Suatu Sore Seusai Serangan Teror di New York
”Ada serangan teror barusan, semua jalan dan akses keluar New York ditutup”. Kendati ada serangan teror, warga New York tampak tak terlalu terpengaruh. Kami pun bisa ke tempat tujuan meski harus berjalan kaki 500 meter.
”Ada serangan teror barusan, jadi semua jalan dan akses keluar New York langsung ditutup,” kata Konsul Jenderal RI di New York, Abdul Kadir Jailani, setengah berbisik kepada Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini.
Saat itu keduanya bersama rombongan, termasuk wartawan, tengah menuju kantor Manajemen Darurat Kota New York (NYCEM), Selasa (31/10/2017). Kami harus berjalan sekitar 500 meter dari tempat parkir kendaraan menuju kantor NYECM karena jalan-jalan ditutup.
Beberapa waktu sebelumnya, seorang pria menabrakkan truk pikapnya ke jalur pejalan kaki dan jalur sepeda di Manhattan. Serangan yang terjadi pada pukul 15.05 waktu setempat itu menewaskan 8 orang dan mencederai 11 orang lainnya.
Kendati ada serangan teror, warga New York tampak tidak terlalu terpengaruh. Mereka tetap beraktivitas seperti biasa. Bahkan, parade perayaan Halloween tetap berlangsung meriah, terutama di sepanjang Times Square, jantung Manhattan, Kota New York.
Begitu melintas di dekat lokasi kejadian, saya berusaha memotret setiap sudut karena untuk lebih dekat lagi rasanya tidak mungkin. Semua jalan langsung dikunci dan dikawal ketat oleh polisi. ”Kalau sudah begini mau bergerak ke mana-mana sudah sulit. Hanya bisa dengan berjalan kaki,” kata Jailani.
Kunjungan rombongan ke markas NYCEM dalam rangka tukar pengalaman terkait pelayanan darurat. Kota Surabaya memiliki Command Center 112.
Selepas acara, sedianya rombongan kecil hendak menuju Washington DC sebelum esok paginya kembali ke Surabaya. Jarak New York-Washington DC sepanjang 226 kilometer dapat ditempuh lewat jalan darat sekitar 3 jam 30 menit.
”Wis gak sido nang Washington, lha kabeh dikunci ngene (Sudah tak jadi ke Washington, semua jalan sudah ditutup atau dikunci begini,” kata Risma menimpali omongan Jailani yang sama-sama arek Suroboyo.
Sebelumnya, rombongan juga sempat ke markas 911 seusai menghadiri acara utama di New York. Risma hadir di New York dalam rangka menghadiri undangan dari Global Forum on Human Settlements (GFHS), lembaga nirlaba yang bermitra dengan World Urban Campaign oleh UN Habitat.
Kota Surabaya meraih penghargaan Sustainable Cities and Human Settlements Awards untuk kategori Global Green City. Risma yang saat itu menjabat sebagai Presiden United Cities Local Goverment (UCLG) Asia Pasifik (Aspac) 2018-2020 diminta berbicara di depan forum GFHS ke-12 di markas Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB).
Baca juga : Hijau Surabaya Inspirasi Dunia
Ia membawakan tema ”Innovation on Effectively Planning and Design and Managing Urban Spatial Development” terkait upaya pemkot bersama warga untuk menghijaukan kota Surabaya yang saat itu berpenduduk 3 juta jiwa.
Ketika di markas PBB, Risma bertemu dan berbincang serius dengan Kapolri Jenderal (Pol) Tito Karnavian, yang ketika itu hendak menghadiri acara yang membahas terorisme.
Usai acara, rombongan bertolak ke markas 911. Hasil pemaparan dari pengelola 911, tugas mereka mencakup pelayanan kedaruratan kecelakaan, kebakaran, perkelahian, dan warga yang butuh segera dibawa ke rumah sakit. Di New York, mobilitas ambulans sangat tinggi. Raungan sirenenya bisa terdengar setiap tiga menit.
Sementara Command Center 112 Surabaya cakupan yang dikerjakannya cukup beragam. Informasi yang masuk ke layanan darurat 112 tak hanya seputar kecelakaan dan kebakaran, tetapi juga kerusuhan hingga hal yang unik-unik, seperti menangani laporan tentang ular yang masuk rumah atau kucing yang tidak bisa turun dari atap.
Ada pula laporan warga yang tidak bisa mengeluarkan cincin dari jarinya karena kesempitan. Tidak heran jika petugas 112 dituntut menguasai berbagai macam keterampilan, seperti berenang dan mengerti seluk beluk hewan.
Baca juga: Selembar Surat di Tengah Hutan
Nyaris batal
Tiga hari sebelumnya, rombongan dari Surabaya tiba di Bandara Internasional John F Kennedy, New York, tepatnya pada Sabtu (28/10/2017), pukul 15.00 waktu setempat.
Rombongan terdiri dari Wali Kota Risma, Kepala Dinas Sosial Kota Surabaya Supomo, Kapolres Pelabuhan Tanjung Perak AKB Ronny Suseno Budhi Janto, Kepala Kejaksaan Negeri Wilayah Tanjung Perak Rachmat Supriady Suryadi, serta dosen statistik Institut Teknologi Sepuluh Nopember Surabaya Kresnayana Yahya, dan dua wartawan.
Saat pemeriksaan paspor di jalur imigrasi, petugas tiba-tiba bertanya, ”Lho kamu bukan pejabat, kok bisa ikut rombongan ini? Kamu wartawan. Siapa pimpinan rombongannya?” tanya petugas tersebut.
Melihat kami tertahan, Risma langsung menghampiri dan memberi penjelasan kepada petugas tersebut. ”Iya, dia memang wartawan. Dia datang ke sini bersama saya untuk meliput kegiatan saya atas undangan dari PBB. Ini surat undangannya,” kata Wali Kota Surabaya periode 2010-2021 itu sambil menunjukkan isi map yang dipegangnya.
Terus terang nyali saya sempat ciut karena khawatir tidak lolos masuk ke New York. Dari cerita beberapa rekan wartawan yang masuk lewat New York, ada yang pernah lama diinterogasi oleh petugas. Bahkan, ada yang tertahan lama dan akhirnya tak bisa keluar dari bandara untuk melakukan tugas jurnalistik di Amerika Serikat.
Baca juga: Pengalaman di Rusia (2): Antara Hidup dan Mati di Elbrus
Menurut mereka, pertanyaan petugas imigrasi sebenarnya mudah, tapi cara bertanyanya yang bikin langsung keder. Akhirnya grogi dan salah ucap.
Begitu lolos dari tempat pemeriksaan imigrasi, hati lega karena akhirnya bisa menginjakkan kaki di bumi Amerika Serikat yang saat itu dipimpin Presiden Trump.
Rombongan kami ternyata sudah ditunggu oleh penjemput dari KJRI di New York di tempat pengambilan bagasi. Mereka sempat gusar karena menunggu lama. Tanpa buang waktu lagi, rombongan langsung menuju Philadelphia di negara bagian Pennsylvania.
Di sana, Risma mengunjungi ”Kampung Surabaya” sekaligus bertemu diaspora asal Surabaya yang tinggal berkelompok di Pennsylvania. Ia juga mencoba mengendarai kendaraan pembersih jalan, hasil sumbangan orang Indonesia untuk kota yang mereka tinggali.
Menurut Presiden Indonesian Diaspora Network Greater Philadelphia Beny Krisbianto, jumlah orang Indonesia di Greater Philadelphia sekitar 8.000 orang dan mayoritas berasal dari Surabaya.
Salah satunya Syarif Syaifullah (52) yang hampir 20 tahun tinggal di kota itu. Ia mengembangkan pertanian perkotaan atau urban farming. Syarif yang dijuluki Pak Tani menanam sayur mayur, buah-buahan, dan aneka bunga di lahan sempit di rumahnya.
Setelah menikmati aneka makanan khas Indonesia termasuk rawon, Risma bersama rombongan juga mendatangi beberapa tempat lainnya, seperti Gereja Katolik St Thomas Aquinas.
Baca juga: Pengalaman di Rusia (1): Menuju Mahkota Eropa
Ingat UMKM
Selama tiga hari di New York, Risma tak pernah bisa diam. Kegiatannya padat dari pagi hingga malam. Ia berkunjung dari satu lembaga ke lembaga lainnya. Di sela padatnya acara, ia menyempatkan berkunjung ke ruang publik, seperti taman dan museum, dengan harapan ada hal baik yang bisa diadopsi untuk Surabaya.
Salah satunya Central Park, kawasan seluas 3,41 kilometer persegi. Taman yang banyak dijadikan tempat pengambilan gambar untuk film ini, kami kitari dengan berjalan kaki.
Malam hari kami mengunjungi National September 11 Memorial and Museum, situs peringatan tragedi 11 September 2001 yang dibangun di bekas menara kembar World Trade Center (WTC).
Dalam setiap lawatannya, Risma selalu membeli berbagai pernak-pernik khas negara atau kota yang disinggahinya. Produk itu nantinya akan diberikan kepada pelaku UMKM di Surabaya untuk dipelajari dan ditiru dengan modifikasi.
”Mengajari pelaku UMKM agar bisa segera mandiri dengan memberi contoh barang yang akan digarap. Bahan baku semua ada tinggal kreativitasnya yang perlu terus diasah, bukan melalui omongan, tapi contoh barang,” katanya.
Sebaliknya, dalam setiap kunjungannya ke mana saja, Risma juga selalu membawa cinderamata karya UMKM Surabaya, baik itu produk kerajinan seperti batik maupun makanan.