Perempuan yang Tidak Mendapat Segelas Kopi
Di tengah kebingungan, seorang kawan berbisik. “Kalau perempuan tidak diberi minuman kopi. Ini khusus laki-laki. Katanya tidak baik perempuan minum kopi.” Sebagai tamu perempuan satu-satunya, saya jadi sedih.
Mereguk nikmatnya kopi semestinya jadi bonus perjalanan kami di "surga" kopi Gayo. Namun, naasnya, hingga hari menjelang senja. Belum segelas kopi pun dapat kami cecap.
Tak heran, terasa ada yang kurang lengkap hari itu. Harapan pun kami sandarkan pada kunjungan ke rumah Aman Samsir (86).
Samsir merupakan petani penemu Ateng Jaluk, salah satu varietas kopi arabika yang populer dibudidayakan di dataran tinggi Gayo. Hasil buah kopinya besar-besar. Produktivitasnya pun terbilang tinggi.
Kami bermaksud menyambangi sang penemu varietas. Sejumlah peneliti kopi lokal memberi petunjuk keberadaannya. Saat itu, pada suatu sore di akhir tahun 2017, kami bergegas menuju rumahnya di Desa Jaluk, Takengon, Aceh Tengah.
Sekilas, tampak sosoknya yang sudah sangat sepuh. Namun, sewaktu diajak mengobrol soal penemuan varietas kopi, keduanya matanya langsung berpendar. Gairah hidupnya bagaikan lahir kembali.
Setelah menempuh satu jam perjalanan, tujuan pun kian dekat. Beberapa kali kendaraan menepi karena kami harus bertanya kepada warga. Akhirnya, berhasil juga kami sampai di kediaman Samsir.
Mengetahui ada tamu datang, anak laki-laki Samsir membukakan pintu. Beruntungnya kami, sang tuan rumah sedang ada di tempat.
Sekilas, tampak sosoknya yang sudah sangat sepuh. Namun, sewaktu diajak mengobrol soal penemuan varietas kopi, keduanya matanya langsung berpendar. Gairah hidupnya bagaikan lahir kembali.
Dengan semangat, ia menceritakan kisah penemuan varietas kopinya 40 tahun silam. Saat itu, ia tengah berada di tengah kebun. Samsir mendapati salah satu anakan tanaman kopi tumbuh pesat di bandingkan anakan lainnya. Itulah awal penemuan varietas Ateng Jaluk.
Selagi Aman bercerita, sang istri yang semula turut menemani, beranjak menuju dapur. Dari sana, terdengar suara kompor dinyalakan. Air pun mulai dijerang.
Istri Samsir pasti bermaksud menyeduh minuman kopi untuk para tamunya. Rasa ge-er kami terbukti. Tak sampai 10 menit kemudian hidangan yang ditunggu-tunggu akhirnya tiba. Aroma kopi menguar di udara. Hmm...betapa wanginya. Kami pun senang, akhirnya bisa minum kopi.
Namun, mengapa kopinya hanya tiga gelas? Padahal, kami datang berempat. Tiga lelaki dan satu perempuan. Memang ada satu gelas lagi, tetapi berisi air putih hangat.
Di tengah kebingungan soal sajian itu, seorang kawan berbisik. “Kalau perempuan tidak diberi minuman kopi. Ini khusus laki-laki. Katanya, tidak baik perempuan minum kopi.”
Sebagai tamu perempuan satu-satunya di situ, saya jadi sedih. Dengan hati mengiba, air putih pun diminum. Ternyata rasanya manis. “Untuk Mbak, saya tambahkan gula supaya terasa manis airnya,” ujar istri Samsir tersenyum.
Dari keluarga Samsir, kami kemudian mendapatkan banyak cerita tentang penemuan varietas kopi dan kisah kopi di masa lalu. Tak terasa, hampir dua jam mengobrol. Kami pun pamit undur diri kepada tuan rumah.
Baca juga: Susahnya Mau Ketemu Xi Jinping
Di perjalanan, ingatan akan sajian tadi muncul. Kalau dipikir-pikir, sajian itu terbilang tidak seperti biasanya. Sebab, biasanya kami disuguhi kopi di setiap kunjungan. Apalagi, dari cerita yang kami dapatkan, masyarakat Gayo umumnya gemar kopi. Tak terkecuali perempuan.
Mendengar cerita pengalaman kami di rumah Samsir, budayawan asal Gayo, Fikar W Eda berpendapat bahwa hal itu hanyalah sebuah kebetulan. Sebab, dalam sejarah masyarakat Gayo, kopi merupakan minuman tradisi.
Bahkan, sebelum budidaya teh masuk, orang Gayo sudah bertanam kopi dan gemar ngopi. “Baik laki-laki maupun perempuan, minum kopi itu hal biasa,” kata Fikar.
"Dulu yang diseduh adalah daun kopi. Kedatangan Kolonial Belanda telah mengubah kebiasaan itu. Ternyata seduhan dari bubuk biji kopi jauh lebih lezat,” ucapnya.
Malah, lanjutnya, banyak perempuan Gayo yang juga penggila kopi. “Di keluarga saya, semua yang perempuan suka kopi,” kata Fikar.
Namun, cara menikmati kopi di masa sekarang berbeda dengan masa lalu. "Dulu yang diseduh adalah daun kopi. Kedatangan Kolonial Belanda telah mengubah kebiasaan itu. Ternyata seduhan dari bubuk biji kopi jauh lebih lezat,” ucapnya.
Mendengar telaah Fikar mengenai sebuah kebetulan akan sajian, kami jadi ikut mereka-reka.
“Mungkin tuan rumah kehabisan kopi," ujar salah seorang kawan.
“Atau mungkin tuan rumah mengira tamu perempuan tidak minum kopi, Ini jadi penghormatan pada tamu,” tambahnya.
Baca juga: Desa Sikundo yang Viral Lalu Dilupakan
Kawan tadi pun bercerita, istrinya asli Gayo tetapi tidak suka ngopi. Begitu juga keluarga besarnya yang lebih suka minum teh. “Sedangkan saya gemar ngopi. Satu hari bisa habis empat cangkir,” lanjutnya.
Terlepas dari suguhan unik hari itu, kami mengagumi cara petani Gayo mengurus tanaman kopi. Mereka telaten mulai dari pembibitan, penanaman, perawatan, hingga pemanenan. Itulah yang membuat kopi gayo tersohor hingga penjuru dunia.
Di tempat asalnya, kopi gayo menjadi sumber kebanggaan masyarakat. Kedai-kedai kopi tumbuh pesat. Termasuk pula kedai kelilingnya yang begitu semarak.
Minuman kopi yang tersaji di kedai-kedai itu bercita rasa istimewa. Kebanyakan pengelola kedai terampil mengolah biji kopi. Seduhannya pun cukup beragam. Mulai dari kopi tubruk, kopi saring, kopi susu, kopi wine, kopi madu, hingga kopi berseduh dingin.
Baca juga: Ulah Wartawan kepada God Bless
Gudang-gudang kopi di sepanjang jalan Takengon merangkap tempat ajang cupping kopi. Ada pula yang mendedikasikan gudangnya jadi tempat belajar soal kopi. Mulai dari seleksi biji kopi hingga penyangraian.
Terlepas dari keunikan suguhan di rumah Aman Samsir hari itu, penjelajahan kopi di dataran tinggi Gayo membuka mata kami tentang betapa kayanya negeri ini.
Kopi yang tumbuh di negeri ini, lengkap dengan sejarah panjang yang mengiringinya, menjadi kekayaan tersendiri. Industri, tren, kreativitas, hingga kisah berbagai gerakan sosial yang tumbuh terkait kopi, menjadi bagian dari perjalanan kopi Nusantara.
Seruput...