Gagal Bertemu Messi di Camp Nou
Tiba-tiba, petugas menarik lengan saya dan berujar, ”Mau foto bareng Messi? Cukup bayar 5 euro.” Hati saya melonjak dan mengikuti tarikan tangannya. Dia lantas menunjukkan area pemotretan. ”Mana Messi?” tanya saya.
Pada akhir Maret 2014, Kompas diundang sebuah agen otomotif di Jakarta untuk test drive alias uji kendara mobil Jaguar di Barcelona, Spanyol. Kebetulan, saya yang ketiban sampur untuk berangkat.
Ini sesuatu yang menggembirakan sekaligus mendebarkan. Meskipun sudah beberapa kali keluar negeri, baru kali ini akan naik mobil Jaguar di negeri orang.
Uji kendara digelar di Sirkuit Motorland Aragon. Untuk sampai ke sana, dari Barcelona kami terbang 45 menit dan mendarat di Lleida, bandara kecil yang berjarak 162 kilometer dari Aragon. Angin kencang dan udara dingin menyambut begitu kami keluar dari mobil Jaguar F-Type Coupe yang kami tumpangi dari Bandara Lleida.
Begitu membuka pintu mobil, wusss, badan terhuyung diterpa angin yang kecepatannya mencapai 15 knot.
Selama berkendara, embusan angin kencang dan udara dingin sama sekali tak terasa karena kabin mobil kedap udara dan memiliki sistem aerodinamik yang mantap sehingga tetap stabil meski dipacu dengan kecepatan hingga 200 km per jam.
Begitu membuka pintu mobil, wusss, badan terhuyung diterpa angin yang kecepatannya mencapai 15 knot. Belum lagi suhu yang jatuh di angka 12 derajat celsius, membuat tubuh menggigil. Meskipun saya sudah memakai jaket, sarung tangan, dan syal, udara dingin tetap menyusup ke saraf-saraf kulit. Mendung memayungi seantero Aragon dan sesekali menjatuhkan gerimis.
”Selamat datang di Motorland Aragon dan menikmati udara yang dingin ini. Cuaca kurang bagus, tetapi kita akan menghangatkan diri dengan memacu adrenalin di sirkuit,” kata Senior Manager Jaguar Global Communications Gordon Snoddy di depan 24 jurnalis dari India, Singapura, Malaysia, Thailand, Philipina, dan Indonesia.
Dia lantas menjelaskan, setiap jurnalis mendapat kesempatan mengemudikan Jaguar F-Type Coupe, ditemani seorang instruktur untuk memahami setiap detail sirkuit.
Sirkuit Motorland Aragon dibangun di atas lahan seluas 1.320 km persegi. Sirkuit ini mendapat sertifikat International Road Racing Teams Association (IRTA) pada tahun 2010. Artinya, seluruh fasilitas dan teknologinya memenuhi standar sirkuit internasional.
Semua itu, antara lain, berkat sentuhan Herman Tilke, pria Jerman yang top dalam merancang trek balap. Pembalap F1 Pedro de la Rosa juga terlibat sebagai konsultan teknis dan olahraga Sirkuit Motorland Aragon.
Siap ngebut
Dengan panjang 5,3 km dan lebar lintasan 12-15 meter, sirkuit utama di Aragon memiliki 17 tikungan. Membayangkan tikungan sebanyak itu, saya bimbang. Antara ingin memacu mobil yang harganya Rp 1,4 miliar itu atau menonton saja di dekat mesin penghangat. Apalagi saat itu hujan.
Soal jalanan menikung, sebenarnya saya cukup terbiasa saat harus berkendara dari Medan ke Gunung Sinabung, Kabupaten Karo. Bukan hanya berliku, jalanan pun menanjak.
Demikian pula saat harus menjelajahi jalanan dari Tele ke Samosir di tepi Danau Toba, berliku dan curam, sehingga dengan mobil manual hanya mampu menghasilkan 86 tenaga kuda.
Dalam kondisi seperti ini, saya hanya berani menggeber kecepatan hingga 40 km per jam. Paling banter kalau sedang di jalanan lurus maksimal kecepatan 100 km per jam.
Nah, ini, saya harus mengendarai mobil berkekuatan 550 tenaga kuda di arena balap dengan kecepatan tinggi. Bagaimana enggak keder? Namun, saya memutuskan menjawab tantangan. Kapan lagi, ya, kan? Saya pun segera memakai helm, buka pintu, duduk, dan pasang sabuk pengaman.
Jok yang empuk dan nyaman membuat saya makin yakin meski agak tegang. Lalu, Paul, instruktur yang menemani saya, menekan tombol start mesin. ”Ruum...ruuum...,” mobil Jaguar ini menyalak galak. ”Sudah siap ngebut?” kata Paul di balik setir, seolah membaca ketegangan di wajah saya.
Sepanjang sirkuit, Paul kemudian menjelaskan tentang rambu-rambu sirkuit. Kapan belok, kapan injak rem, kapan menepi ke kanan atau ke kiri, dan kapan menyalip mobil lain. Kebetulan, pada saat bersamaan, tiga jurnalis mengebut dengan tiga mobil berbeda.
Baca juga : Sakit Covid-19, Sedikit tetapi Nyelekit
Setelah selesai berkeliling sirkuit, giliran saya untuk pegang setir. Tiba-tiba, saya merasa menjadi Pedro de la Rosa. ”Jangan takut ngebut. Injak gas dalam-dalam jika memungkinkan,” kata Paul menyuntik semangat saya.
Di lap pertama, saya lari dengan kecepatan tak lebih dari 100 km per jam sembari beradaptasi dengan sirkuit. Paul meminta agar saya injak gas lebih dalam. Saya terprovokasi dan memacu mobil hingga jarum spedometer menyentuh angka 220 km per jam. Pada lap ketiga, saya masih coba ngebut. Mendekati salah satu tikungan, Paul berteriak. ”Injak rem !!! Lebih keras-lebih keras...!!!
Terlambat. Mobil telanjur keluar lintasan dan tidak memungkinkan untuk berbelok karena terlalu kencang.
”Tidak apa-apa. Sudah bagus kontrolnya. Kita kembali ke lintasan dan ngebut lagi,” kata Paul memuji.
Saya tidak tahu itu pujian tulus atau sekadar untuk menjaga semangat saya. Saya sempat gugup karena khawatir ada apa-apa dengan mobilnya. Ternyata kondisi mobil aman. Setelah itu, saya makin menikmati kebut-kebutan. Di lap terakhir, saya mengemudikan mobil dengan lancar dan kencang.
Baca juga : Foto Pemakaman Jenazah Pasien Covid-19 Berbuah Piala Adinegoro
Lepas dari sirkuit utama, kami digiring ke sirkuit gokar yang dimanfaatkan sebagai handling sirkuit. Kali ini, saya ditemani Adriano sebagai instruktur.
Kata dia, sirkuit ini lebih menantang karena mempunyai 26 tikungan dan konturnya naik turun. Belum cukup, sebagian sirkuit bahkan diguyur air dari keran hingga becek. Kali ini, saya lebih menikmatinya, mungkin karena pengalaman luar biasa di sirkuit pertama tadi.
Setelah hampir tiga jam kebat-kebit kebut-kebutan di dua sirkuit, kami kembali ke hotel untuk beristirahat.
Mengendurkan urat syaraf
Di hari kedua, kami mendapat kesempatan menikmati pemandangan Lleida, wilayah seluas 12.150 km persegi dengan jumlah penduduk hanya 439.253 jiwa. Kami melewati desa-desa kecil, seperti Balleguarda, La Granade, dan Mora de Egre. Hari itu, kami menempuh jarak 260 km.
Di sepanjang jalan, mata kami dimanjakan oleh perkebunan zaitun dan anggur. Mayoritas penduduk Provinsi Lleida di wilayah otonomi Catalunya ini bekerja sebagai petani zaitun dan anggur. Produksi anggur dari daerah ini sangat terkenal.
Baca juga : Bahagia Bersama Ikan-ikan Lokal di Waduk Jatiluhur
Akan tetapi, jarang sekali kami menjumpai warga setempat. Desa-desa kecil di sana jadi terkesan mati. Barangkali karena hujan dan mendung sehingga warga malas keluar rumah. Hanya sesekali kami menjumpai tiga atau empat orang duduk di depan rumah atau belanja di toko kelontong.
Cuaca yang kurang bagus membuat kami tak dapat menikmati pemandangan dengan leluasa. Kami sempat rehat di kafe Ferrer Bobet. Kata salah satu pramusajinya, jika cuaca cerah, pemandangan dari titik itu sangat indah. Ah, kali ini saya kurang beruntung.
Belanja kenangan
Saya punya prinsip jika berada di negeri orang, sebisa mungkin harus ”belanja kenangan” sebanyak-banyaknya. Belanja kenangan berarti keluyuran ke tempat-tempat tertentu lalu menjadikannya kenangan indah dalam hidup. Meskipun bisa jadi tidak berakhir indah, tetap saja layak dikenang.
Lagi pula, saya bertugas di Desk Non Berita yang mengangkat tulisan-tulisan gaya hidup. Hasil jalan-jalan atau makan-makan saya pun bisa diolah sebagai tulisan.
Setelah menghitung rangkaian kegiatan sejak kedatangan sampai kepulangan, saya menemukan ada jeda waktu lumayan, sekitar 7 jam. Saya bersama seorang teman dari Indonesia lalu merancang rencana mengunjungi Camp Nou, stadion kebanggaan Barcelona. Mendengar nama stadion itu, segera saja terlintas wajah Lionel Messi. Tahu, kan, siapa dia?
Baca juga : Menyelamatkan WNI Korban Perdagangan Manusia di Malaysia
Pagi-pagi, gerimis yang membuat udara semakin dingin, tak menyurutkan niat kami berangkat ke Camp Nou, markas klub sepak bola sejuta prestasi, Barcelona. Lionel Messi bermain di sana.
Setelah mandi dan sarapan, saya bersama seorang rekan menuju stasiun kereta terdekat. Dengan tiket setara Rp 42.000, kami hanya butuh 30 menit untuk tiba di Camp Nou.
Hujan masih mengguyur jalanan dan udara begitu dingin, tetapi ada rasa hangat menjalar. Perasaan ekstase itu seketika muncul saat melihat bangunan bundar berwarna coklat bata: Stadion Camp Nou!
Langkah saya makin bergegas menuju pintu utama dan mencari loket penjualan tiket agar dapat berkeliling stadion. Berdasarkan pencarian di internet yang diperkuat keterangan petugas hotel tempat saya menginap, tarif masuk stadion sebesar 23 euro atau saat itu sekitar Rp 391.000.
Rupanya, kami datang terlalu pagi. Loket baru buka pukul 10.00 waktu setempat. Kami tiba 45 menit lebih awal. Ternyata tidak hanya kami. Ada sekitar 35 pengunjung lain yang bahkan datang lebih dini.
Baca juga : Isolasi Mandiri Saat Hamil Empat Bulan
Salah satunya Juliana, perempuan Brasil yang sudah enam bulan tinggal di Barcelona dalam rangka studi. ”Saya pencinta bola, terutama sepak bola Brasil. Namun, pesona Barcelona begitu kuat sehingga saya penasaran untuk datang kemari,” ungkap Juliana.
Kami lantas melanjutkan perbincangan tentang prestasi dan para pemain Barca sambil menunggu loket dibuka. Begitu di depan loket, kami menyodorkan uang untuk membeli dua tiket.
”Hari ini, pengunjung tidak dapat menjelajah seluruh isi stadion seperti biasanya karena besok Barcelona akan bertanding dengan Atletico Madrid. Jadi, harga tiket turun tinggal 17 euro,” kata Jordi R, petugas tiket. Tak masalah bagi kami. Sisa uang tiket kami pakai untuk membeli buku panduan wisata stadion seharga 5 euro.
Stadion Camp Nou yang dibuka pada 24 September 1957 ini merupakan stadion terbesar di Eropa karena memiliki kapasitas tempat duduk hingga 100.000 orang. Jumlah pengunjung hariannya saja bisa mencapai 10.000 orang per hari. Mereka datang untuk melihat-lihat stadion.
Stadion kebanggaan Catalan ini dilengkapi museum yang bercerita tentang sejarah dan prestasi Barca selama lebih dari satu abad berkiprah dalam persepakbolaan. Begitu melewati pintu masuk, saya terperangah dengan deretan trofi yang dipajang dalam etalase sepanjang 50 meter di Zona A stadion.
Baca juga : De Javu 14 Tahun Jatuhnya Adam Air
Diterangi cahaya lampu mini, trofi-trofi itu memancarkan cahaya sekemilau prestasi Barca. Di sana berdiri trofi Copa Macaya, trofi pertama yang diraih Barca pada 1902. Di sampingnya berderet piala lain, seperti Catalonia Cup dan Copa del Rey. Prestasi Barca terus menanjak tak terbendung.
Di salah satu bagian etalase berderet delapan piala Liga Champion. Etalase ini berada di atas etalase lain yang memamerkan celana, kaus, dan sepatu yang dipakai para pemain Barca saat berjuang merebut trofi-trofi itu.
Rasanya ingin mengambil ransel dan membawa pulang semua pakaian bersejarah itu. Baiklah, mari akhiri khayalan itu sambil melihat foto Messi berlari yang melatari tiga trofi sepatu emas.
Saya lalu memasuki tribun dan duduk di kursi yang berjarak sekitar 15 meter dari rumput lapangan. Di tengah lapangan, dua petugas tengah memangkas rumput. Penjaga atau satuan petugas keamanan, Jose Louis, melarang saya mendekat. ”Sedang ada penataan. Pengunjung hanya boleh memasuki stadion sampai di sini,” kata Jose.
Saya sebenarnya penasaran, jangan-jangan ada Lionel Messi ataupun Andres Iniesta di bawah sana. Saya membayangkan kaki-kaki lincahnya memainkan bola di tengah lapangan.
Siapa tahu juga bisa foto-foto bareng. Namun, Jose meyakinkan saya bahwa hari ini tidak ada latihan dan keduanya sedang rehat sebelum menjamu Atletico Madrid. Saya agak kecewa.
Baca juga : Mencium Bahaya, Diancam, Lalu Ditolong
Sebenarnya Zona B adalah stadion. Di sana terdapat, antara lain, ruang konferensi pers, ruang loker, dan jendela yang biasa digunakan para jurnalis untuk melihat langsung pertandingan.
Sayangnya, Zona B untuk sementara terlarang bagi pengunjung. Zona B yang berisi multimedia tentang sejarah pertandingan Barca juga terlarang bagi kami. Lagi-lagi karena Barca hendak bertanding melawan Atletico Madrid.
Saya kemudian memutuskan balik arah menuju ruang pamer museum tadi dengan secuil harapan bertemu Messi. Tiba-tiba, seorang petugas menarik lengan saya dan berujar, ”Mau foto bareng Messi? Cukup bayar 5 euro.”
Hati saya melonjak dan mengikuti tarikan tangannya. Dia lantas menunjukkan area pemotretan. Di sana berdiri seorang pengunjung tengah senyum gembira menghadap kamera. Jempol kanan di depan dada, sementara tangan kirinya seolah-olah merangkul seseorang, padahal kosong.
”Mana Messi?” tanya saya tak sabar. ”Messi tidak ada di sini. Anda nanti kami foto sendirian, lalu kami gabung dengan foto Messi menggunakan digital imaging,” jawabnya.
Baca juga : Masuk Dasar Lubang Tambang Demi Satu Lembar Foto
Saya lalu berterima kasih dan menolak tawarannya. Kalau cuma gabung-gabung foto gitu, sih, teman saya banyak yang bisa. Gratis lagi, batin saya. Waktu tersisa sekitar 45 menit sebelum balik ke penginapan.
Saya lalu menuju FC Botica Megastore, sejenis toko yang menyediakan berbagai pernak-pernik tentang Barca. Mulai dari gantungan kunci, sepatu, hingga jersi pemain dijual di sini. Harganya mulai 2,9 euro (sekitar Rp 49.000) hingga 95 euro (Rp 1,61 juta).
Waktu 45 menit tak terasa telah habis. Saya bergegas keluar toko dan melongok ke pintu stadion. Masih berharap ada Messi di sana. Rupanya hanya gambar Messi bersama rekan-rekannya berukuran raksasa di pintu masuk. Ah, Messi benar-benar tak datang pada hari itu.