Pernah ada pengunjung berlaku tak sopan dan bicara sembarangan. Sewaktu tamu tersebut hendak keluar desa, ternyata tak berhasil menemukan jalan pulang. Ia akhirnya menemui tokoh adat setempat untuk meminta bantuan.
Oleh
IRMA TAMBUNAN
·5 menit baca
Cerita tentang dunia gaib lekat mewarnai tugas-tugas liputan di pedalaman. Kisahnya tak hanya hidup di sekitar hutan di hulu-hulu sungai, tetapi juga hingga ke hutan pesisir. Beberapa di antaranya kami dengar di sela-sela liputan di hutan bakau Jambi, 1-2 April lalu.
Saat itu, Kompas pergi meliput bersama sejumlah rekan jurnalis. Dari Kota Jambi, kami bertolak pada sore hari menuju Kuala Tungkal, ibu kota Kabupaten Tanjung Jabung Barat. Perjalanan memakan waktu 2,5 jam.
Setibanya di Kuala Tungkal sekitar pukul 21.00 WIB, kami diajak menyaksikan tradisi Arakan Sahur yang merupakan tradisi Ramadhan di wilayah pesisir Jambi.
Biasanya arakan berlangsung malam hingga menjelang waktu sahur. Namun, kali ini lebih singkat karena jarak tempuh arak-arakan lebih pendek dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya. Pukul 01.00 WIB, arakan telah selesai. Kami pun beristirahat di penginapan.
Esok pagi, kami bertolak menuju hutan bakau. Petugas kantor Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) Tanjung Jabung Barat mengantar dengan sepeda motor.
Perjalanan memakan waktu satu jam dengan melintasi kota di atas air, dilanjutkan menyusuri jalanan dusun yang memanjang sampai ke tepi laut.
Dalam perjalanan, kawan yang mengendarai motor bercerita kepada saya yang duduk di jok belakang. Dua temannya pernah mendapatkan pengalaman aneh sewaktu meliput ke hutan bakau itu.
Selama menjelajahi hutan, keduanya berhasil mendokumentasikan banyak gambar. Akan tetapi, sekembalinya pulang, mereka kaget karena seluruh gambar tampak buram dan kabur. ”Gambarnya blur semua,” katanya.
Keanehan itu rupanya diamini warga setempat. Saat singgah ke rumah perajin batik bakau, kami disambut dengan hangat. Kelak di tengah obrolan soal batik, terselip cerita mistis.
Sebelumnya, perbincangan berlangsung seru. Cerita demi cerita mengalir. Tak ketinggalan pengalaman soal gambar foto dan video yang buram dan kabur. Rupanya kejadian serupa pernah dialami beberapa tamu lain. ”Makanya, desa ini dinamai Pangkal Babu,” ujar salah seorang pebatik.
Saya pun menanyakan arti ”babu”. Katanya, ”babu” mengacu pada kata "abu-abu" yang dimaknai sebagai antara yang tampak dan yang tak kasatmata alias antara dunia nyata dan dunia gaib.
Adapun nama ”pangkal” mengacu pada salah satu lokasi pangkal sungai di desa yang kerap menjadi tempat ditemukannya perahu atau jasad warga yang mengalami musibah di air.
Kami yang mendengar penjelasan itu hanya bisa manggut-manggut, antara percaya dan tidak. Menjelang tengah hari, kami pun berpamitan hendak melanjutkan perjalanan menuju hutan bakau. Namun, tiba-tiba beberapa ibu perajin menahan kami.
”Sekarang jam 12 siang, tak baik berkeliaran di luar. Istirahat dulu saja di sini,” ujar mereka seraya menunjuk bantal di lantai kayu agar kami merebahkan tubuh.
Kami pun menurut. Pada pukul 13.00 WIB, kami memutuskan kembali pamit. Perjalanan berlanjut menuju hutan bakau.
Sebuah plang penanda tempat ekowisata hutan bakau menyambut di tepi jalan. Kami pun berjalan menyusuri jalur setapak dari kayu. Panjang jalur itu hampir 1 kilometer hingga tembus ke bibir laut.
Sepanjang jalur yang kami lalui terasa teduh berkat keberadaan beragam jenis mangrove yang tumbuh rapat dan melindungi area sekitarnya dari terik surya.
Menurut Lamin (60), petani Kelompok Bakau Lestari, masyarakat setempat peduli menjaga hutan. Bisa jadi itu buah dari pengalaman buruk warga yang permukimannya pernah diterjang ombak dahsyat akibat hutan mangrove yang rusak.
Mereka pun jadi menyadari pentingnya manfaat bakau di pesisir. Kegiatan konservasi pun tumbuh dan hingga kini menjadi keseharian di Pangkal Babu.
Tidak hanya itu. Bagi masyarakat setempat, selain menjaga lingkungan, penting juga untuk menjaga perilaku dan pikiran. Mereka meyakini, barang siapa yang berperilaku buruk, terutama selama di hutan, akan mendapatkan hukuman saat berada di desa.
Lamin kemudian bercerita, pernah ada pengunjung berlaku tak sopan dan bicara sembarangan. Sewaktu tamu tersebut hendak keluar desa, ternyata tak berhasil menemukan jalan pulang.
Ia akhirnya menemui tokoh adat setempat untuk meminta bantuan. Oleh tokoh adat, ia diingatkan untuk memperbaiki tingkah lakunya. Setelah meminta maaf, barulah orang itu menemukan jalan pulang.
Kami kemudian singgah menemui seorang tokoh konservasi di desa itu. Ahmadi namanya. Ia berusia 73 tahun. Ahmadi lalu bercerita soal perjuangan konservasi hutan bakau tersebut. Namun, lagi-lagi cerita mistis terselip.
Menurut Ahmadi, ada beberapa tamu yang shooting gambar bergerak di desa itu, tetapi ternyata hasilnya gagal. Mungkin karena ada niatan atau perilaku tidak baik yang dilakukan sehingga makhluk-makhluk tak kasatmata di desa itu tak memberi restu.
“Di sebelah sana itu ramai ’orang’. Mereka lagi ngamati kita. Tapi, kalau kita baik, mereka tidak mengganggu,” ujar Ahmadi sembari menunjuk ke satu arah di atas loteng rumahnya.
Bagaimanapun, cerita-cerita itu turut mengusik pikiran saya. Bagaimana jika semua hasil dokumentasi yang telah saya ambil berujung kabur dan buram?
Saya coba tepis pikiran itu dan memilih berdoa dalam hati. Kalau niat kita baik, tentulah tidak akan diganggu bukan?
Kami lalu bertolak meninggalkan desa menuju penginapan. Lega rasanya karena jalan pulang tetap terbuka. Tak ada penghalang. Kami pun sampai di tujuan dengan aman.
Bagaimana dengan hasil foto dan video yang saya ambil? Ah, betapa leganya karena semua hasil jepretan aman. Semua artikel dan foto pun siap dikirim ke redaksi.
Sungguh sebuah pengalaman berkesan melihat bagaimana kisah-kisah yang bagi sebagian orang dipandang mistis ini turut andil dalam menjaga kelestarian alam.