”Tenggelam” di Perkampungan Terapung Suku Bajo
Tuas ”drone” yang ukurannya lebih kecil dari jari kelingking orang dewasa itu lepas dan terjatuh ke laut. Tanpa pikir panjang, Heru menceburkan diri. Anak-anak penasaran menunggunya, jangan-jangan Heru tenggelam.
Harian Kompas menyiapkan liputan khusus Dirgahayu Republik Indonesia dalam perayaan hari ulang tahun yang ke-77 dengan mencari makna kemerdekaan di wilayah pedalaman, pinggiran, dan terluar di 34 provinsi. Kami kebagian ke kampung suku Bajo, Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Pohuwato, Gorontalo.
Kesempatan ini sangat berharga. Jangankan ke Torosiaje, ke Kota Gorontalo pun kami belum pernah. Gorontalo yang merupakan pecahan Sulawesi Utara ini menjadi provinsi tahun 2000. Sebelum terbang dari Jakarta, kami mulai riset kecil-kecilan, dari arsip Kompas hingga mencari kontak calon narasumber di sana.
Kami sampai di Bandara Djalaluddin Gorontalo, Rabu (13/7/2022) siang. Umumnya, pesawat harus transit ke Makassar. Hanya beberapa maskapai yang melayani penerbangan langsung. Itu pun pada hari tertentu saja. Harganya pun lebih dari Rp 2 juta per kursi.
Pemandangan permukiman padat dan kendaraan yang menyemut di Jakarta sontak berganti. Pohon kelapa, sawah, dan rumah beratap seng berjejer di pinggir jalan. Nyaris tak ada kemacetan di Gorontalo. Satu-satunya penghambat hanyalah pelebaran jalan di tengah kota yang belum juga tuntas.
Hari pertama di kota, kami berbincang dengan Rasid Yunus, dosen Fakultas Ilmu Sosial Universitas Gorontalo yang meneliti Torosiaje, dan Akram Mursalim, dosen Komunikasi Universitas Negeri Gorontalo (UNG). Rasid bercerita tentang kedekatan warga dengan laut sekaligus tantangan yang mereka hadapi.
Kamis (14/7/2022) pagi, penjelajahan ke Torosiaje dimulai dengan menggunakan mobil sewa dengan sopirnya. Tarif sewa Rp 700.000. Sepanjang perjalanan diwarnai pemandangan tanaman jagung di perbukitan, selain sawah, lahan tebu, dan spanduk Wakil Ketua DPR RI Rachmat Gobel yang berwarna biru.
Baca juga: Wisata Perkampungan Terapung Suku Bajo Torosiaje Terus Dikembangkan
Sebagai salah satu sentra jagung nasional, produksi jagung Gorontalo tahun lalu mencapai 643.512 ton. Namun, melihat masifnya penanaman komoditas itu hingga ke atas bukit, kami teringat banjir bandang di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat. Pemicunya, ”hutan jagung”.
Meskipun ekspor jagung pada 2020 mencapai lebih dari 8 juta dollar AS, komoditas itu belum mampu mengangkat Gorontalo dari jurang kemiskinan. Tahun lalu, persentase penduduk miskin di daerah berpenduduk sekitar 1,18 juta jiwa itu tercatat 15,61 persen atau 186.290 jiwa.
Bahkan, Badan Pusat Statistik mencatat, pada Maret 2022, Gorontalo jadi provinsi dengan persentase penduduk miskin terbanyak kelima di antara 34 provinsi. Daerah dengan persentase warga termiskin lainnya adalah Papua, Papua Barat, Nusa Tenggara Timur, dan Maluku.
Baca juga: Terjebak Tanjakan Penyesalan hingga Dihantui Hukum Murphy
Kami juga menyaksikan antrean truk yang mencari solar bersubsidi di stasiun pengisian bahan bakar untuk umum di Randangan, Kabupaten Pohuwato. Kata sejumlah sopir dengan suara pelan, mereka kadang terpaksa menginap. Sebab, jatah solar dibatasi hanya untuk 30 kendaraan.
Setelah delapan jam perjalanan, kami akhirnya sampai di dermaga Desa Torosiaje Jaya. Langit dan laut biru serta hijau pohon mangrove menyambut. Ojek perahu sudah menanti untuk mengantar ke Desa Torosiaje, sekitar 500 meter dari daratan. Tarifnya cuma Rp 5.000 per orang.
Baca juga: Rasanya Naik Ojek Ongkos Jutaan untuk Jarak 30 Km
Seperti orang Bajo di daerah lain, perkampungan warga Torosiaje juga berdiri di atas permukaan laut. Terdapat sekitar 347 rumah kayu yang diisi oleh 437 keluarga atau 1.489 jiwa. Balai desa, aula, puskesmas pembantu, sekolah dasar, hingga sekolah menengah pertama tersedia di sana.
Warung, kafe, dan tempat penarikan uang serupa anjungan tunai mandiri juga ada. Aliran listrik serta saluran air bersih tersambung ke permukiman. Namun, belum seluruh warga merasakannya. Sejumlah warga terpaksa harus membeli air bersih. Bahkan, masih ada yang menadah air hujan.
Warga kerap melaporkan persoalan air ini ke pemerintah daerah. ”Tahun lalu, bupati ke sini. Air PDAM langsung lancar. Ini, kan, jadi pemikiran warga, lebih baik bupati tinggal di sini saja supaya airnya lancar,” ujar Kepala Seksi Pemerintahan Desa Torosiaje Rizki Lamatenggo.
Baca juga: Saya Berbohong dan Kapolri Pun "Berbohong"
Meski demikian, menurut salah satu tokoh masyarakat setempat, Husain Onte, Torosiaje yang mulai dihuni pada 1901 kini telah berkembang. ”Kami sudah beberapa puluh tahun tidak pernah merasakan bentuknya, seperti listrik dan air. Sekarang, kami sudah rasakan,” ucapnya tersenyum.
Nelayan memanfaatkan listrik untuk membuat es pendingin ikan. Dua rumah warga bahkan menjelma homestay atau tempat penginapan. Tarifnya Rp 150.000-Rp 400.000 per kamar per malam, bergantung pada luas kamarnya. Tempatnya rutin dibersihkan. Lantai kamar mandinya berkeramik.
Salah satunya homestay Mutiara Laut yang bahkan menyediakan jaringan internet nirkabel berbayar. Sayangnya, tidak semua operator seluler punya sinyal kuat. Hanya beberapa spot yang jaringannya lancar. Hal ini sebenarnya tidak masalah karena hamparan laut lebih indah dibandingkan dengan layar mini ponsel.
Basah kuyup
Saban pagi, kami berjalan kaki sekitar 3 kilometer untuk mengelilingi perkampungan yang berbentuk huruf U. Kami menyaksikan lekatnya warga dengan laut. Mereka bangun dan tidur di atas laut. Perahu terparkir di bawah rumah. Ibu-ibu dan bapak-bapak melaut dengan perahunya.
Bagi kami yang tinggal di darat, ini kesempatan langka. Heru Kumoro pun puas ”belanja” foto. Ia juga mengabadikan perkampungan warga dengan drone. Namun, pagi itu, tuas drone, yang ukurannya lebih kecil dari jari kelingking orang dewasa, lepas dan terjatuh ke laut.
Baca juga: Penuh Haru di Perbatasan
Tanpa pikir panjang, Heru menyimpan tas dan kamera di atas jembatan. Pemilik sertifikat menyelam ini lalu menceburkan diri. Tanpa kacamata renang, matanya menjelajah ke dasar laut. Untung saja, air lautnya cukup jernih dan tak ada bulu babi. Akhirnya, tuas kecil itu ketemu.
Heru kembali ke penginapan dalam keadaan basah kuyup. Sambil meneguk teh hangat, ia tertawa menceritakan kejadian itu, termasuk saat anak-anak berkumpul melihatnya. Mungkin mereka penasaran dan berpikir, jangan-jangan Heru tenggelam.
Ya, beberapa hari di sini, sebenarnya kami sudah ”tenggelam” dengan suasana perkampungan terapung ini. Kami larut dalam keramahan warga yang selalu melempar senyum kala bersua. Bahkan, kami diminta mampir ke akikah warga. Syukurlah, jadi bisa silaturahmi sekaligus makan gratis.
Sikap terbuka itu juga tecermin dari beragamnya latar belakang warga. Ada yang dari Bugis, Makassar, Jawa, hingga Tionghoa. Beberapa kali kami berkomunikasi dengan bahasa Jawa. Ibarat laut yang tidak punya portal, masyarakat Torosiaje juga membolehkan siapa saja datang.
Pemerintah desa setempat mulai mengembangkan wisata pemandangan matahari terbenam di Alo Cinta, jembatan kayu berwarna dengan panjang sekitar 300 meter yang bagian ujungnya berbentuk hati. Kata alo berarti ’kolam atau dalam’. Terjemahan bebasnya, Alo Cinta adalah cinta yang dalam
Selain suasana senja, Alo Cinta juga menawarkan pemandangan teripang. ”Pertama diresmikan awal tahun, ada anak muda bertengkar dengan pacarnya. Dompet dan HP (handphone)-nya dibuang ke laut. Eh, pulangnya dia pinjam uang ke temannya,” ujar Indriani, pemudi setempat.
Baca juga: Warga Bajo Torosiaje Menjaga Gurita untuk Masa Depan
Kami juga kagum dengan kekayaan potensi laut Torosiaje. Desa ini menghasilkan komoditas ekspor gurita dan teripang. Catatan Jaring Pengelolaan Sumber Daya Alam, hasil tangkapan gurita di sana dalam tujuh bulan mencapai 13 ton dengan nilai lebih dari Rp 743 juta.
Meski mendatangkan rupiah, warga tidak ingin terjadi penangkapan berlebih terhadap gurita. Pemerintah desa tengah menyusun peraturan terkait perlindungan gurita. Isinya antara lain tentang larangan penangkapan gurita kecil atau 300 gram dan penutupan sementara habitat biota laut tersebut.
Dari perkampungan terapung Torosiaje, kami belajar bagaimana warga hidup di laut sekaligus menghidupi laut. Rasanya, waktu empat hari tiga malam belum cukup menimba ilmu di sana, yang mungkin sedalam lautan.