Foto Pemakaman Jenazah Pasien Covid-19 Berbuah Piala Adinegoro
Kerabat yang mengantar sangat terbatas, bahkan pada salah satu prosesi pemakaman, hingga jenazah dimasukkan ke liang lahad dan dikuburkan, tidak terlihat kerabat yang mengiringi. Sungguh ironis.
Oleh
Totok Wijayanto
·4 menit baca
Pandemi Covid-19 mengharuskan kita disiplin menerapkan protokol kesehatan. Menjaga diri dari kerumunan tentu lebih baik. Namun, ada kondisi di mana kita sulit menghindar dari bertemu banyak orang.
Di saat orang lain menghindari segala sesuatu yang berpotensi besar menularkan virus tersebut, kami sebagai fotografer mau tidak mau justru harus mendekatinya.
Salah satunya untuk memotret prosesi pemakaman jenazah pasien Covid-19. Dalam situasi seperti ini, pekerjaan memotret benar-benar ”ngeri-ngeri sedap”. Pandemi sempat membuat saya ketakutan mendekati pemakaman. Sejak kasus virus ini diumumkan di Indonesia pada Maret 2020, baru pada pertengahan April saya berani meliput pemakaman jenazah pasien Covid-19.
Pandemi sempat membuat saya ketakutan mendekati pemakaman.
Butuh waktu lebih dari sebulan untuk memupuk keberanian. Tentu saja, saat bekerja, kami berupaya menaati protokol kesehatan. Ini masih harus ditambah dengan mengenakan alat pelindung diri (APD) lengkap, seperti ditekankan oleh pihak kantor.
Hari Senin (27/7/2020), saya pergi ke Tempat Pemakaman Umum (TPU) Pondok Ranggon, Jakarta Timur. Ini ketiga kalinya saya ke lokasi yang menjadi tempat pemakaman khusus bagi jenazah pasien Covid-19 itu. Pemakaman khusus lainnya di TPU Tegal Alur, Jakarta Barat.
Saat itu, selain baju hazmat, saya juga mengenakan kaus tangan, pelindung rambut, kacamata goggle, dan dua buah masker, yakni masker kain dan masker 3M. Walaupun ribet dan sungguh sangat membuat gerah, hal tersebut tetap saya penuhi demi keamanan diri.
Dua kali sebelumnya ke Pondok Ranggon, saya lakukan pada siang hari. Kali ini, saya ingin mendapatkan gambar dan suasana yang berbeda sehingga memilih datang pada sore hari.
Pada kedatangan terdahulu, petugas makam menginformasikan bahwa pemakaman bahkan dilakukan juga pada malam hari. Saat itu, ada aturan bahwa pemakaman jenazah pasien Covid-19 harus dilakukan sesegera mungkin. Paling lambat 4 jam setelah kematian.
Pada hari itu, sebenarnya giliran saya bekerja dari rumah (WFH). Setelah menyelesaikan tugas menyalin berita foto dari kantor berita asing, saya siap-siap ke Pondok Ranggon pada sore hari. Selain APD, saya juga menyiapkan pakaian ganti, cairan disinfektan, dan bekal makanan.
Pakaian ganti saya bawa mengingat pengalaman pada pemotretan sebelumnya. Badan saya mandi keringat karena selama pemotretan mengenakan APD, rasanya seperti sedang sauna. Jadi, baju ganti saya perlukan agar bisa segera berganti pakaian seusai memotret sehingga terhindar dari masuk angin.
Karena akan menghabiskan banyak waktu di lokasi pemakaman, rasanya saya membutuhkan banyak tenaga untuk bekerja. Saya memutuskan makan terlebih dahulu sebelum mulai memotret. Agar higienis, saya membawa bekal makanan dari rumah.
Pukul 14.00, saya berangkat dari rumah di Bintaro menuju Pondok Ranggon. Lama perjalanan kurang lebih 1 jam. Setiba di lokasi, sambil menunggu masuk waktu shalat Ashar, saya memakan bekal terlebih dahulu di parkiran TPU. Setelah shalat, barulah saya mengenakan APD lalu menuju area blok pemakaman untuk jenazah pasien Covid-19.
Saya memilih datang pada hari itu selain karena melihat semakin tingginya angka positif Covid-19, juga karena pada hari itu data Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) menunjukkan jumlah total warga yang positif Covid-19 akan menembus 100.000 orang.
Setelah selesai makan, shalat Ashar, dan menunggu beberapa saat, pada pukul 16.46 tiba sebuah mobil jenazah. Tak lama berselang, datang mobil jenazah berikutnya. Mobil jenazah ketiga datang ketika senja hampir berganti.
Pemakaman ketiga yang saya potret ini berlangsung pada pukul 18.00 lebih sedikit atau 2,5 jam setelah saya tiba di TPU. Keinginan saya menanti momen perubahan langit dari terang ke gelap terlaksana. Saya perhatikan, belum banyak teman fotografer yang memotret saat transisi kondisi langit seperti itu. Surup, kalau kata orang Jawa.
Dari kacamata visual, suasana prosesi pemakaman yang murung akan kuat terekam jika diambil dalam kondisi surup. Rangkaian foto yang saya potret pada sore itu kemudian terbit di rubrik ”Galeri” Kompas.id keesokan harinya.
Tanpa banyak bicara, petugas berpakaian APD segera mengeluarkan jenazah dari ambulans dan langsung menguburkannya. Dengan menggunakan lensa pendek (berukuran 24 milimeter), saya mengabadikan adegan demi adegan yang terjadi.
Prosesi pemakaman pada masa Covid-19 ini sangat berbeda. Kerabat yang mengantar sangat terbatas. Bahkan, di salah satu prosesi pemakaman, hingga jenazah dimasukkan ke dalam liang lahad dan dikuburkan, tidak terlihat kerabat yang mengiringi. Sunguh ironi.
Menjelang akhir 2020, saya mengirimkan salah satu foto pemakaman di Pondok Ranggon untuk mengikuti seleksi Anugerah Jurnalistik Adinegoro. Foto yang saya anggap paling kuat ini adalah foto pemakaman ketiga yang berlangsung saat surup.
Anugerah Jurnalistik Adinegoro diselenggarakan secara rutin setiap tahun oleh Pengurus Pusat Persatuan Wartawan Indonesia (PWI). Tema yang ditetapkan saat itu membangkitkan semangat melawan pandemi Covid-19.
Pada pertengahan Januari 2021, saya menerima kabar gembira. Panitia menetapkan foto saya sebagai peraih Anugerah Adinegoro untuk kategori Berita Foto.
Perasaan saya campur aduk. Bangga menerima apresiasi ini karena Adinegoro adalah penghargaan paling bergengsi di dunia jurnalistik Tanah Air. Di sisi lain, prihatin karena mengingat pandemi yang belum juga mereda, bahkan semakin ”menggila”. Semoga pandemi cepat berakhir.