Terjebak Tanjakan Penyesalan Hingga Dihantui Hukum Murphy
Baru beberapa meter menanjak, ban mobil kami tiba-tiba terbenam di kerikil. Akibatnya, mobil tak mampu menanjak bahkan mulai mundur. Di belakang, truk memencet klakson panjang. Jantung pun berdegup keras.
Hari Rabu (20/7/2022) menjelang sore, kami sedang menuju Desa Lalomerui, Routa, Konawe, Sulawesi Tenggara. Di sana, kami berencana meliput kondisi warga yang selama puluhan tahun terisolir dan baru-baru ini saja mulai mencicipi hasil pembangunan.
Untuk mencapai desa ini, kami harus melalui jalan tambang milik PT Sulawesi Cahaya Mineral, perusahaan dengan Izin Usaha Pertambangan seluas 21.000 hektar di wilayah tersebut.
Debu tebal beterbangan di jalan tambang akibat hilir mudik kendaraan berat. Kami harus melewati beberapa tanjakan dan jalan tanah yang kering sebelum akhirnya jalanan berubah menjadi basah dan menurun tajam.
Di bawah, telah menunggu puluhan kendaraan berat, mulai dari truk hingga kontainer. Kendaraan-kendaraan ini antre di tepi jalan untuk menyeberangi jembatan kayu yang sekali lewat hanya bisa dilalui satu kendaraan. Sungai Lalindu selebar 30 meter mengalir deras di bawahnya.
Jalan ini adalah jalur masuk ke wilayah Desa Lalomerui. Dari arah depan, tampak kendaraan turun perlahan melalui jalan yang penuh lumpur. Dua kendaraan berat meratakan kerikil yang baru ditebar agar jalanan lebih mudah dilalui kendaraan bermotor.
Sebenarnya, ada akses lain menuju Lalomerui, yakni melalui jalur selatan di Kolaka Utara, lalu masuk ke Luwu Timur, Sulawesi Selatan, kemudian menyeberang Danau Towuti hingga tiba di wilayah Routa. Tapi kami memilih lewat Konawe Utara untuk melihat kondisi jalan. Lalomerui adalah desa pertama yang kami temui saat masuk wilayah Kecamatan Routa.
“Kalau mobil kecil bisa jalan duluan, Pak,” kata Amri, seorang sopir truk, yang sama-sama sedang antre.
Akhirnya kami keluar dari antrean. Kami bersyukur, dari Kendari kami memilih menyewa mobil berpenggerak empat roda mengingat kondisi jalan ternyata begitu sulit. Kendaraan pun mulai berjalan pelan setelah kami menyalakan fitur penggerak empat roda.
Melewati jembatan selebar empat meter yang terbuat dari batang pohon itu, adrenalin mulai terpompa. Sungai Lalindu mengalir deras di bawah. Dengan konsentrasi tinggi, akhirnya kami berhasil melewati jembatan itu.
Dari cerita beberapa orang yang kami temui sebelumnya, sempat beberapa kali terjadi mobil tertimpa truk di tempat itu.
Namun, ternyata ini baru tantangan awal. Di depan kami, tampak tiga truk dengan 10 hingga 20 roda, sedang mengantre untuk mendaki jalanan yang menanjak terjal. Jalan tersebut tetap berlumpur meski sebagian telah diuruk kerikil agar bisa dilalui sementara waktu.
Satu per satu truk itupun mulai berjalan. Persis di depan kami adalah truk pengangkut kontainer. Kami sengaja menjaga jarak karena khawatir truk itu tak sanggup menanjak lalu mundur dan berisiko mencelakan kami yang di belakangnya. Dari cerita beberapa orang yang kami temui sebelumnya, sempat beberapa kali terjadi mobil tertimpa truk di tempat itu.
Syukurlah, truk berhasil melewati rintangan. Kekhawatiran pun hilang. Bukan apa-apa, truk tersebut jauh lebih berat dan panjang dari kendaraan yang kami gunakan. Melihat truk itu berhasil menaklukkan tanjakan berlumpur, ganti saya yang mulai menginjak pedal gas perlahan dan menanjak di kemiringan lebih dari 40 derajat.
Baca juga: Rasanya Naik Ojek Ongkos Jutaan untuk Jarak 30 Km
Saat roda menjejak jalan penuh lumpur, kaki mulai menginjak pedal gas dalam-dalam. Mobil pun meraung. Perlahan, jalan lumpur mampu dilalui. Tantangan kedua terlewati.
Namun, ujian belum selesai. Jalan di depan terus menanjak. Pikiran pun harus berkonsentrasi penuh. Baru beberapa meter berjalan, masih di tanjakan yang sama tetapi semakin terjal, ban bergerigi mobil kami tiba-tiba terbenam di kerikil.
Akibatnya, mobil pun tak mampu menanjak bahkan mulai mundur. Refleks kaki menginjak pedal rem dalam-dalam dan tangan menaikkan rem tangan.
Di belakang, truk memencet klakson panjang. Jantung pun berdegup keras. Saya berusaha tenang, dan kembali memasukkan transmisi ke gigi satu. Mobil meraung tetapi belum juga mampu berjalan. Percobaan pertama gagal.
Saya kemudian berusaha mengingat-ingat acara Off Road yang sering saya tonton di Youtube tentang bagaimana agar torsi mobil lebih bekerja. Setelah memasukkan transmisi rendah, kaki kanan mulai memompa pedal gas beberapa kali, dan dalam waktu yang bersamaan, kaki kiri melepas kopling.
Ban mobil kemudian berputar cukup cepat dan keluar dari benaman kerikil. Mobil berhasil menanjak meskipun perlahan. Setelah ratusan meter berjalan pelan, tanjakan pun akhirnya terlewati.
Baca juga: Saya Berbohong dan Kapolri Pun "Berbohong"
Ini adalah pengalaman off-road pertama di lokasi tadi. Bagi warga setempat, tanjakan ini disebut "tanjakan penyesalan" karena jalannya yang dipenuhi tanjakan terjal dan turunan curam, dengan kondisi jalan berlumpur. Saat hujan tiba, warga desa lebih memilih menghindari keluar kampung dan menunggu hingga jalan sedikit kering agar lebih mudah dilalui.
Usai "tanjakan penyesalan", jalan masih panjang. Kami harus mencari jalan untuk sampai ke desa tujuan. Setelah beberapa kali kesasar, akhirnya kami bertemu seorang warga yang baru pulang dari kebun. Dari dialah kami memperoleh informasi rute menuju Desa Lalomerui. Tiba di sana, segelas teh hangat yang disuguhkan warga, membantu meluruhkan kalut dan cemas.
Hukum Murphy di tengah kegelapan
Setelah tiga hari di Lalomerui dan merasa bahan liputan sudah cukup, kami memutuskan pulang. Saat itu jam menunjukkan pukul 15.30 Wita, Jumat (22/7/2022). Kami memutuskan berangkat sore itu juga karena tidak ingin terjebak hujan dan sulit keluar dari wilayah ini.
Pasalnya, sejak siang hingga sore itu, awan mendung terus menggelayut meski hujan belum turun. Sementara pada Kamis malam, hujan sempat turun meski tidak begitu deras.
Menurut informasi warga, hujan deras selama beberapa jam saja bisa membuat jalan sangat licin dan berbahaya. Tidak heran jika banyak kendaraan sering terjebak dan harus dievakuasi oleh kendaraan lain. Itupun jika bisa menghubungi rekan atau keluarga untuk membantu, karena jaringan telekomunikasi di sana masih timbul tenggelam.
Setelah berdiskusi dengan warga, kami memutuskan mengambil jalur lain untuk pulang. Tujuannya, untuk menghindari turunan tajam dan tanjakan terjal yang basah dan berlumpur.
Baca juga: Penuh Haru di Perbatasan
Menurut warga, ada jalan lain menuju desa ini yang sejak dulu terbuka, yakni jalan perkebunan sawit yang telah ada sejak awal 2000-an. Daerah Lalomerui memang dikelilingi perkebunan sawit, dan deretan pegunungan.
“Tapi kalau lewat sana, harus melintasi Sungai Lalindu dengan rakit. Rakitnya besar kok. Dua mobil juga cukup,” kata Hamma (70), warga yang rumahnya kami inapi. “Kalau mobil tinggi bisa lewat dengan lancar.”
Kami mulai mengepak barang dan mempersiapkan kendaraan. Setelah berpamitan, kami segera berangkat agar tidak kemalaman di jalan. Dari desa itu ke jalan Trans-Sulawesi di wilayah Konawe Utara, kami perkirakan butuh dua jam perjalanan. Artinya, kami akan tiba di jalan Trans-Sulawesi yang menghubungkan Sultra dan Sulteng, sebelum malam jatuh.
Kendaraan kami perlahan keluar dari desa dan mengikuti jalan perkebunan sawit yang membelah wilayah tersebut. Petunjuk dari Pak Hamma jelas. “Pokoknya lurus saja ikuti jalan utama. Jangan belok-belok.”
Jalanan datar dan sesekali menanjak ringan, kami lalui. Meski telah satu jam berkendara dengan melewati banyak persimpangan, ternyata kami masih saja berada di dalam area perkebunan sawit. Begitupun setengah jam setelahnya. Masih juga hamparan sawit yang terbentang di kiri dan kanan.
Baru pada pukul 17.15 Wita akhirnya kami berhasil keluar dari kawasan perkebunan sawit dan bertemu sungai yang harus kami seberangi.
Seorang penjaga berambut gimbal membantu kami menyeberang sungai. Tidak ada kendala. Jalan di depan menanjak tinggi. Namun, jalan itu mulus dan terbuat dari beton. Hati pun senang karena merasa jalur keluar kali ini akan lebih mudah. Ternyata, dugaan kami salah.
Baca juga: Mendaki Bukit Terjal ke Goa Hira, Tempat Nabi Menyendiri
Jalan yang terbuat dari beton hanya sepanjang 200 meter. Selebihnya jalan tanah yang menanjak dan basah. Gelap mulai turun.
Saya mengemudi perlahan karena kondisi jalan jauh lebih sulit dari yang dikira. Penuh air dan berlumpur. Sepertinya, hujan deras turun di wilayah ini pada Kamis malam. Tidak seperti di desa tempat kami menginap yang hanya hujan ringan.
Ban mobil pun terendam dan lumpur naik hingga ke kaca depan. Sesekali kendaraan melintir saat melewati jalan berlumpur yang dalam. Saya harus memegang stir mobil erat-erat, dan memainkan pedal gas agar tidak terjebak.
Di kiri dan kanan adalah hutan. Sepanjang jalan, kendaraan yang kami temui hanyalah truk kosong pengangkut sawit yang sedang parkir di tepi jalan. Entah ke mana sopir dan para pekerjanya. Suara hewan malam sesekali terdengar menyelingi raungan mobil. Beberapa babi hutan berukuran seperti kambing dewasa muncul di jalan yang kami lalui.
Dalam perjalanan, kami lebih banyak membisu. Hanya deru mobil dan iringan lagu Bon Jovi yang memecah keheningan.
Dalam hati saya hanya meminta satu hal berulang-ulang. “Tuhan, semoga mesin mobil tidak bermasalah dan ban tidak pecah.”
Saya berusaha menghilangkan pikiran buruk di kepala, sembari mempersiapkan diri akan kondisi terburuk yang bisa terjadi. Namun, hukum Murphy selalu menghantui.
Hukum Murphy (Edward Aloysisu Murphy Jr) menyebutkan, anything that can go wrong will go wrong. Terjemahan bebasnya kira-kira, apapun yang bisa salah akan salah.
Murphy (1918-1990) adalah seorang teknisi yang bekerja di Angkatan Udara Amerika. Pada 1949, ia bersama rekan-rekannya melakukan eksperimen untuk meneliti toleransi manusia terhadap akselerasi. Dalam eksperimen tersebut, mereka memasang belasan sensor ke bagian tubuh subyek.
Ada dua cara untuk memasang sensor tersebut. Salah satunya, pemasangan secara terbalik oleh orang lain. Di situasi itulah untuk pertama kalinya Murphy mengucapkan kalimatnya yang kemudian disebut Hukum Murphy.
Salah satu potongan kalimatnya yang terkenal, “Jika ada dua atau lebih cara untuk membuat sesuatu, dan salah satunya bisa menyebabkan bencana, maka akan ada seseorang yang melakukan (kesalahan tersebut).”
Hukum ini pada dasarnya menegaskan tentang potensi terjadinya situasi terburuk dari sesuatu. Teringat akan hal ini, saya berusaha memecah keheningan dan menceritakan Hukum Murphy ini kepada Salman, rekan yang menemani liputan ke Routa.
Saya sengaja menceritakan hal itu dengan harapan tidak terjadi kejadian buruk di tengah hutan ini. Doa dalam hati pun terus berkumandang. Terlebih, semakin jauh, kondisi jalan semakin sulit. Jalan berlumpur semakin panjang dan dalam. Jalanan juga terus menanjak.
Beberapa menit menjelang pukul 19.00 Wita, akhirnya kami sampai di puncak bukit. Bias sinar lampu kendaraan terlihat di kejauhan. Itulah jalan keluar yang kami cari-cari. Untuk pertama kalinya, pikiran pun menjadi lebih tenang. Setidaknya, kami sudah dekat dengan permukiman yang warganya bisa kami mintai pertolongan jika terjadi sesuatu.
Di persimpangan jalan tambang, kami mulai berpapasan dengan sejumlah kendaraan lain. Namun, kami masih harus melalui belasan kilometer jalan serupa sebelum sampai di jalan beraspal di wilayah Konawe Utara.
Setengah jam kemudian, jalan beraspal itupun kami jumpai. Serempak, kami berujar, “Alhamdulillah” lalu meneguk segelas air minum.
Setidaknya, kami bisa bernapas lebih lega karena sudah mulai berjumpa banyak orang meski tujuan kami masih sangat jauh.
Tidak terbayangkan selamat ini betapa sulitnya warga Routa hanya untuk keluar kampung mengingat kondisi infrastruktur jalan yang sangat memprihatinkan. Pembangunan di pelosok Indonesia memang masih sangat timpang, dan baru diperhatikan saat kekayaan alamnya menjadi rebutan.