Disangka Korban Prostitusi yang Kabur
Rupanya sejak tadi bapak itu mengira saya ”anak baru” di lokalisasi Tretes yang kabur, karena melihat kondisi saya yang kucel, rambut awut-awutan, dan kaki hanya bersandal jepit dengan luka di beberapa tempat.
Sekalipun memang lebih banyak bekerja di luar ruang, seorang wartawan sebaiknya menjaga penampilan tetap bersih, rapi, dan tidak kucel agar tidak memunculkan tanda tanya orang sekitar.
Gara-gara tidak memperhatikan penampilan inilah, orang pernah mengira saya sebagai penghuni baru lokalisasi Tretes yang melarikan diri. Peristiwa itu terjadi pada Mei 1985.
Kejadiannya sampai mengundang perhatian penumpang bus umum yang saya tumpangi. Seorang dokter rumah sakit di Porong, Sidoarjo, Jawa Timur, yang kebetulan sedang menumpang bus itu, bahkan sampai memaksa untuk memeriksa kondisi saya. Semua itu berawal dari liputan yang tak direncanakan.
Saat itu, saya tengah bertugas sementara di Surabaya. Seusai masa pendidikan menjadi wartawan Kompas, saya bertugas untuk wilayah Madiun dan sekitarnya. Namun, cukup sering juga saya dan rekan-rekan dipanggil ke Kantor Kompas Biro Surabaya untuk membantu liputan di kota itu.
Suatu kali, saat mendapat jatah istirahat akhir pekan, saya memanfaatkannya untuk mengunjungi teman satu angkatan masuk Kompas. Namanya Nusya Kuswantin yang bertugas untuk wilayah Malang dan sekitarnya.
Kami lantas membuat janji bertemu di rumah tante Nusya di Tretes, Prigen, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur. Kebetulan saya ingin sekalian melihat suasana Tretes, desa berhawa sejuk di kaki Gunung Welirang. Namun, di masa itu, Tretes juga dikenal sebagai tempat lokalisasi di Jawa Timur, selain lokalisasi Dolly di Surabaya.
Begitu bertemu, segera kami mengganti sepatu yang semula dipakai dengan sandal jepit agar nyaman berjalan-jalan. Nusya kemudian mengajak saya melihat-lihat situasi Tretes yang asri. Sambil mengobrol, sampailah kami di kawasan hutan.
Sore itu, kami bertemu sekelompok pemuda dari Surabaya yang akan mendaki Gunung Welirang. Sambil mengobrol dengan para pemuda itu, kami berjalan naik ke kawasan hutan yang lebih tinggi.
Baca juga : Berburu Harimau Lepas yang Menerkam Penjaga
Dalam perjalanan, kami berpapasan dengan para lelaki yang memikul keranjang berisi bongkahan batu belerang di dua bahunya. Mereka berjalan beriringan di jalan setapak dalam hutan.
Penasaran dengan apa yang mereka lakukan, saya dan Nusya mengajak mereka mengobrol. Para petambang itu kemudian menjelaskan, mereka dalam perjalanan turun dari atas gunung untuk menjual batu belerang ke pengepul di Tretes.
Percakapan singkat itu memunculkan rasa penasaran untuk melihat kawasan tempat mereka menambang batu belerang. ”Paling tinggal dua setengah jam jalan kaki,” kata salah satu penambang.
Mendengar itu membuat saya ragu untuk meneruskan niat melihat tambang belerang. Selain hari sudah sore, kami tak membawa bekal dan perlengkapan naik gunung yang memadai. Hanya memakai jaket, celana panjang, sandal jepit, dan membawa tas kecil.
Namun Nusya ngotot. ”Itu menarik untuk ditulis. Kita bisa menulis cerita tentang aktivitas mereka. Lagian mumpung ada teman-teman itu. Ada kawan untuk ke sana,” kata Nusya menunjuk sekelompok pendaki.
Mereka menyandang tas ransel berisi perlengkapan mendaki, membawa tongkat, dan mengenakan sepatu gunung yang sesuai. Saya mengalah. Kami kemudian meneruskan perjalanan ke tempat penambangan batu belerang.
Setelah berjalan sekitar 2,5 jam, sampailah kami di tujuan. Hawa dingin menusuk tulang. Melihat kami kendinginan, para petambang meminta kami masuk ke gubug kecilnya yang hangat.
Baca juga : Belajar Berbagi dan Menjadi Tangguh di Tengah Bencana
Mereka juga menjamu saya dan Nusya makan malam dengan nasi tim dan lauk ikan asin yang dimasak di dalam gubug. Tak ketinggalan, mereka juga menyajikan kopi panas. Rasa lelah dan kenyang membuat kami berdua langsung terlelap di satu dari 20-an gubug petambang pasir yang ada di situ.
Esok harinya (hari Minggu) setelah sarapan, kami mewawancarai para petambang dan melihat-lihat kondisi tempat mereka mencari batu belerang. Nusya juga mengambil foto kegiatan para petambang.
Setelah merasa cukup mendapat bahan tulisan, saya dan Nusya memutuskan turun bersama beberapa penambang yang membawa bongkahan batu belerang menuju Tretes.
Meskipun jalanan menurun yang tentu saja tidak lagi seberat saat berangkat, tetap saja kami tak bisa berjalan secepat para petambang. Mereka sering kali harus ikut berhenti saat kami tak kuat lagi berjalan.
Baca juga : Acungan Senjata dan "Rindu Dendam" di Myanmar
Perjalanan kami begitu lambat sehingga sore hari baru sampai di Tretes. Padahal saya harus segera kembali ke Surabaya agar besok pagi siap liputan. Begitu juga Nusya yang harus segera pulang ke Malang.
Sampai di rumah kerabat Nusya, kami hanya sempat sikat gigi, cuci muka, kaki, dan tangan. Ketika kaki terkena air, baru saya sadar, rasanya perih sekali. Ternyata kaki saya lecet di beberapa tempat dan jari-jari pun terluka. Kondisi itu membuat saya tak bisa memakai sepatu.
Setelah menggulung celana agar bagian kaki yang lecet tak terasa sakit terkena gesekan kain, saya pamit kepada pemilik rumah. Saya bergegas ke Terminal Pandaan untuk mencari bus ke Surabaya.
Seperti biasa, tiap hari Minggu sore, semua bus dari Malang menuju Surabaya penuh. Demi mengejar waktu, saya memaksakan diri tetap naik salah satu bus. Benar saja, tak ada lagi tempat duduk kosong.
Ketika masuk bus, pak sopir dan penumpang bus di bagian depan memandangi saya. Namun, saya tak peduli dan langsung berdiri di dekat beberapa penumpang lainnya.
Bus berjalan kencang. Tubuh kurus saya terayun-ayun dibuatnya. Saat itu mata saya secara tak sengaja menoleh ke kanan dan ke kiri, dari bagian depan hingga tengah bus. Agak kaget karena mata para penumpang ternyata tengah mengamati saya.
Ketika masuk bus, pak sopir dan penumpang bus di bagian depan memandangi saya.
Saya menghibur diri, ah mungkin saya hanya ke-GR-an (gede rasa). Masak semua orang itu memandangi saya. Namun saya merasa penasaran. Sesekali saya melirik penumpang-penumpang yang duduk di samping tempat saya berdiri.
Eh, ternyata mereka kerap menatap saya. Saya mulai membatin, jangan-jangan ada yang salah di diri saya? Namun semakin saya pikir, semakin saya tak menemukan jawaban.
Penumpang bus terus bertambah. Tubuh saya makin tergeser ke bagian dalam bus. Tiba-tiba seorang lelaki yang terus memandangi saya sejak masuk bus, menggeser badannya mendekati saya. Kami sama-sama berdiri.
Dia kemudian bertanya,”Adik dari mana?”
”Dari Tretes, Pak,” jawab saya.
Bapak itu tampak kaget. Begitu juga orang di samping kanan-kiri saya.
”Adik tidak apa-apa?” tanya bapak itu lagi.
”Tidak apa-apa, Pak,” kata saya.
Dia masih bertanya lagi, ”Sungguh tidak apa-apa? Tadi bilangnya dari Tretes.”
”Iya Pak, tidak apa-apa. Betul Pak. Saya dari Tretes.”
Percakapan terhenti karena bus berhenti untuk menurunkan penumpang. Jumlah penumpang yang berkurang membuat saya bisa berdiri lebih leluasa. Tapi si bapak malah jadi bisa melihat ke arah kaki saya yang hanya bersandal jepit dengan setengah bagian celana panjang tergulung yang memperlihatkan luka terbuka di beberapa tempat.
Baca juga : Bertemu Para Malaikat Penolong di Lokasi Gempa Mamuju
Dari kaki, ia lalu melihat ke wajah saya. Apa yang dia lakukan membuat saya risi. Namun, saya menahan diri agar tidak membuat keributan. Penumpang terus berkurang, sampai kemudian dua bangku di samping kiri saya kosong.
Bapak itu meminta saya duduk di kursi tersebut lalu dia duduk di sebelah saya. Tak hanya itu, dia kembali memandangi kaki dan wajah saya. Aduh ingin rasanya saya berdiri lagi agar tak perlu duduk di samping lelaki itu, tapi kaki saya lelah sekali. Dalam perjalanan, saya diam dan pura-pura tidur supaya bapak tersebut tak mengajak saya bicara.
Yang saya khawatirkan terjadi. Tak lama kemudian dia bertanya, ”Adik sungguh tak apa? Begini Dik, saya dokter di rumah sakit di Porong. Ini saya akan masuk untuk jaga malam. Kalau mau, biar Adik saya periksa di rumah sakit. Jangan takut, Dik. Saya hanya mau bantu,” katanya panjang lebar.
Kata-katanya membuat saya kaget. Penumpang di sekitar saya menengok dan kembali memandangi saya. Kali ini saya mulai marah kepada bapak itu, tetapi masih menahan diri dan tetap diam. Sementara bapak itu melempar pandang ke arah luar jendela.
Ia lalu berdiri sambil mengajak saya ikut turun dengannya. ”Sebentar lagi kita sampai RS Porong. Adik, jangan takut. Saya mau bantu Adik. Mari ikut saya turun, nanti saya periksa. Kalau mau membuat laporan, saya akan bantu antar,” ujar bapak itu.
Baca juga : Gagal Bertemu Messi di Camp Nou
Kata-katanya membuat saya bingung. Kok, melapor? Lapor ke siapa? Melihat saya bergeming, dia membujuk lagi.
”Saya tahu mungkin Adik malu dan takut, tapi percayalah saya akan bantu Adik. Tidak usah takut, Dik. Saya jamin Adik aman bersama saya,” kata bapak dokter tersebut.
Mendengar kata-kata itu saya justru kaget, mengapa dia bicara soal malu dan takut. ”Tidak usah, Pak. Terima kasih,” jawab saya.
Dia terus membujuk saya, ”Sudah dekat Dik. Mari kita turun,” katanya dengan nada agak memaksa.
Kali ini saya marah karena dia tak mau diam setelah mendengar penolakan saya ke sekian kalinya. ”Maaf Pak. Saya tidak mengerti maksud Bapak. Saya wartawan Kompas, Pak,” ujar saya dengan nada tegas sambil berdiri.
Gantian si bapak yang kaget. ”Oh maaf. Jadi Adik bukan lari dari lokalisasi Tretes karena dipaksa melayani tamu?” tanyanya pelan. Hah, gantian saya yang kaget dan malu. Tak menyangka pak dokter punya pikiran seperti itu terhadap saya.
Astaga, baru saya sadar. Rupanya sejak tadi bapak itu mengira saya gadis penghuni baru lokalisasi Tretes yang melarikan diri, karena melihat kondisi saya yang kucel, rambut awut-awutan, dan kaki hanya bersandal jepit dengan luka di beberapa tempat. Saya baru melihat sendiri kondisi ini setelah becermin sesampainya di terminal bus Surabaya.
Jadi Adik bukan lari dari lokalisasi Tretes karena dipaksa melayani tamu?
Saya kemudian menceriterakan kisah saya liputan dan mendaki Gunung Welirang tanpa persiapan sehingga kaki lecet dan luka. Setelahnya, karena harus segera kembali ke Surabaya, saya tak sempat lagi menyisir rambut, ganti baju, dan memakai bedak. Mendengar penjelasan saya kepada pak dokter, orang yang duduk dan berdiri di dekat kami tertawa.
”Ealah, Mbak. Tak kiro sampeyan barang anyaran teko Tretes sing mlayu (Saya kira kamu ”barang baru” dari Tretes yang melarikan diri),” celetuk salah satu dari mereka.