Menyaksikan Nasib Ibu Hamil di Pulau Terluar
Banyak ibu hamil yang harus berlayar berhari-hari demi mendapatkan pertolongan di rumah sakit. Ada yang selamat, ada pula yang mengalami nasib tragis. Janinnya meninggal dalam kandungan sudah lebih dari seminggu.

Penumpang menikmati suasana menjelang terbitnya matahari di atas KM Sabuk Nusantara 67, Sabtu (6/8/2022). Pelayaran perintis membuka keterisolasian warga di daerah terpencil.
Awal Agustus 2022. Bersamaan dengan fajar pagi yang menyembul dari balik cakrawala, kapal perintis KM Sabuk Nusantara 67 melintasi perairan antara Pulau Atauro, Timor Leste, dan Pulau Lirang, Indonesia.
Atas izin sang kapten kapal, saya naik ke dek paling atas. Di sana menghirup udara pagi dan menyeruput segelas kopi. Pemandangannya luar biasa, matahari terbit di antara dua negara.
Saat itu, hari kedua saya berlayar dengan kapal perintis itu yang melayani warga di daerah terisolasi dan terluar antara Kupang, NTT, dan Saumlaki, Maluku.
Setelah lebih dari 40 jam meninggalkan Pelabuhan Tenau di Kota Kupang, kapal pun mengarah ke pulau-pulau terluar di Kabupaten Maluku Barat Daya yang berbatasan langsung dengan negara Timor Leste. Sepanjang Kupang-Saumlaki, kapal singgah di 15 pelabuhan.
Saya mengikuti pelayaran ini untuk memotret pelayanan kapal perintis bagi warga di beranda negeri. Perjalanan ini merupakan bagian dari liputan khusus harian Kompas edisi HUT Kemerdekaan Ke-77 RI. Kompas sengaja mengangkat tema dari penjuru negeri. Salah satunya daerah terpencil yang kian terkoneksi pelayaran perintis. Dari total 11 hari liputan, lima hari saya habiskan di atas kapal.
Pulau pertama yang disinggahi KM Sabuk Nusantara 67 adalah Lirang. Lokasi pelabuhannya terbilang ekstrem bagi para nakhoda yang melayari jalur tersebut. Semacam kategori bandara terekstrem di dunia penerbangan.

Warga Timor Leste yang bermukim di Pulau Lirang menjalani pemeriksaan kesehatan sebelum upacara bendera dalam rangka HUT Ke-77 RI di Pulau Lirang, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, Rabu (17/8/2022).
Sebab, sebelum merapat ke pelabuhan itu, kapal harus melewati celah sempit yang dangkal. Banyak kapal sering kandas.
Penasaran, saya masuk ke ruang kemudi untuk melihat Petrus Parapaga, sang kapten kapal, yang memimpin langsung proses tambat labuh. Kapal dengan bobot mati 2.097 gros ton dengan panjang 70 meter dan lebar 14 meter itu akan melewati celah yang lebarnya hanya 40 meter. Di sisi celah itu terdapat bukit karang.
Celakanya, saat haluan hendak masuk ke celah berkedalaman hanya 7 meter itu tiba-tiba angin berembus kencang dengan kecepatan 18 knot (sekitar 33 kilometer per jam).
Keselamatan pelayaran seperti di ujung tanduk.
Lewat radio, Petrus memerintahkan kepala kamar mesin untuk mengurangi kecepatan. Juru mudi juga diperintahkan memutar haluan beberapa derajat lebih ekstrem.
Keselamatan pelayaran seperti di ujung tanduk. Tak ada suara lain selain instruksi Petrus. Konsentrasi penuh. Salah sedikit bisa-bisa kapal menabrak karang.
Momen menegangkan itu akhirnya bisa dilalui hingga kapal sandar dengan selamat di Lirang. Saya menyaksikan betapa tidak mudahnya menyandarkan kapal.
Baca juga: Nyaris Terjepit Truk Saat Menuju IKN Nusantara

Kapal perintis sebagai pendukung program tol laut menyinggahi pelabuhan di Pulau Lirang, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, Minggu (7/8/2022). Pelayaran perintis membuka keterisolasian warga di daerah itu.
Di Lirang, saya menjumpai wajah ceria warga setempat yang berbondong-bondong ke pelabuhan. Ada yang sekadar melihat kapal dan ada pula yang menjemput keluarga yang datang dari jauh.
Tampak seorang anak melompat kegirangan saat melihat ayahnya turun dari tangga kapal sambil memikul sepeda yang dibeli dari Kota Kupang.
Juga pedagang asongan yang menjajakan makanan. Dagangan mereka, ikan goreng berukuran jumbo, sebesar telapak tangan orang dewasa, diserbu penumpang kapal. Sudah jumbo, murah pula. Ikan goreng itu berasal dari ikan karang, seperti kerapu dan kakap, hasil tangkapan nelayan. Harganya hanya Rp 25.000 per porsi.
Setelah bongkar muat selesai, kapal melanjutkan pelayaran ke timur menuju pelabuhan Ilwaki di Pulau Wetar. Dibandingkan sehari sebelumnya, perjalanan kali ini terasa lebih lama.
Laju kapal hanya 6 knot (11,1 kilometer per jam) lantaran harus menghadang angin dan gelombang dari arah berlawanan.
Terhitung mulai bulan Mei hingga akhir Agustus atau awal September, wilayah Maluku diterjang gelombang tinggi akibat angin kencang yang berembus dari arah tenggara. Warga lokal menyebutnya musim timur. Cuaca buruk baru akan mulai reda pada pertengahan September hingga Desember.
Baca juga: Ketika "Aquaman" Mengidolakan Haji Rhoma

Warga yang membawa telur baru turun dari kapal di Pelabuhan Ilwaki, Pulau Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku, Minggu (7/8/2022). Harga satu butir telur Rp 5.000.
Sejak dulu, warga Maluku mempunyai penanda waktu teduhnya air laut, yakni saat nama bulan berakhiran ”ber”, seperti September, Oktober, November, dan Desember. Namun, perubahan iklim sebagai dampak dari pemanasan global membuat kondisi cuaca kerap kali tak menentu.
Dari Pulau Lirang, setelah menempuh perjalanan delapan jam, haluan kapal pun mulai merapat ke Pelabuhan Ilwaki. Dari kejauhan hanya tampak beberapa rumah penduduk di antara pepohonan. Yang paling menonjol adalah satu menara pemancar jaringan telekomunikasi.
Pemancar itu seperti oase setelah melewati puluhan jam tanpa jaringan internet. Apalagi sinyal 4G langsung muncul di layar telepon genggam (HP).
Herannya, tidak ada pesan Whatsapp yang masuk, mengirim pesan pun tidak bisa. Mematikan lalu menghidupkan kembali HP pun hasilnya nihil. ”Ini sinyal 4G tipu-tipu kita,” celetuk seorang penumpang.
Di Pelabuhan Ilwaki ini saya harus turun. Selain bahan untuk tulisan sudah cukup, dengan turun di Pulau Wetar, saya juga akan lebih mudah mendapat tumpangan pulang ke Kupang.
Itu pun saya harus menunggu paling cepat empat hari untuk datangnya kapal perintis KM Sabuk Nusantara 87. Kapal ini tidak singgah di Saumlaki, tetapi memulai rutenya dari Ambon dengan tujuan akhir Kupang.
Baca juga: Misteri Lubang Air yang Menganga di Pulau Sebatik

Jurnalis Kompas, Frans Pati Herin, saat mengikuti patroli pengamanan di perbatasan Indonesia dan Timor Leste. Patroli lepas pantai di Pulau Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, Selasa (9/8/2022).
Selama di Ilwaki, saya menyelami kehidupan masyarakat perbatasan yang masih jauh dari sentuhan pembangunan. Selama berhari-hari tidak ada kapal yang datang dan pergi.
Tidak ada angkutan perdesaan. Tak ada pasar. Tak ada bank atau ATM. Harga barang melangit. Listrik hanya menyala 12 jam. Itu pun sering kali padam. Seolah tak cukup, air bersih juga sulit diperoleh, sinyal internet pun tidak stabil.
Karena itu, saya menaruh hormat kepada mereka yang mengabdikan diri di sana, seperti petugas medis, aparatur sipil negara, TNI, dan Polri. Saya sempat diajak mengikuti patroli pengamanan perbatasan oleh TNI AD dan AL. Mirisnya, patroli dilakukan dengan perahu motor milik nelayan lantaran ketiadaan kapal atau speedboat.
Saya juga menyaksikan banyak ibu hamil yang harus berlayar berhari-hari demi mendapatkan pertolongan di rumah sakit. Ada yang selamat, ada pula yang mengalami nasib tragis. Janinnya diketahui meninggal dalam kandungan sebelum sempat mendapat pertolongan. Seperti dialami Martha Manuputty (25) asal Pulau Lirang, Kabupaten Maluku Barat Daya.
Hari Sabtu (6/8/2022), Martha datang ke Puskesmas Ustutun di Lirang. Sudah dua hari tak terasa gerakan dalam kandungannya yang berusia 32 minggu.
Bidan menduga janin sudah meninggal karena detak jantungnya tidak lagi terdeteksi. Puskesmas merujuk Martha ke Rumah Sakit Umum Daerah Moa, di ibu kota Kabupaten Maluku Barat Daya.

Martha Manuputty (25) sedang dirawat di KM Sabuk Nusantara 87 yang berlayar dari Pulau Lirang, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, menuju Kota Kupang, Nusa Tenggara Timur, Kamis (11/8/2022). Janin di dalam kandungan Martha diduga sudah meninggal. Lirang, tempat asal Martha, adalah salah satu pulau terluar.
Namun, hari itu tak ada kapal berlayar ke Moa. Martha dibawa pulang ke rumah sambil menunggu KM Sabuk Nusantara 67 yang akan tiba dari Kupang, Nusa Tenggara Timur, keesokan harinya.
Kapal sandar pada Minggu pagi, Martha dievakuasi ke atas kapal. Ia tiba di Moa dua hari kemudian atau Selasa (9/8/2022) dini hari. Sayang, setibanya di RSUD Moa, tidak ada dokter yang bisa menangani. Peralatan medis juga terbatas. Martha lalu dirujuk lagi ke Kupang atau ke Ambon, ibu kota Provinsi Maluku.
Datang kabar, kapal KM Sabuk Nusantara 87 yang berlayar dari Ambon menuju Kupang akan singgah di Moa. Keluarga dan bidan pendamping mengevakuasi Martha ke kapal itu. Kondisi Martha mulai lelah. Ia diinapkan di dalam ruang perawatan di kapal. Di kapal inilah saya bertemu dengan Martha.
Kapal lalu singgah di Pelabuhan Ilwaki pada Rabu (10/8/2022) malam. Di Ilwaki, Martha sempat mendapat perawatan. ”Sudah hampir satu minggu masih cari rumah sakit,” kata Gita, bidan yang mendampingi Martha.

Nisa (27), ibu hamil, menumpang KM Sabuk Nusantara 87 dari Pulau Wetar, Kabupaten Maluku Barat Daya, Provinsi Maluku, menuju Kota Kupang, Provinsi Nusa Tenggara Timur, Kamis (11/8/2022). Nisa, pengguna Kartu Indonesia Sehat itu, dirujuk lantaran fasilitas kesehatan di Wetar tidak memadai. Wetar merupakan salah satu pulau terluar yang berbatasan dengan Timor Leste.
Dari Ilwaki, kapal singgah di Pulau Lirang. Martha sempat dijenguk keluarga sebelum kapal melanjutkan pelayaran dan tiba di Pelabuhan Tenau, Kupang, Jumat (12/8). Martha lalu dibawa ke salah satu rumah sakit swasta. ”Dokter anjurkan untuk kuret,” kata Adel.
Adel memperkirakan lebih dari sepuluh hari janin meninggal dalam kandungan Martha. Untungnya, fisik Martha yang kuat membuatnya terhindar dari risiko fatal.
Cerita itu saya angkat menjadi beberapa tulisan di harian Kompas dan kanal Kompas.id.
Baca juga: Belasan Hari Ibu Hamil Mencari Rumah Sakit, Janin Tak Tertolong
Berhari-hari Mencari Rumah Sakit dengan Jasad Janin di Kandungan
Warga Pulau Terluar Mencari Layanan Kesehatan
Rupanya, pada saat Indonesia merayakan HUT ke-77, masih banyak daerah di negeri ini yang belum merasakan kemerdekaan yang sesungguhnya.
Mereka masih terbelenggu oleh ketimpangan pembangunan. Bisa dibilang tidak tahu kapan akan ”merdeka” dari keterbelakangan. Terbelakang tetapi di depan rumah bendera Merah Putih gagah berkibar.

Bendera Merah Putih berkibar di depan rumah warga di Pulau Lirang, Kabupaten Maluku Barat Daya, Maluku, Minggu (7/8/2022). Pulau itu berbatasan langsung dengan negara Timor Leste.