Warga Bajo Torosiaje Menjaga Gurita untuk Masa Depan
Kehidupan warga suku Bajo dengan alam tidak berkesudahan. Bersama gurita, mereka menjaga masa depan.

Gurita tangkapan nelayan yang dijual kepada pengepul di Kampung Bajo Torosiaje, Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, Jumat (15/7/2022). Sejumlah pengepul di Torosiaje menyepakati hanya membeli gurita dengan ukuran lebih dari 300 gram. Saat ini juga sedang digodok peraturan desa (perdes) yang mengatur tentang berat minimal gurita yang akan ditangkap.
Hidup masyarakat suku Bajo di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, erat dengan gurita (Octopus sp). Komoditas ekspor tersebut menjadi bahan obat hingga menghidupi warga. Tak ingin hewan moluska itu musnah, warga pun melindunginya.
Yanto Sompah (30) teliti mengukur berat dan diameter kepala gurita dengan penggaris plastik di salah satu rumah warga di Torosiaje, Jumat (15/7/2022). Telepon pintarnya merekam aktivitasnya.
”Kalau tentakel ketiganya ujungnya lancip berarti jantan,” kata Ispan, sapaannya.
Pengukuran itu untuk mendata tangkapan nelayan sekaligus memastikan berat gurita lebih dari 300 gram. Ini sesuai rancangan peraturan desa terkait perlindungan gurita. Regulasi tersebut disusun oleh pemerintah desa, nelayan, dan Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda).
”Kami sudah sosialisasi ke enam pengepul supaya menolak membeli gurita kecil dari nelayan,” kata Ispan, enumerator (petugas pendata) Japesda.
Gurita berusia sebulan punya berat 100 gram dan meningkat dua kali lipat setiap bulan. Berat maksimalnya pada usia tujuh bulan, 6,4 kilogram.
”Kalau yang kecil ditangkap terus-menerus, bisa-bisa gurita sudah tidak ada karena masa hidupnya singkat, cuma 18 bulan,” ucapnya.
Padahal, Torosiaje, yang berjarak sekitar 250 kilometer dari pusat kota Gorontalo, dan 15 pulau kecil di sekitarnya merupakan habitat gurita.
Baca juga : Pengaturan Penangkapan Gurita di Torosiaje

Perahu warga di Kampung Bajo Torosiaje, Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, Jumat (15/7/2022). Sebagian besar warga di Torosiaje merupakan nelayan. Selain ikan, warga juga menangkap gurita dan teripang.
Berdasarkan catatan Japesda dan pemdes setempat pada Oktober 2021 hingga April 2022, nelayan menangkap 14.894 gurita atau setara 13 ton. Nilai produksi gurita selama tujuh bulan itu mencapai lebih dari Rp 743 juta. Angka ini hampir setara anggaran dana desa sekitar Rp 1 miliar.
Jumlah itu belum termasuk nilai pengiriman gurita dari Torosiaje ke Makassar, Sulawesi Selatan, hingga ekspor, seperti ke Jepang dan Amerika Serikat. Kementerian Kelautan dan Perikanan mencatat, pada 2020, volume ekspor cumi-sotong-gurita mencapai 140.036 ton atau 509 juta dollar AS.
Produksi gurita dan sejenisnya juga meningkat sekitar 4 persen sejak 2016. Adapun nilai transaksinya melonjak hingga 12,3 persen pada periode itu. Namun, tingginya permintaan terhadap gurita, seperti untuk makanan, turut mengancam populasi biota laut ini. Termasuk di Torosiaje.

Moji Tiok (50) menunjukkan katang, alat tangkap gurita, di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, Jumat (15/7/2022). Alat tangkap tersebut ramah lingkungan karena tidak merusak terumbu karang. Pemdes Torosiaje berencana membatasi penangkapan gurita untuk menjaga populasi hewan itu.
Moji Tiok (50), nelayan setempat, mengingat, tangkapan guritanya melimpah pada 2014. Kala itu, jumlah nelayan pencari gurita masih bisa dihitung dengan jari.
”Saya bisa bawa pulang sampai 30 kilogram per hari. Sekarang, rata-rata 4-5 kilogram sehari. Mungkin guritanya sudah mulai kurang,” katanya.
Adapun harga gurita berkisar Rp 30.000-Rp 75.000 per kilogram, tergantung ukurannya. Saat penimbangan, gurita kecil dipisahkan dengan gurita besar yang lebih mahal. Meski variatif, harga gurita lebih bagus dibandingkan harga ikan yang biasanya sekitar Rp 35.000 per kilogram.
Ongkos menjaring gurita juga lebih murah dibandingkan ikan. Sebab, setelah di lokasi, nelayan mematikan mesin dan menyelam.
”Kalau tangkap gurita, bensin 6 liter bisa tahan besok. Kalau tangkap ikan, bensinnya habis sehari karena mesin nyala terus. Beras 1 liter habis,” ujar Moji.
Nelayan juga membuat alat tangkap gurita, bukan membelinya. Nelayan umumnya memakai umpan pocong dan katang. Pocong terbuat dari semen yang dibikin lonjong seperti kepala gurita. Di bagian bawahnya tertempel potongan sandal jepit serta pengait. Tentakelnya dari kain.
Katang terbuat dari kayu yang dicat merah dan menyerupai lobster. Di bawahnya tertancap pengait. Dua tangannya memanjang dengan potongan sendok di ujungnya.
”Ini yang bikin habis sendok di rumah. Sudah 10 lusin habis. Ha-ha-ha,” ujar Moji sambil memegang sendok berkarat.
Ramah lingkungan
Selain murah, alat itu juga ramah lingkungan. ”Kami pakai semen untuk bikin pocong, bukan dari batu karang. Kalau karangnya rusak, guritanya juga hilang,” kata Moji yang siang itu memakai baju bergambar gurita dengan tulisan ”Kuwita for Life”. Kuwita adalah gurita dalam bahasa Sulteng. Sementara di Gorontalo, gurita disebut kuta.
Moji tidak keberatan saat pemdes dan Japesda menyusun rancangan perdes terkait pembatasan penangkapan gurita kecil dan penutupan sementara sejumlah habitat gurita. Jika nelayan membiarkan gurita berkembang dua hingga tiga bulan, beratnya akan meningkat. Harganya pun otomatis naik. Harga gurita yang awalnya hanya Rp 30.000 per kilogram, misalnya, bisa meningkat dua kali lipat.
”Kalau dapat gurita ukuran 1 kilogram, saya sudah dapat Rp 60.000. Ini bisa beli 6 liter beras. Sudah senang keluarga,” ujar bapak lima anak dan kakek tiga cucu ini.
Husain Onte, salah seorang pengepul, mengatakan, pembeli dari Gorontalo dan Makassar menerima gurita ukuran apa pun dan berapa pun jumlahnya. Setiap bulan, ia bisa mengumpulkan hingga 2 ton gurita dalam sebulan. Meski permintaan pasar tinggi, ia sepakat penangkapan gurita dibatasi.
”Gurita yang 300 gram ini jadi bibit saja untuk pembesaran. Kalau melanggar ada denda Rp 1,2 juta. Siapa juga yang mau bayar denda itu?” ujar Husain, yang turut mengajak pengepul lain menolak gurita kecil. Ia juga bekerja sama dengan Japesda untuk mendata tangkapan nelayan.

Yanto Sompah, petugas pendataan Jaring Advokasi Pengelolaan Sumber Daya Alam (Japesda), menunjukkan data produksi gurita di Desa Torosiaje, Kecamatan Popayato, Kabupaten Pohuwato, Gorontalo, Jumat (15/7/2022). Pemdes Torosiaje berencana membatasi penangkapan gurita untuk menjaga populasi hewan itu.
Kepala Desa Torosiaje Uten Sairullah menargetkan, perdes terkait perlindungan gurita tuntas Oktober sehingga bisa berlaku. Kelompok pengawas yang terdiri dari perwakilan pemdes, japesda, aparat keamanan, hingga tokoh masyarakat juga dibentuk untuk menjalankan perdes.
Pihaknya masih menyusun sanksi atas pelanggar perdes. Jelasnya, regulasi itu demi menjaga mata pencarian warga.
”Kami berpikir, penutupan suatu lokasi bukan mengurangi atau menghalangi penghasilan nelayan karena masih ada tempat lain mencari gurita,” ucap Uten.
Relasi
Jauh sebelum itu, gurita dan masyarakat suku Bajo Torosiaje saling menghidupi. Warga yang tinggal di atas laut pantang merusak terumbu karang, rumah gurita untuk bertelur.
”Sebaliknya, tetua adat di sini menggunakan gurita untuk pengobatan kalau ada warga sakit,” ujarnya.
Fadhliyah H Dai dan Ramoend Manahung, dalam tulisannya di Jurnal Pendidikan Islam dan Budi Pekerti (Februari 2020), menemukan, masyarakat Bajo percaya, ari-ari saat melahirkan akan berubah jadi kuta (gurita) bagi laki-laki. Adapun ari-ari perempuan jadi tuli atau buaya.
Penulis dari IAIN Sultan Amai Gorontalo ini juga mengungkapkan, masyarakat Bajo percaya setiap kelahiran punya kembaran di laut berupa gurita dan buaya.
”Sehingga, jika salah satu di antara mereka ada yang sedang sakit, itu berarti semangat hidupnya telah diambil saudara kembarnya di laut dan sebagian lagi diambil oleh Dewata (Tuhan Yang Maha Esa),” tulisnya.
Christopel Paino, Manajer Program Japesda, mengatakan, pembatasan penangkapan gurita tidak hanya mendekatkan masyarakat dengan gurita, tetapi juga menambah penghasilan warga. Jika populasi gurita anjlok, bukan hanya nelayan yang terdampak, melainkan juga ekosistem di laut. Gurita jadi mangsa ikan dan mamalia, seperti lumba-lumba dan hiu.
Selain itu, gurita juga menjadi indikasi terumbu karang masih terjaga. Sebab, gurita bertelur di terumbu karang. Melindungi gurita sama saja menjaga terumbu karang. Warga Bajo di Banggai, Sulawesi Tengah, misalnya, telah menerapkan hal itu.
”Setelah beberapa tempat penangkapan ditutup Agustus-November, tangkapan (gurita) oleh nelayan banyak berukuran besar. Bahkan, ada rekor ukuran 3-4 kilogram. Padahal, sebelumnya, nelayan dapat 0,4 kilogram ke bawah,” ujarnya. Pihaknya yakin, hal serupa bakal terjadi di Torosiaje.
”Kami berharap, hal baik seperti pembatasan penangkapan gurita ini bisa direplikasi di desa, kabupaten, sampai provinsi,” kata Christopel.
Masyarakat Bajo telah memberikan pelajaran menjaga laut dan isinya. Mereka paham benar pesan yang disampaikan Presiden Joko Widodo untuk menjaga lautan dan tidak lagi memunggunginya.
Baca juga : Torosiaje Siapkan Peraturan Desa Terkait Pembatasan Penangkapan Gurita