Di Tengah Kegelapan Alas Purwo
Di kiri dan kanan jalan yang terlihat hanyalah kegelapan. Sempat teringat akan kisah-kisah gaib di tempat mistis ini. Yang pasti saya berpegang pada pesan seorang teman agar tidak mengambil apa pun dari hutan ini.
Apa yang ada di benak banyak orang ketika mendengar nama Alas Purwo? Kebanyakan akan langsung membayangkan sebuah belantara atau rimba tak bertepi di ujung tenggara Pulau Jawa.
Saking lebatnya hutan itu, banyak cerita berkembang di masyarakat bahwa orang yang masuk hutan tersebut akan sulit untuk keluar lagi. Entah bagaimana nasibnya di dalam hutan.
Alas Purwo hingga kini masih sering diidentikkan dengan hal-hal berbau mistis dan penuh misteri. Banyak orang datang ke tempat itu untuk bersemedi, ngalap berkah, atau kegiatan serupa lainnya.
Dalam bahasa jawa, nama Purwo artinya permulaan. Legenda meyakini Alas Purwo sebagai tempat pertama atau permulaan lahirnya Pulau Jawa.
Belakangan ramai lagi pembicaraan tentang kisah KKN di Desa Penari yang filmnya baru saja ditayangkan di bioskop. Alas Purwo sempat diduga menjadi lokasi sebenarnya dalam cerita tersebut. Tetapi, bukan itu yang membuat saya tertarik dengan Alas Purwo, melainkan kekayaan hutan inilah yang telah memikat perhatian saya.
Mengacu pada laman Taman Nasional Alas Purwo, kawasan ini dihuni lebih dari 700 jenis tumbuhan, antara lain sadeng (Livistoma rotundivolia) dan sawo kecil (Manilkara kauki) yang merupakan tanaman endemik Pulau Jawa.
Alas Purwo alias Hutan Purwo juga kaya akan fauna, di antaranya 45 jenis mamalia yang sudah teridentifikasi, 70 jenis herpetofauna (reptil dan amfibi), serta lebih dari 250 jenis burung.
Beberapa satwa endemi Alas Purwo adalah banteng (Bos javanicus), rusa timor (Rusa timorensis), macan tutul jawa (Panthera pardus melas), dan kera ekor panjang (Macaca fiscicularis).
Beberapa jenis burung yang sering dijumpai, di antaranya elang laut perut putih (Haliaeetus leucogaster), elang ular bido (Spilornis cheela), rangkong badak (Buceros rhinoceros), dan merak hijau (Pavo muticus).
Flora dan fauna ini menghuni Taman Nasional Alas Purwo yang memiliki luas 43.420 hektar. Kawasan ini terbagi menjadi zona inti 12.354,7 hektar; zona rimba 29.946,18 hektar; zona rehabilitasi 447,91 hektar; zona tradisional 481,31 hektar; zona pemanfaatan 796,07 hektar; zona khusus 1,1 hektar; serta religi, budaya, dan sejarah 9,9 hektar. Membayangkan luasnya saja membuat saya berdecak kagum.
Belum lagi kekayaan keanekaragaman hayatinya, yang menggugah angan saya untuk suatu saat bisa menyambangi tempat eksotis itu. Kesempatan itu akhirnya datang pada awal pekan keempat Mei 2022.
Pemicunya adalah acara internasional World Surf League atauLiga Selancar Dunia yang akan berlangsung di Pantai Plengkung atau G-Land, salah satu pantai di kawasan Taman Nasional Alas Purwo, Banyuwangi, Jawa Timur.
Baca juga: Kena Tipu Dua Kali di Vietnam
Saya yang sehari-hari bertugas di kawasan Malang dan sekitarnya kebetulan ditugaskan oleh Kepala Biro Kompas Surabaya untuk meliput persiapan acara yang akan diikuti 24 atlet selancar putra dan 12 atlet putri dari sejumlah negara itu.
Semula, saya berencana ke lokasi itu dengan sepeda motor yang saya sewa di pusat kota Banyuwangi. Dari Malang, saya menumpang kereta untuk ke Banyuwangi.
Namun, keberuntungan rupanya tengah menghampiri. Bagian Humas Pemerintah Kabupaten (Pemkab) Banyuwangi memberi kabar bahwa Forum Komunikasi Pimpinan Daerah (Forkopimda) setempat berencana meninjau persiapan liga selancar. Bagian humas kemudian menawarkan tumpangan kendaraan jika saya berminat bergabung dalam kegiatan itu.
Tentu saja tawaran itu tidak saya sia-siakan. Pertimbangan saya, akses masuk ke lokasi mestinya akan lebih mudah jika bersama mereka. Mengingat dalam kegiatan internasional semacam itu, biasanya ”ring satu” menjadi kawasan terbatas. Hanya orang tertentu yang bisa masuk. Kala itu, sejumlah atlet sudah mulai datang dengan menggunakan perahu dari Bali.
Kami lantas berangkat dari kota Banyuwangi menggunakan minibus. Total ada sembilan orang yang berangkat. Dua di antaranya awak media, termasuk saya.
Baca juga: Terjebak Semalaman Bersama Pengungsi Banjir Kampung Melayu
Setelah hampir dua jam perjalanan, sampailah kami di pinggiran Alas Purwo. Kondisi rimba belum begitu lebat. Di sisi kiri terlihat pepohonan jati hasil budidaya. Di sisi kanan, hutan dengan beberapa bagiannya yang dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berladang.
Sejurus kemudian, kami tiba di pintu masuk Taman Nasional. Saya turun sebentar untuk mengabadikan suasana. Di sebelah kanan gapura pintu masuk terdapat sebuah patung orang berselancar. Di sebelah kiri adalah patung banteng, satwa khas Alas Purwo.
Tak jauh dari sisi kanan gapura terdapat sungai kecil. Seorang ayah dan anak perempuannya tengah memancing ikan di sana. ”Alit-alit iwake (kecil-kecil ikannya),” kata si Bapak menjawab pertanyaan saya.
Setelah dirasa cukup, kami melaju lagi. Kondisi tutupan hutan relatif belum begitu rapat. Jalan yang kami lalui yang menjadi satu-satunya jalan beraspal di kawasan itu terlihat bersih meski di kiri dan kanannya berdiri pepohonan yang tinggi menjulang dengan kanopi saling bersinggungan. Saat kami melintas, mirip seperti tengah memasuki sebuah lorong hasil bentukan alam.
Baca juga: Balada Hilangnya Kereta Angin Saat SEA Games
Tak sampai 10 menit, kami sudah berhenti di depan pura. Namanya Pura Kawitan. Dalam bahasa Jawa, kawitan berarti awal mula. Kondisi sekitar pura tampak bersih meski suasananya sunyi.
Hanya terdengar kicau burung dan suara kendaraan roda empat yang sesekali melintas. Sinar matahari menerobos dan jatuh di atas tanah yang mulai mengering setelah beberapa saat absen diguyur hujan.
”Situs Kawitan”, demikian bunyi plang di depan pura yang dilengkapi keterangan tentang situs. Lokasi ini merupakan tempat ditemukannya reruntuhan bangunan yang diduga gapura peninggalan Kerajaan Blambangan dari abad ke-14.
Asumsi ini berdasarkan Prasasti Balawi (1305 M) yang menyebut toponimi Blambangan untuk pertama kali. Gapura terbuat dari batuan gamping. Ini berkait dengan sejarah geologi Alas Purwo yang awalnya terbentuk oleh proses pengangkatan karst dari lautan dangkal.
Berdasarkan penelitian, Semenanjung Blambangan yang sekarang dikenal sebagai Plengkung dan berada di sudut tenggara Pulau Jawa merupakan tempat pendaratan pertama masyarakat Austronesia pada 3500 SM. Ini dibuktikan dengan temuan cangkang kerang di beberapa goa di Alas Purwo.
Baca juga: Ya Liputan, Ya Liburan
Kembali ke Pura Kawitan. Setelah ditemukan kembali, pura ini sekarang dijadikan sebagai tempat suci agama Hindu oleh masyarakat yang berdiam di wilayah Tegaldlimo, terutama saat perayaan Pagerwesi. Masyarakat kemudian membangun Pura Luhur Giri Salaka di sebelah Situs Kawitan sebagai tempat peribadatan.
Seusai mengambil beberapa foto di sekitar pura, kami melanjutkan perjalanan. Kondisi jalan mulai meliuk dan menyempit. Beberapa kali mobil yang kami tumpangi harus melambat saat berpapasan dengan kendaraan lain dari arah berlawanan.
Suasana rupanya cukup sibuk. Selain panitia dan pihak-pihak yang berurusan dengan Liga Selancar, banyak juga wisatawan yang hendak menuju ke Pantai Pancur dan pantai lainnya di dalam Taman Nasional.
Tepat tengah hari, sampailah kami di Pantai Pancur di Kecamatan Tegaldlimo untuk rehat sejenak sebelum melanjutkan ke tujuan utama di Pantai Plengkung.
Suasana di sini menyenangkan meski sedikit gerah lantaran minim embusan angin. Kera-kera ekor panjang yang tidak takut dengan keberadaan manusia ramai bergelantungan ke sana kemari, tidak hanya di pepohonan, tetapi juga di kabel-kabel listrik.
Pantai Pancur menjadi titik terakhir jalan beraspal. Untuk menuju Pantai Plengkung atau G-Land bisa menyewa kendaraan berpenggerak empat roda (Trooper) yang disiapkan warga setempat. Harga sewanya bervariasi, mulai dari Rp 150.000 sampai Rp 750.000, tergantung dari jarak dan paket.
Perjalanan menuju G-Land butuh waktu sekitar 30 menit. Kondisi hutan menuju tempat itu mulai rapat. Pepohonan pun lebih bervariasi, dari yang berukuran kecil hingga besar. Jenisnya mulai dari tanaman bambu sampai pohon berkayu yang tinggi menjulang. Kawasan ini, menurut cerita beberapa rekan, kerap menjadi pelintasan satwa liar.
Meski hari masih siang, pikiran saya langsung membayangkan bagaimana kondisinya saat malam tiba. Segelap apakah kondisi sekitar? Apakah masih ada orang lewat di jalan?
Jujur, meski saya beberapa kali melintas atau masuk hutan di Jawa Timur, seperti Taman Nasional Bromo Tengger Semeru dan Hutan Lindung Malang selatan, memasuki Alas Purwo memberi kesan tersendiri.
Jalan yang masih tanah membuat laju kendaraan tidak bisa kencang selain membuat kepulan debu yang kemudian menempel di dedaunan.
Burung-burung berukuran besar, sepertinya elang, sesekali terlihat hinggap di pucuk pohon yang tinggi. Di titik-titik tertentu muncul pemandangan Samudra Hindia dari balik pepohonan yang kerapatannya jarang.
Akhirnya setelah menelusuri belantara tanah Blambangan, tiba juga kami di tujuan, yakni Pantai Plengkung alias G-Land. Panoramanya sungguh memikat.
Ombak dan gelombang di G-Land dianggap salah satu yang terbaik di dunia. Tidak heran jika kemudian banyak peselancar dunia yang ingin menjajal ”menari” dan menaiki ombak di sini.
Peselancar asal Bali, Tipi Jabrik, menyebut ombak kiri G-Land mirip pantai di Fiji, Tahiti, dan Hawaii. ”G-Land ini salah satu ombak terbaik di dunia karena panjang dan terowongannya,” katanya.
Tempat ini makin sempurna karena ada beberapa homestay dengan arsitektur menarik. Bagi orang yang lama tinggal di kota, G-land atau Plengkung, laksana potongan surga tersembunyi.
Beberapa jam kemudian, senja menampakkan semburatnya. Waktunya kembali. Rombongan kami yang kali ini lebih lengkap, karena ada voorijder ditambah rombongan Forkompimda, kemudian meninggalkan lokasi.
Daun-daun pepohonan yang kami lewati tampak keemasan tertimpa sinar lembayung yang berangsur samar. Cakrawala yang semula masih terlihat dari balik pepohonan perlahan berubah menjadi hitam. Di kiri dan kanan jalan yang terlihat hanyalah kegelapan.
Kecuali sorot lampu mobil, tak ada lagi yang bisa dilihat dalam perjalanan. Bahkan, pepohonan besar yang pada siang hari tampak jelas pun malam itu nyaris tak terlihat sama sekali.
Suasana pada malam itu menjawab pertanyaan saya pada siang harinya. Ternyata, seperti ini kondisi Alas Purwo di sepenggal awal malam. Ini pun di atas jalan beraspal yang terkena sorot lampu. Bagaimana dengan kondisi di hutan yang lebih dalam dan tak pernah terjamah manusia? Pasti lebih gelap gulita.
Pada petang hari saat hendak kembali ke mobil yang terparkir 500 meter dari pantai, saya mendengar suara-suara teriakan satwa dari dalam hutan.
Beberapa hari setelahnya, saya sempat kembali ke Pantai Plengkung. Pada petang hari saat hendak kembali ke mobil yang terparkir 500 meter dari pantai, saya mendengar suara-suara teriakan satwa dari dalam hutan. Barangkali dari jenis primata, tetapi entah apa.
Sempat terpikir akan makhluk-makhluk gaib di tempat yang mistis ini. Yang pasti saya berpegang pada pesan seorang teman agar tidak mengambil apa pun dari kawasan hutan tersebut.
Syukurlah, setelah itu perhatian saya teralihkan oleh ponsel. Selama dalam perjalanan pulang, saya berusaha mengetik artikel di ponsel dan mengirimkan foto ke redaksi sambil berharap mendapat sinyal internet.
Maklum, saat itu waktu mendekati deadline. Jika menunggu sampai kota Banyuwangi baru mengetik, pengiriman berita akan terlalu malam karena perjalanan ke Banyuwangi butuh waktu sekitar dua jam meskipun proses mengetik akan lebih nyaman karena bisa menggunakan laptop.
Akhirnya, sambil menikmati guncangan minibus, saya mencoba berkonsentrasi sambil sesekali mendengarkan alunan musik tradisional berbahasa osing yang diputar sopir. Kekhawatiran akan Alas Purwo yang gelap gulita dan tetek bengeknya terlupakan sudah.
Mendekati kota, seorang pegawai Humas Pemkab tanpa diminta lalu bercerita soal satwa liar dan hal tak kasatmata di hutan yang baru saja kami tinggalkan. Sambil mendengarkan cerita itu, saya pun bergumam, ”Alhamdulillah, aman.”
Meskipun tidak bisa banyak mengeksplorasi hutan, pengalaman ini cukup memuaskan rasa penasaran untuk melihat langsung seperti apa Alas Purwo yang dianggap tempat kelahiran Pulau Jawa.