Sampah Laut Membawaku Bertemu ”Orang Gila” di Tengah Hutan
Saat pertama datang ke tempat Pak Madun, yang menarik perhatian ialah ratusan patung di halaman rumahnya. Setiap patung disusun dari sampah laut yang tampaknya dipilih dengan cermat untuk menggambarkan karakter tertentu.
Oleh
PANDU WIYOGA
·6 menit baca
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Tempat tinggal Ahmadun yang terbuat dari sampah-sampah yang dikumpulkan dari pantai sekitar Desa Pengudang, Kecamatan Teluk Sebong, Bintan, Kepulauan Riau, Rabu (20/10/2021).
Hari Jumat (3/2/2023), saya mengendarai motor di jalan setapak yang bergelombang di tengah hutan. Di jok belakang, Iwan Winarto (46) terpental-pental sambil cekikikan memangku bungkusan berisi minyak goreng, gula, kopi, dan beberapa jenis makanan kecil lainnya.
Iwan adalah pegiat wisata dan pelestari lingkungan di pesisir utara Pulau Bintan, Kepulauan Riau. Siang itu, kami ingin menemui Ahmadun (51). Laki-laki itu tinggal di tengah hutan dan membangun rumah dari sampah laut yang dipungut dari pantai dekat situ.
”Pak Madun! Pak Madun!” pekik Iwan di gerbang rumah Ahmadun yang penuh dengan patung bermacam-macam bentuk.
Siang itu, kami ingin menemui Ahmadun (51). Laki-laki itu tinggal di tengah hutan dan membangun rumah dari sampah laut yang dipungut dari pantai dekat situ.
Mata saya menjelajah ke sekeliling. Rumah itu berdiri di tengah padang rumput di balik hutan yang tadi kami lewati. Parit-parit kecil mengelilingi dan pohon-pohon kelapa memayungi. Indah sekali.
Dari balik gerbang rumah yang disusun dari tumpukan sampah laut, Pak Madun muncul dengan baju pink dan celana panjang biru yang warnanya telah pudar. Ia tersenyum sambil garuk-garuk kepala seperti sedang mengingat sesuatu.
IWAN WINARTO UNTUK KOMPAS
Iwan Winarto, Ahmadun, dan saya berfoto bersama, Jumat (3/2/2023).
”Ini siapa hayo?” tanya Iwan menunjuk ke saya.
”(Wartawan) Kompas! Dari Batam, kan? Dulu pernah ke sini 19 Oktober 2021,” kata Pak Madun tertawa lebar.
Ingatan Ahmadun hanya meleset satu hari. Dulu saya pertama kali berjumpa dengannya pada 20 Oktober 2021. Hal itu membuat saya kagum karena ternyata ingatan dia amat tajam.
Selama ini, Pak Madun dianggap warga sekitar kurang waras karena ceritanya sering dianggap tidak masuk di akal. Hal itu pula yang membuat saya pernah datang ke sini, tetapi batal menulis.
Medio Oktober 2021 lalu, saya sebenarnya diminta meliput dampak pandemi Covid-19 di kawasan Lagoi, Bintan. Lagoi adalah kawasan wisata premium yang target pasarnya adalah turis Singapura.
Berwisata di Lagoi, apalagi gratis karena tugas kerja, mungkin dipandang amat menyenangkan di mata bagi banyak orang. Namun, entah mengapa, saat itu saya justru merasa jenuh sekali berada di sana. Rasanya seperti ikan dalam akuarium.
Oleh karena itu, akhirnya saya mencari bahan liputan lain. Saya pergi ke Desa Pengudang, 20 kilometer dari Lagoi, untuk menulis sosok Iwan Winarto yang enam tahun jatuh bangun merintis ekowisata berbasis masyarakat.
Dari Iwan, saya mendengar tentang Pak Madun. Ia menyebut ada seorang laki-laki yang membangun rumah di tengah hutan dari sampah laut. Saya pun tertarik dan mengajak Iwan pergi ke tempat itu.
KOMPAS/PANDU WIYOGA
Sampah-sampah dari pantai yang dikumpulkan dan disusun oleh Ahmadun menyerupai instalasi seni raksasa di Desa Pengudang, Kecamatan Teluk Sebong, Bintan, Kepulauan Riau, Rabu (20/10/2021).
Pertemuan pertama
Saat pertama datang ke tempat Pak Madun, yang menarik perhatian saya adalah ratusan patung di halaman rumahnya. Setiap patung disusun dari sampah laut yang sepertinya telah dipilih dengan cermat untuk menggambarkan karakter tertentu.
Berbagai pertanyaan muncul di kepala saya. Siapa orang ini? Mengapa dia tinggal sendirian di tengah hutan? Untuk apa dia membangun rumah dan menyusun ratusan patung dari sampah laut? Apa motivasinya?
Sayang, tak mudah untuk menggali fakta tentang Pak Madun. Ia sebenarnya suka mengobrol, tetapi kisahnya sering kali beralih ke hal-hal yang tidak masuk di akal, seperti misalnya tentang kedatangan alien atau perang nuklir.
Apa boleh buat, akhirnya saya menunda niat untuk menulis sosok Pak Madun. Fakta-fakta yang saya dapat saat itu belum cukup untuk disusun menjadi tulisan.
Waktu itu, saya hanya membuat foto cerita tentang rumah sampah Pak Madun. Saya berpikir setidaknya lewat foto-foto itu orang-orang di luar sana bisa sedikit tahu tentang Pak Madun yang setiap hari selama 20 tahun memunguti sampah laut dari pantai atas kemauan sendiri.
Pemandangan di Istana Ahmadun yang terbuat dari sampah-sampah yang dikumpulkan dari pantai sekitar Desa Pengudang, Kecamatan Teluk Sebong, Bintan, Kepulauan Riau, Rabu (20/10/2021).
Kesempatan kedua
Akhirnya kesempatan kedua berkunjung ke rumah Pak Madun datang satu bulan lalu. Saya tengah di Bintan untuk meliput agenda kerja seorang menteri. Setelah menyelesaikan liputan itu, saya memutuskan untuk singgah di Desa Pengudang, tempat Iwan dan Pak Madun tinggal.
Beruntung bagi kami, siang itu Pak Madun masih berada di rumah karena hujan baru saja reda. Biasanya ia sudah pergi ke pantai pada pagi hari dan baru pulang menjelang matahari terbenam.
Di ruang tamu rumahnya yang sederhana, Pak Madun menggerutu saat kami menyerahkan bungkusan berisi makanan yang kami beli di warung dekat jalan masuk ke hutan. Katanya, bagi dirinya yang hidup sebatang kara di tengah hutan, kedatangan seorang kawan saja sudah cukup.
Tanpa buang waktu, sebelum Pak Madun melantur bercerita ke hal-hal aneh seperti dulu, saya mengeluarkan kamera dan mulai merekam. Keunikan dan spontanitas dia dalam bercerita sulit digambarkan dalam tulisan, maka saya harap dengan video orang lebih mudah menangkap hal itu.
Ajaibnya, hari itu Pak Madun lancar berkisah tanpa beralih ke cerita-cerita yang tidak masuk akal seperti biasanya. Ia bisa runut menceritakan latar belakang dan perjalanannya merantau dari Pulau Buton, Sulawesi Tenggara, sampai ke Pulau Bintan di Kepri.
Untuk verifikasi cerita Pak Madun, saya minta dia menunjukkan ijazah SD sampai SMA dan akta lahirnya. Cerita dia tadi cocok dengan tahun dan tempat yang tertera di dokumen-dokumen itu.
Setelah tahu sedikit latar belakang Pak Madun, saya lalu menanyakan alasan ia tinggal di tengah hutan. Pasti tak mudah hidup tanpa siapa pun dan jauh dari mana pun.
”Kata orang saya miskin sekali. Tapi saya senang hidup begini,” jawabnya.
Pak Madun hidup dengan mencari ikan dan kepiting di pantai yang berjarak lebih kurang 1 kilometer dari rumahnya. Ikan dimakan sendiri untuk lauk, sedangkan kepiting dijual untuk beli beras.
Meskipun Pak Madun miskin, ia mau mengadopsi beberapa kucing dan anjing. Hewan-hewan itu dibuang di hutan oleh warga kampung dan akhirnya berlindung di rumah Pak Madun. Setiap hari ia membagi hasil tangkapan ikan dari laut kepada hewan-hewan peliharaannya.
”Saya memang suka kucing, kalau anjing sebenarnya sih enggak begitu suka. Tapi biar bagaimanapun, kan, kita tidak boleh usir tamu yang datang. Anjing-anjing itu enggak jahat, jadi saya pun enggak boleh jahat,” ujarnya.
Ahmadun (50) saat ditemui di tempat tinggalnya yang dikenal sebagai Istana Sampah di Desa Pengudang, Kecamatan Teluk Sebong, Kabupaten Bintan, Kepulauan Riau, Jumat (3/2/2023).
Jawaban-jawaban Pak Madun yang amat sederhana, tetapi maknanya dalam, membuat saya terhibur. Sebagai wartawan, saya terlampau sering berjumpa pejabat dan aparat yang bicara dengan kalimat canggih dan rumit.
Selama ini, orang-orang desa di sekitar sana menganggap Pak Madun kurang waras karena sering bercerita tentang hal-hal aneh. Meski demikian, menurut saya, ia menjalani hidup dengan lebih mulia daripada kebanyakan orang yang mendaku dirinya waras.
Ketika banyak orang waras tanpa peduli membuang sampah ke laut, Pak Madun seorang diri memungut sampah di pantai.
Ketika banyak orang waras tanpa peduli membuang sampah ke laut, Pak Madun seorang diri memungut sampah di pantai. Pun saat banyak orang waras tega membuang hewan peliharaan ke tengah hutan, Pak Madun yang akhirnya berbagi makanan dengan hewan-hewan malang itu.
Lalu siapa yang sebenarnya waras dan siapa yang sebetulnya gila?
”Manusia hanya ada dua macam, yang baik dan yang jahat. Waras atau gila tak begitu penting,” kata Pak Madun terbahak sampai serak.