Thomas membawa saya menyusuri jalan paralel yang medannya menanjak. Kami tiba di puncak dan melihat pemandangan kampung dari ketinggian. Kini warga dengan mudah pergi ke kampung tetangga di perbatasan Indonesia-Malaysia.
Oleh
EMANUEL EDI SAPUTRA
·5 menit baca
ARSIP PRIBADI
Menyusuri jalan paralel di perbatasan Indonesia-Malaysia. Di sela perjalanan berhenti sejenak untuk mengambil foto, Jumat (15/7/2022).
Hari Jumat (15/7/2022), penulis menyusuri salah satu ruas jalan paralel di perbatasan Indonesia-Malaysia di Kalimantan Barat. Ruas jalan ini menghubungkan pusat Kecamatan Entikong dengan Dusun Badat Baru di Desa Suruh Tembawang. Dusun Badat Baru masih bagian dari Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau.
Perjalanan sejauh 57 kilometer (km) ini untuk melihat sejauh mana dampak keberadaan jalan paralel itu terhadap kehidupan masyarakat di kampung-kampung yang dilewati. Kampung-kampung ini masuk wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia. Pada tahun 2018, saya pernah melintasi jalur yang sama. Hanya saja untuk liputan dengan tema berbeda, yakni pendidikan.
Meskipun sudah pernah ke sana, persiapan matang tetap perlu dilakukan untuk memastikan liputan berjalan lancar. Oleh sebab itu, seminggu sebelum keberangkatan, saya mengontak salah seorang rekan di Entikong dan menanyakan kondisi terkini jalan paralel untuk rute Entikong-Dusun Badat Baru. Saya sendiri berdomisili di Pontianak.
Saya ingin memastikan jenis kendaraan yang paling cocok dengan medan perjalanan nanti. Ia kemudian menyarankan saya untuk menyewa sepeda motor bebek karena lebih ringan untuk meliuk-liuk di kondisi jalan yang bervariasi.
ARSIP PRIBADI
Saya mengambil video senejak di Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, perbatasan Indonesia-Malaysia, sebelum menyusuri jalan paralel, Jumat (15/7/2022).
Rekan itu lantas membantu saya menghubungi Credit Union (CU), pemilik unit sepeda motor. Sepeda motor milik CU biasanya digunakan ke kampung-kampung untuk menemui anggota koperasi mereka. Dengan demikian, sudah teruji di lapangan.
Setibanya di sana, saya mengecek tekanan ban sepeda motor agar sesuai dengan medan yang akan ditempuh, yakni jalan berbatu kerikil, tanjakan, tanah dengan gundukan, hingga tanah berlumpur.
Tekanan ban tidak boleh terlalu terik (tegang) agar bisa beradaptasi dengan berbagai kondisi lintasan. Tangki bahan bakar juga sudah penuh saya isi.
Perjalanan dari Entikong menuju Dusun Badat Baru akan dipandu oleh rekan saya. Kami mengendarai sepeda motor masing-masing.
Dengan bekal pakaian secukupnya plus nasi bungkus, pada Jumat siang itu kami mulai tancap gas menyusuri jalan paralel. Tak lupa, sebelumnya saya bungkus alat liputan dengan plastik sebagai antisipasi turun hujan.
Salah satu jalan paralel di Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, perbatasan Indonesia-Malaysia, Jumat (15/7/2022).
Sepanjang 2 km awal dari Entikong menuju Dusun Badat Baru, kondisi jalan beraspal. Setelah itu, medan jalan berganti dengan tanah bertabur batu kerikil sejauh 5-6 km. Jalanan kembali beraspal sekitar 2 km, lalu kembali jalan tanah berbatu sekitar 34 km hingga tiba di Suruh Tambang, pusat Desa Suruh Tembawang.
Di sela perjalanan, sesekali saya berhenti untuk sejenak mengambil foto dan video. Beberapa kali saya lakukan sambil berkendara. Tangan kanan memegang setang sepeda motor, tangan kiri mengambil video dengan ponsel.
Sebelum memasuki pusat desa, terdapat sebuah sungai selebar 5-6 meter dengan kedalaman 20 cm-30 cm. Pada 2018, para pelintas harus melintasinya dengan sepeda motor. Bisa juga memanfaatkan jembatan bambu.
Kali ini sudah ada jembatan beton permanen yang kokoh untuk menyeberang. Saya abadikan kondisi terbaru tersebut dengan foto dan video.
Mewawancarai bidan
Tidak jauh setelah jembatan terdapat warung. Kami manfaatkan untuk beristirahat sambil ngopi dan makan roti. Irama musik dangdut terdengar dari salah satu warung. Di sanalah saya berjumpa dengan Lusiana (46), bidan desa yang sudah 18 tahun bertugas di desa itu.
Saya lantas mewawancarainya dan mengambil video. Lusiana memaparkan pengalamannya sebagai bidan yang merasakan manfaat jalan paralel saat harus merujuk pasien ke Puskesmas di Entikong.
Pemandangan di sekitar jalan paralel di Dusun Badat Baru, Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, perbatasan Indonesia-Malaysia, Jumat (15/7/2022).
Dulu, saat sungai menjadi satu-satunya jalur transportasi, bisa makan waktu 7-8 jam menuju Entikong. Sejak dibuka tahun 2015 atau 2016, perjalanan darat menuju Entikong dengan jalan paralel hanya butuh waktu satu jam.
Setelah mendengar cerita Lusiana, saya melanjutkan perjalanan yang sempat tertunda 1 jam. Dari pusat Desa Suruh Tembawang menuju Dusun Badat Baru, kami masih harus melintasi jalan tanah sekitar 11 km selain sejumlah tanjakan yang berkemiringan 20-40 derajat.
Karena banyak mampir, kami baru tiba sore hari di Dusun Badat Baru. Kami singgah di sejumlah lokasi yang menawarkan pemandangan indah selain berhenti sejenak di tepi Sungai Sekayam untuk menyantap bekal yang kami bawa. Cuaca yang bersahabat membuat perjalanan ini mirip-mirip tamasya.
Bersama warga
Setiba di sana, kami langsung menuju rumah Kepala Dusun Badat Baru, Matius Liset (46). ”Silakan diminum, Bang,” ujar Liset menawarkan secangkir kopi.
Entah mengapa, setelah menyeruput kopi, saya jadi teringat dengan indikator bahan bakar sepeda motor yang rasanya tidak menunjukkan pengurangan isi tangki. Apa jarumnya rusak?
Saya minta izin untuk menengok motor lalu membuka tangki. Ternyata isinya masih banyak. ”Sekarang dari Badat Baru ke Entikong 2 liter bensin saja tidak habis. Dulu waktu belum ada jalan paralel kami lewat sungai bisa seharian, bensin habis 30 liter, bahkan ratusan liter,” ucap Liset. Saya kemudian mewawancarainya lebih dalam.
Saya berhenti sejenak makan di tepi jalan paralel Dusun Badat Baru, Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, perbatasan Indonesia-Malaysia, Jumat (15/7/2022).
Di sebelah rumah kepala dusun, tampak beberapa ibu sedang duduk-duduk di depan rumah Miliana (46), guru SD yang sudah bertugas di Badat Baru selama 11 tahun. Ia menceritakan perjuangannya ke Badat Baru saat sungai menjadi satu-satunya jalur transportasi.
Setelah itu, saya mengunjungi Thomas (46), warga yang pernah saya kunjungi tahun 2018. Dia tampak kaget karena tidak menyangka akan kembali bertemu. ”Halo. Wah, akhirnya kamu ke sini lagi,” ujar Thomas yang sedang memasukkan hasil panen jahenya ke dalam karung.
”Saya mandi dulu. Habis itu saya mau memperlihatkan sesuatu kepada kamu,” ujar Thomas.
Saya penasaran dibuatnya. Setelah selesai mandi, Thomas mengambil sepeda motor dan meminta saya memboncengnya.
Ia membawa saya menyusuri jalan paralel yang medannya kemudian menanjak. Kami tiba di puncak. Dari sana terlihat pemandangan kampung dari ketinggian. Rupanya Thomas ingin memperlihatkan bahwa jalan paralel sudah semakin baik, bahkan sudah merambah hingga ke puncak atas kampung.
Pemandangan dari ketinggian Dusun Badat Baru, Desa Suruh Tembawang, Kecamatan Entikong, Kabupaten Sanggau, Kalimantan Barat, perbatasan Indonesia-Malaysia yang dilintasi jalan paralel, Jumat (15/7/2022).
Dari ketinggian, tampak perbukitan hijau dengan latar belakang langit senja. Thomas bercerita, warga kampung sangat terbantu dengan jalan paralel itu. Warga dengan mudah pergi ke kampung tetangga di Kabupaten Bengkayang yang juga wilayah perbatasan Indonesia-Malaysia.
Jalan paralel tersebut memang belum semuanya beraspal. Namun, dari pengamatan lapangan dan kisah warga, jalanan itu sangat membantu transportasi warga.
Bandingkan saat masih menggunakan transportasi sungai. Selain memakan waktu berhari-hari, perjalanan juga berisiko karam saat mengarungi Sungai Sekayam. Melihat kondisi terkini, saya pun merasa penuh haru dan bahagia bersama warga yang mulai merasakan merdeka dari keterisolasian.