Dicegat ”Penjaga Lubang” di Maybrat
Ketika melintasi jalan lurus berlubang yang memaksa laju kendaraan melambat, tampak empat lelaki berdiri sambil memegang kayu. Salah satunya bergerak ke tengah jalan. Sontak Bahar merogoh kantong mengambil lembaran uang.
Kebagian liputan ke Kabupaten Maybrat di Papua Barat membuat pikiran terbang ke mana-mana. Selama perjalanan di sana penuh dengan perasaan deg-degan. Namun, akhirnya hanya ada kekaguman pada kearifan lokal warganya.
”Dan, dirimu pernah liputan ke Papua enggak, sih?” Demikian isi pesan Whatsapp dari salah satu editor Desk Regional kepada saya pada Minggu (3/7/2022) malam.
”Pernah, 2019 awal. Sudah lama banget, ke Boven Digoel,” balas saya.
”Yang untuk HUT RI 17 Agustus itu, tertarik ke Papua Barat enggak?” sekali lagi tanya editor.
”Boleh, kalau belum ada orang yang mau ke sana,” jawab saya.
”Wokeh, bungkus,” balas editor.
Kabupaten Maybrat adalah satu dari 13 kabupaten di Papua Barat yang berada di wilayah Kepala Burung. Kabupaten ini terbentuk pada 2009, hasil pemekaran dari Kabupaten Sorong.
Sejak itu, saya mulai menelusuri berbagai informasi tentang Maybrat dari pemberitaan di harian Kompas, Kompas.id, dan Google. Hasilnya bikin pikiran liar ke mana-mana karena pemberitaan yang muncul seputar aksi penyerangan oleh kelompok kriminal bersenjata yang menyebabkan tewasnya aparat.
Ratusan warga dari 18 kampung di sana mengungsi demi keamanan dan keselamatan, selain berita tentang terhambatnya pembangunan infrastruktur pada September 2021 hingga Januari 2022 akibat penyerangan.
Namun, berbagai pikiran pesimistis itu harus segera saya tepis demi liputan yang entah kapan akan datang lagi kesempatannya. Keyakinan pun bertambah berkat pesan penyelia liputan bahwa Papua dan Papua Barat itu berkesan dan selalu menjadi perhatian dalam negeri dan luar negeri.
Baca Juga: ”Ndeprok” di Edinburgh demi Ratu Elizabeth II
Numpang tangki BBM
Di Maybrat, saya bakal meliput tentang umbi-umbian yang menjadi sumber penghidupan warga setempat. Tepatnya, memotret kemerdekaan lewat sepotong umbi. Selain itu, saya juga berencana mengecek tentang pelaksanaan BBM Satu Harga di lapangan.
Setelah semua persiapan beres, saya pun terbang dari Jakarta ke Kota Sorong pada Minggu (10/7) dini hari. Di sana saya menginap dua hari yang saya manfaatkan untuk menggali informasi dari wartawati Kompas TV Biro Sorong, pengelola SPBU Kompak Distrik Aitinyo Barat, dan seorang warga lokal, yang akan menemani liputan di Maybrat.
Baca Juga: Arti Kemerdekaan dari Sepotong Ubi
SPBU Kompak adalah bagian dari program BBM Satu Harga yang penyimpanannya di dalam drum dan distribusinya menggunakan pompa tangan. Senin (11/7) malam, pengelola SPBU memberi kabar bahwa keesokan harinya akan ada pengantaran BBM. Saya tak boleh melewatkan kesempatan ini karena pengantaran BBM tidak menentu harinya dan hanya dua atau tiga kali dalam sepekan.
Padahal, saya hanya punya waktu satu pekan untuk meliput ke Maybrat. Ini pun termasuk jadwal keberangkatan dan kepulangan sehingga setiap kesempatan sangat berharga dan tak boleh dilewatkan.
Namun, ada informasi tambahan. Truk akan berangkat tanpa pengawalan. Kalau saya jadi ikut, hanya akan ada saya, sopir, dan kernet. Sebenarnya hal seperti itu lumrah saja.
Namun, tak urung nyali saya ciut juga mendengarnya meskipun pengelola SPBU menjamin bahwa situasi saat itu aman dan terkendali. Mata, yang semula mengantuk, jadi waspada. Di benak mulai terbayang kejadian yang tidak-tidak dalam perjalanan membelah jalan Trans Papua Barat nanti.
Baca Juga: Ada Apa di Balik Dua Versi ”Kompas”?
Selasa (12/7) pagi, truk tangki yang kami tumpangi mengambil pasokan dari Terminal BBM Sorong milik PT Pertamina (Persero). Antrean berlangsung sejak pukul 08.00 hingga pukul 11.00.
Di sini saya bertemu dengan Bahar (34), sopir tangki asal Pangkep, Sulawesi Selatan, juga Yamin (25), kernet asal Bima, Nusa Tenggara Barat. Kami bertiga akan barengan melintasi jarak sejauh 174 kilometer dari Kota Sorong ke Maybrat.
Setelah mengisi perut di salah satu warung langganan sopir dan kernet, truk melaju dengan kecepatan 60-80 km/jam, melintasi Jalan Trans Papua Barat yang terbuat dari jalan aspal dan cor beton. Sebagian kecil jalan tampak berlubang dan ditambal pasir atau tanah dari pecahan batu kapur. Rintik yang berangsur menjadi hujan deras menemani perjalanan. Beberapa ruas jalan sampai tergenang air.
Dari dataran rendah Sorong ke pegunungan di Maybrat, terhampar pepohonan, seperti ataf (kayu besi), sah (kayu matoa), hyot (damar), dan armont (jambu). Tampak pula panorama berupa perkebunan sawit, ladang minyak, aliran sungai selebar 5-10 meter, tempat pembuatan batu bata, hingga tempat penyimpanan kayu.
Selain hilir mudik kendaraan yang frekuensinya kian lama kian jarang, pemandangan juga diwarnai dengan lalu lalang warga di tepi jalan dengan sepatu botnya.
Jarak antarkampung sekitar 10 km hingga 20 km. Dinding rumah warga terbuat dari papan dan tembok. Jamak terlihat, drum dan balok kayu yang diletakkan warga di sebagian badan jalan agar pengendara melambatkan laju kendaraannya.
Baca Juga: Menyaksikan Nasib Ibu Hamil di Pulau Terluar
Penjaga lubang
Sepanjang perjalanan, saya, Bahar, dan Yamin mengobrol tentang asal-usul, keluarga, dan pekerjaan keduanya. Obrolan ini untuk memecah ketegangan yang sulit disembunyikan dari air muka kami bertiga.
Hamparan hutan sejauh mata memandang dan minimnya kendaraan yang melintas membuat saya khawatir, sedangkan Bahar dan Yamin lebih khawatir kemalaman di jalan dan bertemu ”penjaga lubang”.
”Penjaga lubang maksudnya apa?” tanya saya.
”Orang palang jalan. Mereka biasa minta uang. Kadang mabuk,” jawab Bahar.
Saya terkejut, khawatir kami dipalang. Amit-amit. Namun, apa yang kami khawatirkan menjadi nyata.
Ketika melintasi jalan lurus berlubang yang memaksa laju kendaraan melambat, tampak empat lelaki dewasa berdiri sambil memegang kayu. Salah satunya melambaikan kayu sambil berjalan ke tengah jalan.
Dia menghampiri Bahar sambil tersenyum simpul. Sontak Bahar merogoh kantong mengambil lembaran rupiah. Si lelaki kembali tersenyum dan menepi setelah menerima uang itu. Bahar buru-buru tancap gas.
Begitu posisi kami cukup jauh, Bahar minta izin untuk merokok. Dia mengambil sebatang rokok, membakarnya, lalu mengisapnya dalam-dalam.
Saya tak melarangnya meskipun ada tulisan dilarang merokok. Itu cara Bahar melepas ketegangan. ”Satu batang. Mulut asam,” kata Bahar sambil berusaha tersenyum.
Tak lama berselang, kami kembali dipalang. Kali ini oleh sekelompok pemuda yang berjaga di jembatan. Mereka memalang kayu di jalan rusak menuju jembatan.
Truk tangki berhenti, Bahar kembali menyodorkan selembar uang kepada pemuda-pemuda tanggung itu. Mereka menerima uang sambil tertawa-tawa.
”Mabuk. Lebih baik kasih uang saja. Aman perjalanan kita,” ujar Bahar.
Kian dekat dengan Maybrat, kian banyak tanjakan yang membelah tebing. Bahar sangat berhati-hati menekan pedal gas dan rem agar truk tak tergelincir.
Setelah melewati banyak tanjakan yang membelah perbukitan, truk pun tiba di SPBU Kompak Distrik Aitinyo Barat. Tak perlu menunggu lama, truk langsung ”balik kanan” seusai mengisi penuh drum-drum dengan premium.
Distribusi bahan bakar kepada warga baru berlangsung keesokan harinya dan langsung ludes. Warga datang membawa kendaraan dan jeriken. Pengelola mengatur mereka dalam barisan antrean agar semua kebagian.
Sebagian warga menjual kembali premium tersebut setelah dikemas ulang dalam botol minuman kemasan 1,5 liter dan jeriken. Mereka menjualnya di kampung-kampung.
Kain Timor
Tiga hari penuh saya meliput di Maybrat dengan ditemani seorang warga lokal. Dia menjembatani komunikasi dengan warga lokal agar mereka berkenan diajak mengobrol, dipotret, dan divideokan aktivitasnya.
Selain meliput mama-mama penjual umbi dan petani umbi di kebun, saya juga mewawancarai pemecah batu atau toki batu. Salah satunya, Agustina Mosnay (59). Ibu dua anak ini toki batu di proyek jalan menuju Distrik Ayamaru.
Siang itu matahari sedang terik-teriknya. Agustina bekerja dengan mengenakan sarung tangan merah biru. Tanpa ragu, diambilnya batu besar lalu dipukulnya dengan palu.
Pecahan-pecahan batu dimasukan ke dalam karung bekas semen. Satu karung penuh dihargai Rp 25.000. Dalam sehari dia sanggup memecahkan 10-30 karung batu.
”Mama pu anak yang honorer di Manokwari su nikah, kah?” tanya saya.
”Harus ada bo (kain timor). Itu kain untuk pinang anak nona (perempuan),” jawab Agustina.
”Kenapa namanya kain timor? Dari timor, kah?” tanya saya lagi.
Rupanya, pada masa lampau, ada jalinan budaya antara warga dari Timor dan Maybrat lewat penyebaran agama. Pertautan dua budaya itu masuk dalam basis atau cara hidup turun-temurun warga Maybrat yang kemudian diwariskan melalui sekolah tradisional wuon/tochmi/wofle untuk laki-laki dan finya-mqiar untuk perempuan.
Sekolah tradisional berlangsung 8-18 bulan. Selama itu, anak-anak diajarkan tentang ideologi kejantanan (laki-laki) dan kesuburan (wanita). Cara mencapainya merupakan watum (wasiat), yakni tentang tata adat melalui bo (kain timor) dan ko (vagina-wanita-perkawinan-ekonomi), serta tafoch jalan kehidupan melalui kosmologi atau sistem religi.
Kira-kira begitu penjelasan yang saya peroleh, baik dari warga Maybrat maupun dari peneliti pusat studi melanesia dan buku tentang Maybrat.
Pada hari terakhir liputan, saya bertemu dengan Melkianus Duwit (77), Kepala Kampung Segior sekaligus tokoh masyarakat yang suaranya cukup didengar.
Pria dengan tangan berotot dan berurat itu menyambut saya dengan hangat di kediamannya. Dia menggenggam kedua tangan saya dalam obrolan sepanjang satu jam.
”Jadi, kondisi Maybrat bagus. Baik-baik saja. Orang bilang Maybrat tidak baik, padahal bagus,” kata Bapa Meky, begitu dia kerap disapa.
Baca Juga: Bapa Meky, Semangat Membangun Maybrat
Pada kesempatan itu, Bapa Meky sempat mengeluhkan peredaran minuman keras (miras) yang membuat pemuda gemar mabuk hingga lupa diri. Keluhannya itu mengingatkan saya pada hari kedua liputan. Pagi itu saya dibangunkan oleh suara lelaki mabuk.
Dia berteriak dengan lantang, tetapi ucapannya tak jelas. Kurang lebih 30 menit dia berjalan ke sana ke mari sambil berteriak sampai kehabisan tenaga.
Bapa Meky menitipkan pesan kepada pemerintah untuk membatasi peredaran miras. Dia miris melihat generasi muda Maybrat yang menjauhi pekerjaan Tuhan atau pekerjaan membangun kampung.
Obrolan kami berakhir karena Bapa Meky harus mengikuti peribadatan di salah satu rumah warga. ”Kalian sekarang yang muda-muda harus lebih semangat!” pesannya sambil tersenyum.
Beberapa hari di Maybrat telah meninggalkan kenangan berkesan. Pikiran buruk yang sempat membelenggu terhapus oleh keramahan warganya.