Tatapan Sendu Monyet yang Membuyarkan Rencana
Perut mulai keroncongan. Saya duduk dan membaca menu yang didominasi dari bahan daging monyet, seperti sop daging monyet dan otak monyet. Aroma sop mengingatkan saya pada tatap mata monyet-monyet dari balik jeruji.
Fajar merekah ketika saya tiba di dermaga Pelabuhan Ketapang, Lampung Selatan, awal Agustus 2005. Berbekal ransel, botol minum, dan kamera seadanya, pagi itu saya siap menyeberang menuju ke “pulau monyet”.
Sesudah negosiasi biaya sewa perahu motor, bersama pengemudi perahu saya bertolak menuju Pulau Umang-Umang, di Desa Legundi, Kecamatan Padang Cermin, Kabupaten Lampung Selatan.
Langit biru berawan, desir angin yang lembut, dan percikan ombak di permukaan laut yang tenang, seolah menyiratkan pagi itu adalah waktu yang tepat untuk bertandang.
Menginjakkan kaki di Lampung merupakan hal istimewa buat saya yang ketika itu masih tergolong wartawan mula. Liputan pertama ke Lampung pada dua tahun sebelumnya, juga menyeberang dengan kapal dari Pelabuhan Merak di Banten ke Pelabuhan Bakauheni, Lampung Selatan, guna liputan arus mudik Lebaran. Bertemu hal-hal baru untuk kemudian menuangkannya dalam tulisan bagaikan petualangan yang menggembirakan.
Dalam benak saya, sudah terpikir beberapa rencana liputan di Lampung dalam kurun kunjungan yang singkat. Saya pun sangat bersemangat dan tidak ada rasa deg-degan meski menyadari perahu motor yang saya naiki tidak menyediakan pelampung dan jaket pengaman.
Selama perjalanan, saya dan pengemudi perahu larut dalam obrolan ringan. Ia menyatakan keheranannya dengan pilihan saya untuk mendatangi pulau yang bisa dikatakan tidak berpenghuni. Dia lalu bercerita bahwa ada beberapa pulau lain di Lampung Selatan yang juga cantik tetapi minim wisatawan.
Obrolan kami terhenti ketika pandangan saya terpaku pada pemandangan pulau di hadapan yang dikelilingi laut jernih berwarna gradasi biru-hijau. “Wow, keren!” teriak saya dalam hati kegirangan.
Pulau cantik itu adalah Pulau Umang-Umang yang menjadi tujuan kami. Perjalanan ditempuh hanya dalam waktu 40 menit dari Pelabuhan Ketapang. Sewaktu merapat, pekikan suara kera yang bersahut-sahutan terdengar di antara deru suara perahu motor yang belum dimatikan.
Julukan “pulau monyet” rasanya tak berlebihan disematkan pada pulau seluas lima hektar itu karena dipenuhi oleh monyet ekor panjang (Macaca fascicularis). Pulau yang tidak berpenghuni ini dijadikan tempat penangkaran monyet sejak tahun 1994. Melangkahkan kaki ke pulau itu, saya seolah disambut pandang mata ratusan monyet yang melompat dan bergelantungan di dahan-dahan pepohonan.
Sesekali, monyet-monyet itu terjun dari rimbunnya pepohonan untuk menyantap butiran jagung yang tersebar di tanah. Beberapa monyet berjalan mendekat, ternyata karena saya berdiri dekat dengan sebaran jagung. Mereka tidak malu-malu ataupun risih dengan kedatangan saya sebagai tamu “tak diundang”. Padahal, pergaulan mereka dengan manusia sebatas dengan tiga petugas yang sehari-hari mengurus dan memberi makan para kera.
Salah seorang petugas menuturkan, kera ekor panjang kerap terusir dari lingkungannya, bahkan dijual atau dibunuhi oleh penduduk karena dianggap sebagai hama yang merusak tanaman perkebunan setempat.
Padahal, ujar dia, monyet-monyet itu kalau dilatih sesungguhnya dapat berperan membantu pekerjaan manusia, seperti memetik buah kelapa. Omongan sang petugas langsung terbukti. Di tengah perbincangan kami, seekor monyet dengan cepat menaiki pohon kelapa. Sejurus kemudian, monyet itu dengan lincah turun dari pohon membawa sebutir kelapa.
Baca Juga: Konten Pemeliharaan Monyet Meningkat Selama Pandemi
Di Pulau Umang-umang, kera-kera itu hidup secara "semiliar". Dikatakan semiliar karena di satu sisi mereka hidup bebas di alam, tetapi di sisi lain juga "dipelihara", dalam arti ditangkarkan, diberi makan, dan sewaktu-waktu diperdagangkan untuk kepentingan riset dan biomedis. Penangkar sekaligus pengekspor monyet di Pulau Umang- Umang adalah PT Prestasi Fauna Nusantara asal Jakarta.
Awalnya, kera ekor panjang yang ditangkarkan di pulau ini berkisar 1.100 ekor. Setelah dikembangbiakkan, keturunan monyet-monyet tersebut diekspor ke Amerika dan Jepang. Jumlah monyet yang diekspor disesuaikan dengan pesanan.
Saya beruntung karena hari itu bertepatan dengan jadwal pengangkutan monyet-monyet untuk diekspor. Rimbunnya pepohonan dan semilir angin tak mampu menahan udara terik. Air minum yang saya bawa habis. Beruntung petugas kemudian menawari saya minum. Pulau itu rupanya telah memiliki persediaan air bersih yang juga diperlukan untuk sumber air minum bagi monyet.
Menyaksikan pulau yang “dikuasai” monyet dan kelincahan mereka, membuat saya banyak tersenyum hari itu. Waktu pun rasanya cepat berlalu.
Di salah satu sisi pulau, telah siap kandang perangkap berukuran 2,75 meter x 25 meter yang diisi beberapa ekor monyet. Rencananya, sejumlah monyet akan diangkut sore itu ke Jakarta dengan kapal bermotor untuk kemudian diekspor.
Guna menarik perhatian dan memudahkan penangkapan, sejumlah pisang diletakkan di dalam kerangkeng. Siang itu, petugas masih sibuk menggiring beberapa monyet masuk ke kerangkeng. Rupanya menggiring monyet satu per satu agar masuk ke kerangkeng bukanlah urusan mudah. Bisa makan waktu berjam-jam.
Monyet-monyet yang sudah tertangkap itu masih diseleksi lagi sesuai kriteria pesanan, sebelum akhirnya dipindahkan ke kandang yang terbuat dari bahan alumunium. Menjelang sore, kandang sudah terisi sejumlah monyet. Di kandang itu, monyet-monyet yang biasanya berpekik riuh berubah menjadi tidak banyak bersuara.
Baca juga: Cara Kepala Suku Mengenali Seorang Dayak
Sewaktu kapal motor pengangkut tiba, proses pengangkatan kandang dimulai dengan melibatkan beberapa orang. Sejumlah monyet berpegangan erat pada jeruji kandang. Dari balik jeruji, beberapa pasang mata menatap saya. Pandangan kami pun saling bertemu.
Setelah kandang itu dipindahkan ke kapal, mesin dihidupkan dan kapal mulai beranjak meninggalkan pulau. Beberapa monyet masih menatap saya dengan sendu hingga kapal menjauh. Saya pun tertegun.
Sepulang dari pulau itu, perasaan saya seperti teraduk-aduk. Di satu sisi, ada rasa senang “berpetualang” ke Pulau Umang-Umang dengan habitat monyet hasil pengembangbiakan. Di sisi lain, masih terekam di ingatan bagaimana tatapan monyet-monyet itu dari balik teruji.
Malamnya, saya masih harus menuntaskan satu liputan lagi. Sesuai rencana, saya hendak mendatangi tempat makan di Lampung Selatan yang menjual menu daging monyet. Konon, sebagian daging monyet itu diperoleh dari hasil perdagangan satwa liar yang dianggap hama.
Dari informasi beberapa orang, saya memperoleh ancer-ancer tempat makan tersebut. Cara menemukan lokasinya memang tidak semudah pada masa sekarang yang mengandalkan google maps atau waze. Saya bisa tiba di lokasi dengan bantuan tukang ojek setempat.
Tentu saja, monyet bukan hewan yang lazim dikonsumsi. Meskipun dianggap hama, perburuan monyet ekor panjang di alam sudah dilarang, karena dalam jangka panjang berpotensi mengancam populasi.
Baca juga: Sampah Laut Membawaku Bertemu "Orang Gila" di Tengah Hutan
Selain itu, ada keyakinan di sebagian kalangan bahwa mengonsumsi daging monyet dapat meningkatkan vitalitas, disamping khasiat kesehatan. Itulah sebabnya, monyet masih banyak diburu untuk selanjutnya diolah menjadi masakan.
Jadilah saya berencana menutup rangkaian liputan saya di Pulau Umang-umang dengan sisi lain dari perdagangan monyet. Saya tiba di warung makan itu sekitar jam 19.00, atau bertepatan dengan waktu makan malam. Saat itu, sudah ada beberapa pengunjung yang datang.
Perut saya pun mulai keroncongan. Di meja, ada selembar kertas laminasi berisi daftar menu makanan. Saya lalu duduk dan membaca menu. Menu masakan di warung itu memang didominasi daging monyet, seperti sop daging monyet dan otak monyet.
Aroma sop tercium sewaktu pengunjung di samping saya menerima pesanannya. Saya kembali membaca menu dan tercenung. Seketika, ingatan melayang pada tatapan mata beberapa monyet dari balik jeruji pada sore tadi. Saya memandang ke sekeliling. Beberapa pengunjung terlihat menyantap daging monyet dengan nikmat, sambil bercengkerama.
Rasa keroncongan di perut saya tiba-tiba berubah menjadi rasa mual. Tatap mengiba dari para monyet yang berkelindan di pikiran, membuat saya tidak tega mencicipi menu masakan berbahan daging monyet. Rasa penasaran saya terhadap masakan itu seketika kandas.
Keinginan untuk mengeksplorasi perdagangan monyet sampai ke piring makan pun pupus. Dengan langkah gontai, saya beranjak pergi dari warung makan itu. Keesokan harinya, saya kembali ke Palembang yang menjadi wilayah tempat saya bertugas.
Baca Juga: Diburu dan Dieksploitasi, Monyet Ekor Panjang Terancam Punah
Selang tiga bulan kemudian, artikel saya tentang penangkaran kera ekor panjang di Pulau Umang-Umang terbit di harian Kompas, pada tanggal 8 November 2005, dengan judul "Konservasi Satwa Liar: Umang-Umang, Pulau Penangkaran Monyet".
Ada penyesalan ketika rencana tulisan tambahan terkait perdagangan kera yang berpadu kuliner ekstrim, tidak jadi saya buat. Jika jadi, tulisan itu dapat semakin melengkapi gambaran tentang perdagangan satwa liar dan satwa dilindungi yang ketika itu sedang marak di beberapa wilayah di Sumatera.
Sebelumnya, saya juga sempat menulis artikel yang berjudul “Bebasnya Menjual Satwa yang Dilindungi” (Kompas, 18/8/2005), yakni tentang perdagangan satwa dilindungi di salah satu pasar burung di Palembang. Salah satu yang diperdagangkan adalah simpai, satwa langka sejenis kera putih.
Apa boleh buat. Tatapan monyet membuyarkan rencana.