Damang Ayal yang berumur 75 tahun memegang erat tangan saya sambil memperhatikan saya dari atas ke bawah. Beliau juga terlihat seperti mengendus sesuatu. ”Kamu orang Dayak ya?” tanyanya. ”Benar, Damang,” jawabku.
Oleh
JUMARTO YULIANUS
·6 menit baca
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Potret hutan yang masih terjaga dan asri di Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Selasa (28/3/2017).
Liputan ke daerah pedalaman selalu menarik sekaligus menantang. Saat liputan ke daerah pedalaman Kalimantan Selatan pada 2017, saya masih sempat bertemu dengan kepala suku atau tetua adat Dayak Meratus, yang biasa disebut damang. Namanya Ayal Kusal, dan biasa dipanggil Damang Ayal. Beliau meninggal pada September 2020.
Damang Ayal semasa hidupnya tinggal di daerah Pegunungan Meratus. Tepatnya di Desa Loklahung, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Desa itu berjarak lebih kurang 175 kilometer (km) dari Kota Banjarmasin. Sejak Januari 2014, saya tinggal di Banjarmasin dengan wilayah tugas liputan se-Kalimantan Selatan.
Sebelum berangkat ke Loksado, saya terlebih dahulu mengontak Ketua Umum Kerukunan Suku Dayak Meratus (KSDM) Kalimantan Selatan Kapau Fauziono, yang juga tinggal di Loksado. Saya mohon izin untuk masuk wilayah Loksado dalam rangka liputan. Saya juga menyampaikan gambaran liputan saya di sana dan tempat-tempat yang akan didatangi.
”Ya Pak, datang saja ke Loksado. Kami tunggu,” kata Kapau saat ditelepon dari Banjarmasin, beberapa hari sebelum keberangkatan.
Minggu (26/3/2017) pagi, saya berangkat dari Banjarmasin menuju Loksado dengan menggunakan sepeda motor. Perjalanan liputan saya kali ini bersama istri karena dia tertarik ingin melihat suasana dan pemandangan alam Loksado. Apalagi, Loksado merupakan kawasan wisata alam di Kalsel yang sudah ditetapkan sebagai Kawasan Strategis Pariwisata Nasional (KSPN).
KOMPAS/JUMARTO YULIANUS
Rakit bambu melintasi jeram Sungai Amandit di Desa Loklahung, Kecamatan Loksado, Minggu (24/11/2019).
Saya dan istri berangkat dari rumah pukul 07.00 Wita. Anak semata wayang kami tidak ikut dan dijaga oleh neneknya yang kebetulan datang dari Kalimantan Barat (Kalbar). Perjalanan sejauh 40 km dari Banjarmasin sampai Martapura, Kabupaten Banjar, berjalan lancar. Cuaca juga masih cukup bersahabat.
Namun, setelah melewati Martapura, cuaca tiba-tiba berubah menjadi mendung. Angin berembus kencang. Sejurus kemudian, hujan lebat. Kami terpaksa menepi dan mencari tempat berteduh. Bukan hanya sekali melainkan harus berkali-kali kami berteduh karena di luar dugaan cuaca sangat tidak bersahabat.
Setelah lewat tengah hari, barulah kami tiba di Kandangan, ibu kota Kabupaten Hulu Sungai Selatan. Kondisi cuaca juga masih hujan. Kami memutuskan singgah di sebuah warung untuk makan terlebih dahulu sebelum melanjutkan perjalanan.
Jalan dari Kandangan ke Loksado sudah beraspal. Namun kondisinya menanjak, menurun serta berkelok-kelok. Memasuki wilayah Desa Hulu Banyu, Kecamatan Loksado, perjalanan kami terhenti karena terjadi longsor pasca-hujan. Material longsor menutupi ruas jalan provinsi yang menghubungkan Loksado-Kandangan.
Kami pun harus menunggu petugas dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Hulu Sungai Selatan bersama anggota Kepolisian Sektor Loksado dan warga membersihkan material longsor. Saat tertahan di situ, saya mengeluarkan kamera dan memotret upaya petugas membersihkan material longsor. Fotonya naik di koran Kompas keesokan harinya setelah dikirim dengan susah payah karena buruknya jaringan internet di Loksado waktu itu.
Petugas dari Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) berupaya membersihkan material longsor di Tanuhi, Desa Hulu Banyu, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, Minggu (26/3/2017).
Saat masih tertahan di Desa Hulu Banyu, telepon genggam saya bergetar karena panggilan masuk dari Pak Kapau. ”Sudah sampai mana, Pak?” tanyanya. Saya pun bilang, baru sampai di daerah longsor dan belum bisa lewat. ”Itu sudah tidak jauh lagi Pak. Tunggu ya, saya jemput ke sana,” katanya.
Tak lama setelah bertelepon, Kapau datang dengan mengendarai sepeda motor. Kami pun bertemu di lokasi longsor. Itu menjadi pertemuan pertama kami secara langsung setelah sebelumnya hanya berkomunikasi lewat telepon. Kami menunggu dulu sampai sebagian jalan terbuka dan bisa dilalui sepeda motor.
Kami melanjutkan perjalanan ketika hari sudah senja. Pak Kapau memandu perjalanan kami menuju penginapan. ”Istirahat dulu Pak. Besok baru jalan-jalan. Jangan khawatir, di sini aman saja,” katanya.
Parni (40), petani di Desa Loklahung, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan menjemur kayu manis, Sabtu (23/11/2019). Pohon kayu manis siap panen yang dimiliki Parni sudah mau habis saat harga kayu manis menjanjikan.
Jelajah Loksado
Keesokan harinya, setelah cuaca agak panas, kami mulai menjelajah wilayah Loksado tanpa didampingi Pak Kapau. Tujuan pertama adalah Desa Haratai, sekitar 10 km dari lokasi penginapan. Di desa tersebut terdapat Air Terjun Haratai yang indah. Saya nekat mengendarai sepeda motor ke sana meskipun jalurnya cukup ekstrem.
Sepulang dari lokasi Air Terjun Haratai, kami menuju Desa Loklahung untuk melihat pengolahan kayu manis dan sirup kayu manis. Di desa itu, kami juga berusaha menemui Damang Ayal. ”Beliau masih ke hutan (ladang). Sore baru pulang,” kata beberapa warga Loklahung yang sedang berkumpul di beranda rumah.
Sambil menunggu Damang Ayal pulang dari ladang, kami mengobrol dengan Ahmad Fauzi, warga Loklahung yang mengolah sirup kayu manis. Sekitar pukul 17.00 Wita, kami kembali ke rumah Damang Ayal, yang hanya berjarak beberapa meter dari Balai Adat Malaris, yang merupakan Balai Adat Agama Kaharingan. ”Bapak masih mandi. Tunggu ya,” kata Jumiyah, istri Damang Ayal.
Saat menunggu Damang Ayal, kami dipersilahkan duduk di teras rumah. Tak lama kemudian, Damang Ayal muncul. Beliau habis mandi di Sungai Wani-Wani, yang mengalir di depan rumahnya. Sungai itu berbatu-batu dan sangat jernih airnya.
Setelah mengganti pakaian, Damang Ayal menemui kami di teras rumahnya. Kami duduk melantai dan saling berhadapan. ”Saya Jumarto, Damang. Wartawan Kompas yang bertugas di Banjarmasin,” kata saya memperkenalkan diri sambil menyalami Damang Ayal.
Penulis (kiri) dan istri berfoto dengan Damang Ayal di Desa Loklahung, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimantan Selatan, pada akhir Maret 2017.
Damang Ayal yang saat itu berumur 75 tahun memegang erat tangan saya sambil memperhatikan saya dari atas ke bawah. Beliau juga terlihat seperti mengendus sesuatu. ”Kamu orang Dayak ya?” tanyanya. ”Benar, Damang,” jawabku. ”Dayak mana?” tanyanya lagi. ”Dayak Kalbar, Damang,” jawabku.
Saya pun membatin, boleh juga kejelian Damang Ayal dalam mengenal orang baru. Sebab, jarang sekali orang mengetahui jati diri saya kalau belum pernah bertemu sebelumnya. Kebanyakan orang mengira saya adalah orang Jawa ketika saya memperkenalkan nama dan menyebut diri sebagai wartawan Kompas.
Saya kemudian memperkenalkan istri saya kepada Damang Ayal seraya ia menyalami Damang Ayal dan memperkenalkan diri. Damang Ayal memperhatikan istri saya dengan saksama.
”Istri saya orang mana, Damang?” tanyaku sambil tersenyum. ”Kalau istrimu ini sih orang Cina,” katanya. Kami langsung tertawa. ”Bukan Cina, Damang. Orang Dayak Kalbar juga,” kataku.
Kami menginap dua malam di Loksado. Sepulang dari Loksado, ketika saya menceritakan pengalaman bertemu Damang Ayal kepada beberapa wartawan di Banjarmasin, seorang wartawati yang pernah bertemu dengan Damang Ayal menceletuk, ”Sidin kayak Cina jua (beliau juga seperti orang Cina),” katanya.
Damang Ayal tampil dalam rubrik "Sosok" di harian Kompas pada 10 Mei 2017.
Tanpa bermaksud menonjolkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA), pengalaman itu sangat berkesan. Saya merasa diterima dengan baik di daerah yang belum pernah didatangi sebelumnya. Saya juga mendapat banyak cerita perjuangan masyarakat Dayak Meratus atau Dayak Bukit dalam menjaga hutan dan kelestarian alam.
Damang Ayal waktu itu mengatakan, hutan sangat erat hubungannya dengan manusia. Tanpa hutan dan lahan, masyarakat adat (orang Dayak) tidak bisa hidup. Karena itu, Hutan Meratus harus dijaga dan dilestarikan sampai kapan pun demi keberlangsungan hidup anak cucu.
”Jangan main-main dengan Hutan Meratus karena di daerah Pegunungan Meratus masih ada orang, sejarah, dan petanya. Pemerintah seharusnya mendukung kami,” tegas Damang Ayal, yang juga pernah menjadi Kepala Desa Loklahung.
Selamat beristirahat dalam keabadian, Damang Ayal. Semoga semangatmu dalam menjaga hutan Meratus tetap diteruskan oleh anak cucu dengan semangat yang tidak pernah padam.