God Bless tak selalu bermandikan cahaya di panggung nan glamor. Setidaknya di pengujung 1990 hingga 2000, mereka berkumpul saja di kafe. “Habis itu wartawan punya ulah. Kalau begini, ngapain jreng-jreng-jreng doang."
Oleh
DWI BAYU RADIUS
·5 menit baca
Telepon di pengujung Agustus 2021 itu sungguh membungahkan hati. Di ujung sambungan, Abadi Soesman berbicara. “Namanya pandemi. Menyakitkan banget. Untung, Kompas ajak kita tampil jadi ngasih semangat. Iya, dong. Bergembira bersama Kompas,” ujarnya sembari terkekeh.
Kibordis God Bless itu dengan semringah bercerita soal konser penghormatan bagi band-nya, "48 Tahun God Bless: Mulai Hari Ini", di tengah paceklik aksi mereka gara-gara pagebluk. God Bless diulas habis-habisan di harian Kompas lewat seri tulisan bertajuk “Liputan Rock Indonesia”.
“Berinteraksi dengan penonton? Jelas kangen lewat manggung. Makanya, tanggal 31 Agustus (2021), ada malaikat penolong,” katanya mengacu tanggal konser tersebut.
Lama tak manggung, jemari Abadi seakan kaku dan pegal-pegal. Malah, rasanya ia sudah lupa main piano. “Semoga bisa melemaskan jari-jari. Waktu dapat informasi God Bless mau tampil, semangat saya sudah luar biasa,” ujarnya.
Lama tak manggung, jemari Abadi seakan kaku dan pegal-pegal. Malah, rasanya ia sudah lupa main piano.
Pikiran saya spontan menerawang ke masa kecil ketika nama Abadi Soesman kerap menghiasi layar kaca mengiringi penyanyi cilik, wajah baru, hingga biduanita ternama.
Ia memang nyaris tak pernah tertangkap sorotan gemerlapnya lampu studio dan kamera. Namun, saat nama itu tercantum dalam tayangan urutan tim produksi pada akhir acara dengan digital yang masih amat sederhana, tak urung pula Abadi Soesman membekas dalam benak saya.
Cakap-cakap dengan sosok yang ramah sungguh membangkitkan hasrat berjumpa dengannya. Memang, lebih afdhal jika wawancara Abadi bisa bertatap muka langsung dengan deskripsi yang bakal lebih ciamik. Apa daya, Covid-19 tengah menggila. "Konser 48 Tahun God Bless: Mulai Hari Ini" pun digelar secara daring.
“Kalau bikin lagu, kita sering ber-partner dengan wartawan. Minta saran. Kadang, wartawan kasih informasi,” ucapnya.
Di sela perbincangan hangat itu pula, tuturan Abadi kembali menerbitkan kebanggaan tak sekadar personal, namun juga saya yakini kolektif, buat segenap kerabat kerja Kompas.
“Wartawan Kompas mitra yang andal. Itu, Theodore KS pintar bikin syair buat God Bless,” ucapnya merujuk jurnalis harian Kompas pada tahun 1980-2010 yang kerap disapa Theo.
God Bless terbentuk pada tahun 1973. Rentang waktu hampir separuh abad tak lepas dari bongkar pasang personel.
God Bless kini digawangi Abadi, vokalis Achmad Albar alias Iyek, basis Donny Fattah, gitaris Ian Antono, dan drumer Fajar Satritama. Sepanjang kiprahnya, band tersebut jelas menelaah media massa sebagai barometernya demi mengamati fenomena-fenomena sosial.
Sebagai surat kabar terkemuka, harian Kompas tentu tak luput dari pantauan God Bless dengan lagu-lagu sarat potret sosial.
“Pasti ada masukan-masukan mengenai fenomena politik dan budaya juga dari Kompas yang jadi inspirasi membuat lagu,” katanya.
Ternyata, God Bless tak selalu bermandikan cahaya di panggung-panggung nan glamor. Nyaris tak terdengar, setidaknya mulai pengujung dekade 1990 hingga awal 2000, mereka berkumpul saja di kafe-kafe. Itu pun kalau disempatkan berpentas. Selama itu, acap kali rencana membuat album terlontar, namun tak juga tercapai.
“Habis itu wartawan punya ulah. Kalau begini, ngapain jreng-jreng-jreng doang. Peran mereka terhadap God Bless tak kecil,” ucap Abadi.
Berdasarkan penelusuran klipingnya, harian Kompas termasuk media yang melancarkan stimulan dengan mempertanyakan God Bless untuk menggarap album teranyar.
Didorong skeptisisme jurnalis, tambang emas belantika musik Indonesia itu semangat untuk bangkit lagi. Dalam kesempatan berbeda, tuturan Abadi bagai gayung bersambut dengan Theo yang juga menulis buku “Roda Kehidupan God Bless” (2020).
“Tahun 1974, bersama orangtua, saya tinggal di Menteng Dalam (Jakarta),” ujar Theo menerawang awal kekaribannya dengan God Bless.
Donny yang baru menikah dengan Rinny Noor, tinggal tak jauh, di Tebet Barat, Jakarta. Mereka dikaruniai buah hati bernama Cindy.
Theo yang saat itu bekerja di majalah musik Top, sering jalan santai saja ke rumah mereka. Lantaran akrabnya, ia diminta Donny membuat lirik untuk album D&R.
God Bless memang sedang kurang aktif. Pentas di Tanah Air kala itu riuh diisi penyanyi mancanegara yang dinilai murah dan lebih berkualitas.
Jadilah “Mimpi” yang meledak. Lagu “Mimpi” dan “Cindy” kemudian juga populer di pentas jaz Ireng Maulana, Theo mulai nongkrong dan begadang di Musica Studio’s dan Gelora Seni.
“Sampai waktunya ketika Donny memperkenalkan saya kepada Ian, tahun 1979,” ujarnya.
Semasa malang melintang sebagai jurnalis harian Kompas, Theo menggubah lirik “Rumah Kita” (1988). Pembaca umumnya tentu ingat lagu tentang kediaman yang sangat bersahaja, namun begitu nyaman dengan ungkapan syukur yang dipanjatkan penghuninya itu.
Theo pun menautkan “Rumah Kita” dengan Johanes Soeryoko, pemilik perusahaan Aquarius Musikindo yang didirikan tahun 1969. Lagu itu sempat mengiringi iklan bank pelat merah. Soerjoko memang menangani lagu-lagu populer yang potensial untuk mendongkrak iklan.
Soerjoko, berdasarkan buku “Roda Kehidupan God Bless”, termasuk FansTastik, penggemar fanatik yang tak hanya memuji, tetapi juga melemparkan kritiknya.
“Pada tahun 2020, ‘Rumah Kita’ menduduki nilai cukup tinggi. Meski, yang bernilai lebih tinggi, masih ada lagi,” kata Theo.
Ia pernah bertanya mengenai nominal tertinggi kontrak lagu itu untuk iklan yang dipublikasikan di Youtube. Theo lalu mengutip jawaban Soerjoko yang enggan menyebutkan angkanya dengan alasan tak etis. Namun, hasil itu diperoleh pada tahun 1976 setelah merekam album pertama God Bless.
Sebagaimana “Rumah Kita”, lagu God Bless di panggung, rekaman, dan iklan, Theo menulis lirik kemudian bekerja sama dengan Ian yang menyusun melodi.
“Saya adalah penulis lirik. Sebagai penulis lagu, saya harus bergabung dengan pemusik yang menyediakan melodinya,” ucap Theo.
Lirik bisa saja diberikan terlebih dulu kepada Ian sebelum ada melodinya. Model tersebut diaplikasikan dalam “Selamat Pagi Indonesia” dan “Balada Sejuta Wajah” saat God Bless menggarap album Cermin, tahun 1979. Theo lantas terkenang saat menyerahkan kreasinya itu di Gelora Seni.
“Saya ikut begadang sampai pukul 02.00 dan ngobrol dengan Donny. Iyek belum datang. Ian memetik gitar di pojok studio,” ucapnya.
Donny memberi tahu Ian kalau Theo bisa menulis lirik. Inspirasi bisa datang dari kehidupan pribadi, artis, produser, penerbit kaset, dan pahit manis pengalaman sebagai wartawan.
“Setelah 30 tahun jadi kontributor Kompas, saya tak lagi bikin lirik untuk God Bless. Saya asyik menghitung royalti saja,” ujarnya sambil tersenyum.
Ia turut menyokong Yockie Suryoprayogo dengan lirik “Dia” dan Keenan Nasution dalam “Embun”. Saat God Bless vakum, Theo menulis lirik “Tanpa Kata” untuk Gong 2000.
“Setelah 30 tahun jadi kontributor Kompas, saya tak lagi bikin lirik untuk God Bless. Saya asyik menghitung royalti saja,” ujarnya sambil tersenyum.