Yang Saya Petik dari Papua
Para atlet peserta Peparnas yang gigih berlomba dan mencetak rekor dalam kondisi serba terbatas juga memotivasi saya untuk berkarya lebih maksimal meskipun terkadang harus menemui kondisi kurang ideal.
Profesi jurnalis selalu berhubungan dengan pola kerja yang dinamis. Pengalaman menunjukkan, meskipun sudah bertahun-tahun liputan, tidak menjamin setiap penugasan akan mulus dijalani seperti sebelum-sebelumnya. Selalu ada tantangan baru menunggu ditaklukkan agar semua tugas bisa diselesaikan dengan baik.
Hal itu saya alami di pengujung Oktober 2021 ketika tiba-tiba diminta meliput Pekan Paralimpiade Nasional (Peparnas) di Jayapura, Papua. Penugasan tersebut terasa mendadak karena kurang dari 10 hari sebelum acara pembukaan.
Editor Desk Foto, Wisnu Widiantoro, yang menelepon pada Minggu (24/10/2021) malam, menawarkan tugas tersebut sekaligus meminta saya mempertimbangkan masak-masak sebelum mengambil keputusan. Terutama terkait persiapan yang harus saya lakukan. Meski begitu, saya diminta secepat mungkin memberi kabar karena waktu pelaksanaan acara yang kian dekat.
Saya diberi waktu semalaman untuk berpikir sebelum keesokan harinya menyampaikan keputusan kepada Mas Wisnu. ”Serius?” balasnya singkat ketika lewat aplikasi percakapan saya katakan siap berangkat.
Pertanyaan Mas Wisnu muncul untuk menantang saya apakah benar-benar yakin dengan keputusan tersebut. Karena begitu menyanggupinya, saya tidak bisa balik badan di tengah jalan mengingat kegiatan yang sebentar lagi dihelat itu penting untuk diliput.
Wisnu juga menanyakan, apakah liputan Peparnas yang berlangsung 5-13 November 2021 itu tidak akan mengganggu rencana saya mendampingi istri yang harus menjalani pemeriksaan kesehatan ulang pascaoperasi yang dijalani sebulan sebelumnya.
Setelah sama-sama yakin, akhirnya ”palu” diketok, saya akan berangkat meliput Peparnas. Gelombang kesibukan pun dimulai untuk mengurus berbagai kebutuhan berangkat ke Jayapura.
Baca juga : Kabut Pagi di Punthuk Setumbu
Semuanya harus diurus sendiri, mulai dari membuat permohonan pembuatan kartu tanda peliputan resmi, mencari penerbangan dengan jadwal yang pas, mencari penyedia jasa persewaan mobil, hingga berburu tempat penginapan.
Meliput ajang olahraga memiliki tingkat kesulitan tersendiri dibandingkan liputan lain. Mandat kali ini mengharuskan saya melakukan persiapan ekstra karena selama ini liputan olahraga tergolong jarang saya lakukan dalam agenda sehari-hari.
Ajang olahraga berskala besar yang terakhir saya liput adalah turnamen bulu tangkis Piala Sudirman yang berlangsung di Kuala Lumpur, Malaysia, tahun 2013.
Selama bertahun-tahun bertugas di Yogyakarta hingga saat ini, ajang olahraga yang paling sering saya liput adalah pertandingan sepak bola. Itu pun dalam setahun bisa dihitung dengan jari.
Peparnas Papua yang akan saya liput diikuti 1.985 atlet difabel dari 33 provinsi. Sebanyak 12 cabang olahraga dipertandingkan di 12 tempat yang tersebar di Kota Jayapura dan Kabupaten Jayapura.
Baca juga : Emosi Publik Bulu Tangkis yang Tak Lagi Sehangat Dulu
Untuk mendapat gambaran apa yang akan saya temui selama liputan Peparnas, saya berkomunikasi secara intensif dengan rekan fotografer senior di kantor, Wawan H Prabowo dan Rony Ariyanto Nugroho. Beberapa minggu sebelumnya, keduanya bertugas meliput Pekan Olahraga Nasional (PON) Papua yang diselenggarakan di Jayapura dan Timika.
Saya juga mendapat rekomendasi tempat penginapan yang bisa dipesan di tengah melejitnya tarif kamar hotel di Jayapura menjelang Peparnas.
Yang paling penting, saya jadi bisa memperkirakan peralatan fotografi apa saja yang perlu dibawa agar foto yang dihasilkan layak untuk dimuat, baik di harian Kompas maupun platform digital Kompas.id.
Pemilihan peralatan tersebut sungguh krusial karena memotret ajang olahraga haruslah menggunakan kamera dan lensa yang mampu menangkap momen dengan cepat.
Daftar panjang alat yang harus dibawa pun disusun. Para editor Desk Foto di Jakarta membantu menyiapkannya. Sebanyak 2 kamera, 5 lensa, 1 konverter, 4 baterai, 6 kartu memori, 1 monopod, dan 1 laptop harus masuk dalam satu tas.
Baca juga : Begini Rasanya Jadi ”Debt Collector”
Jika ditimbang, beratnya mencapai lebih dari 15 kilogram. Liputan kali ini memecahkan rekor pribadi dalam hal jumlah dan berat alat yang dibawa.
Liputan Peparnas ini juga akan selalu saya ingat karena menjadi penanda peralihan ke peralatan fotografi Canon. Sejak awal belajar fotografi hingga belasan tahun bertugas sebagai pewarta foto, peralatan merek Nikon-lah yang saya akrabi sehari-hari.
Begitu berpengaruhnya kedua nama itu di ranah kamera DSLR, di kalangan fotografer, perpindahan antarkedua merek itu sampai-sampai disebut sebagai ”pindah agama”.
Keduanya memiliki letak tombol yang berbeda, arah gerakan untuk memperpanjang atau memperpendek jarak fokus lensa yang saling berlawanan, termasuk arah ulir saat memasang lensa pada badan kamera pun berbeda.
Saat memakai Nikon, bisa dikatakan saya mengoperasikannya dengan mata tertutup, termasuk saat mengganti lensa. Saking sudah sangat hafalnya karena pemakaian bertahun-tahun.
Baca juga : PON Papua Mengajarkanku Keberagaman
Di ajang Peparnas yang menuntut harus bekerja cepat dengan hasil prima, saya cukup kerepotan melakukan berbagai penyesuaian agar terbiasa menggunakan kamera Canon. Padahal, pertandingan demi pertandingan telah dimulai dan menanti untuk diliput.
Selain berjibaku dengan peralatan berat yang butuh dipelajari lebih lanjut, hari pertama pertandingan masih diwarnai dengan pola kerja yang serabutan.
Data detail dari setiap atlet yang bertanding, mulai dari nama, nomor yang dilombakan, klasifikasi tingkat disabilitas, hingga waktu atau jarak capaian setiap atlet yang difoto, harus diperoleh secara akurat.
Sayangnya, informasi yang tersedia di lapangan sangat minim sehingga setiap kali selesai memotret, saya harus mendatangi bagian pencatatan untuk mendapatkan data hasil pertandingan.
Biasanya data itu saya foto dengan kamera atau telepon genggam. Tanpa data tersebut, meski foto yang dihasilkan sangat bagus, bukan tidak mungkin akan berakhir di ”tempat sampah” karena membuat foto tidak layak tayang.
Selain hal teknis, cuaca ekstrapanas dan masker yang harus selalu dikenakan menjadi tantangan tersendiri. Akibatnya, keringat pun sering kali bercucuran. Kondisi ini diperparah dengan ketersediaan air minum yang minim sehingga membuat risiko dehidrasi semakin besar.
Banyak hal baru yang saya pelajari selama liputan Peparnas. Pada hari ketiga pertandingan, wartawan Kompas, Kelvin Hianusa, tiba dari Jakarta. Kehadirannya membantu saya untuk memperoleh data pertandingan, menulis istilah yang tepat, serta atlet mana saja yang harus diincar agar pas dengan tulisan yang ia buat.
Selama liputan Peparnas, saya juga berlatih bekerja secara efektif agar semua nomor olahraga yang diperlombakan dan dipertandingkan dapat dipotret meski lokasi pertandingan berjauhan.
Para atlet peserta Peparnas yang gigih berlomba dan mencetak rekor dalam kondisi serba terbatas juga memotivasi saya untuk berkarya lebih maksimal meskipun terkadang harus menemui kondisi kurang ideal.