakarta. Ismail mengaku dirinya sebenarnya tidak ingin keduanya ikut. Namun, sang ayah dari kedua anak itu, M Nasir (42), tetap mengizikan mereka ikut.
Walakin, kedua keponakan itu duduk di atas bak bersama 4 orang lainnya. Sementara di kabin ada 3 orang, salah satunya sopir. Saat itu Ismail membawa 25 sapi. ”Mereka (keponakan) senang dan sejauh ini tidak masuk angin,” tuturnya.
Baca juga: Nestapa Peternak Sapi Perah Akibat PMK
Erwin Syah (30), pengemudi truk yang lain, bahkan mengangkut 10 peternak. Mereka mengawal 23 sapi yang ada di bak. Dari 10 orang tersebut, 7 orang duduk di atas bak dan 3 orang lainnya di kabin. Bisa dibayangkan, bagaimana 7 orang tadi berdesakan di tempat nan sempit. Apalagi, malam itu, satu di antara mereka mabuk perjalanan.
”Kami sudah melaju beberapa hari dari Bima dan sejauh ini aman. Ini masih ada dua hari lagi baru sampai tujuan,” tutur Erwin sesaat setelah mendarat tidak jauh dari Pelabuhan Ketapang.
Menurut Erwin, mengangkut sapi berbeda dengan mengangkut barang. Laju truk pengangkut sapi tidak bisa ngebut. Jika truk melaju kencang dan mengenai lubang jalan, kaki sapi bisa terguncang bisa patah. Begitu pula pengereman secara mendadak bisa membuat kaki sapi patah.
Parno (55), salah satu pengawal sapi dari Bali yang hendak menuju Jakarta, punya pengalaman saat 3 sapi yang dia bawa mengalami patah kaki beberapa tahun silam. Saat itu, dia mengemudi kurang hati-hati.
”Dulu kendaraan yang digunakan masih standar, belum sepanjang saat ini, sehingga jumlah sapi yang dibawa kala itu maksimal 14 sapi. Kalau sekarang di atas 20 sapi,” katanya.
Trik lainnya agar sapi yang dibawa selamat selain berhati-hati, menurut Parno, adalah jangan sampai tali yang mengikat sapi bersilang satu dengan lainnya. Untuk sapi jenis tertentu, seperti sapi bali sebaiknya tidak diberi makan dan minum terlalu banyak saat di perjalanan. ”Bisa sakit,” ujarnya.
Menurut Riswanto, mengangkut sapi sama dengan mengangkut air, mudah bergerak dan membuat truk goyang. Oleh karena itu, sopir yang paham biasanya tidak melaju terlalu kencang dengan alasan menghindari pengereman mendadak.
Cuaca juga berpengaruh terhadap kecepatan laju kendaraan. ”Pada kondisi panas kecepatan truk maksimal 60 kilometer per jam dan 80 kilometer per jam dalam kondisi aspal dingin,” tutur Riswanto. Mengangkut ternak, katanya, juga dipengaruhi target waktu terkait dengan kesehatan sapi-sapi itu sendiri. Beda dengan barang lain yang waktunya lebih leluasa.
Masalah lainnya saat mereka konvoi, sopir harus untuk menunggu kendaraan lain yang tertinggal di belakang. Sebab, tidak semua kendaraan kondisinya fit dan bisa melaju kencang. Ada juga truk yang kondisi bannya tipis sehingga tidak memungkinkan ngebut di tol.
Begitu memasuki Ibu Kota, bukan hal yang mudah untuk mencari lokasi kandang yang biasanya berada di pinggiran. Membawa beberapa truk besar di keramaian jalanan Jakarta dengan koordinasi dan pengetahuan yang minim dari para pengawal sapi menjadi kendala. Beberapa kali truk salah jalan sehingga harus memutar balik. Kalau sudah begitu, emosi sopir pun sedikit meninggi.
Nah, bagaimanapun mengantar sapi ke Ibu Kota ternyata penuh ”drama” dan perjuangan. Lebih enak konsumen di Jakarta, kan, yang tinggal mengonsumsi daging.