Bahagia Bersama Ikan-ikan Lokal di Waduk Jatiluhur
Saat semua jaring sudah diangkat, rombongan kembali ke darat. Dalam perjalanan, perahu kami sempat terhenti akibat terjebak rumpunan eceng gondok. Baling-baling mesin perahu patah!
Oleh
MELATI MEWANGI
·4 menit baca
Kesempatan menyusuri Waduk Jatiluhur pada akhir Oktober 2020 meninggalkan kesan manis. Bukan dalam rangka liputan seremonial atau berwisata dengan pacar, melainkan ikut dengan para peneliti dari Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan. Sukacita peneliti di tengah danau turut menyeret kebahagiaan saya di tengah Jatiluhur.
Sepoi angin waduk menyapa kedatangan kami, Kamis (22/10/2020). Sekitar pukul 07.50, rombongan menaiki sebuah perahu kayu yang semula tersandar di bibir waduk. Tak lama, mesin perahu menderu dan bergerak ke tengah waduk yang berlokasi di Purwakarta, Jawa Barat, ini.
Sebagai orang yang tak pandai berenang, tentu muncul kekhawatiran bagaimana jika perahu yang saya tumpangi dihadang badai atau petir.
Rabu (21/10/2021) sore sebelumnya, Prof Krismono, Ketua Kelompok Peneliti Balai Riset Pemulihan Sumber Daya Ikan (BRPSDI) menelepon saya. Beliau mengajak ke lokasi untuk melihat kegiatan pemantauan sumber daya ikan dan kualitas air di waduk Jatiluhur. ”Wah, kesempatan emas,” batin saya.
Setelah mengecek ramalan cuaca bahwa hari akan cerah hingga siang, saya pun mengiyakan tawaran tersebut. Prof Kris menjanjikan perjalanan akan usai sebelum hujan datang.
Hari-hari belakangan itu, hujan deras disertai angin kencang dan petir berpotensi terjadi di atas pukul 13.00. Sebagai orang yang tak pandai berenang, tentu muncul kekhawatiran bagaimana jika perahu yang saya tumpangi dihadang badai atau petir.
Selain Prof Krismono, ikut serta dalam rombongan teknisi penelitian dan rekayasa Tri Muryanto dan Yayat Hendayana, serta peneliti Agus Arifin S. Sejak Rabu sore, mereka telah memasang jaring insang percobaan sepanjang 250 meter di dua titik pemantauan, yakni di sekitar Pelabuhan Biru dan inlet Sungai Cilalawi.
Jaring berbagai diameter itu didiamkan semalaman dan baru diangkat keesokan harinya. Setiap ujung jaring diberi sebuah pelampung berwarna putih sebagai penanda agar cepat diketahui keberadaannya.
Setiba di lokasi pertama, mesin perahu pun dimatikan. Mas Agus, Mas Tri, dan Kang Yayat berdiri di ujung perahu. Mereka mengangkat pelampung putih, kemudian menarik jaringnya ke atas. Saya dan Prof Krismono berada di bagian tengah perahu.
Setelah jaring diangkat, dengan cepat Prof Kris mengidentifikasi jenis dan nama setiap ikan yang tersangkut. ”Wah, itu ada lalawak, ikan lokal yang sebelumnya jarang ditemui. Beberapa tahun lalu hanya terlihat di beberapa titik. Bahkan, sering kali tidak ditemukan sama sekali. Sekarang banyak tersebar,” ucapnya semringah.
Melihat wajah Prof Kris yang tersenyum lebar membuat saya makin bersemangat. Saya pun terus memotret gesture dan hasil tangkapan selama menyusuri waduk. Keheningan di waduk yang sedari tadi saya rasakan perlahan menghilang seiring banyaknya ikan lokal yang tersangkut jaring.
Kemunculan ikan-ikan lokal Sungai Citarum di Waduk Jatiluhur menjadi angin segar karena merupakan indikator membaiknya mutu air waduk. Dulu, ikan-ikan itu jarang ditemui, kini mereka ditemukan dalam jumlah banyak dan merata di seluruh titik pantauan.
Proses pemantauan sudah dilakukan para peneliti BRPSDI sejak 1981. Tujuannya untuk mengetahui jenis ikan yang ada dan mutu air waduk. Selain Waduk Jatiluhur, ada dua waduk lain di area aliran Sungai Citarum, yakni Waduk Saguling dan Waduk Cirata.
Jatiluhur berperan besar di berbagai sektor kehidupan, mulai dari perikanan darat, irigasi, pembangkit listrik tenaga air, dan penyediaan air baku minum Ibu Kota. Kondisi waduk yang bersih bermanfaat bagi keberlangsungan ekosistem air dan banyak pihak.
Tak lama, sejumlah ikan lalawak lainnya tersangkut di jaring berukuran 2,5 inci. Saat ditekan di bagian perut, cairan putih atau sperma akan muncrat dari ikan lalawak jantan dan sel telur dari ikan lalawak betina. Datangnya musim hujan, kata Mas Agus, bisa merangsang pemijahan alami ikan karena adanya perubahan suhu air.
Ikan lalawak berasal dari family Cyprinidae yang panjang tubuhnya bisa mencapai 25 sentimeter (cm). Ikan ini merupakan ikan lokal Sungai Citarum yang memakan tumbuhan dan fitoplankton. Selain lalawak, ikan lokal lain yang ditemukan adalah ikan lempuk (butter catfish) dan ikan kebogerang (twospots catfish).
Bentuk fisik ikan lokal ini mengingatkan saya pada ikan-ikan yang dijual di supermarket atau pasar. Secara spontan plus sedikit sok tahu, saya pun nyeletuk, ”Ikan apa ini? Anakan gurameh pasti!” Kali lain, ”Wuidih, kok, bisa dapet ikan bandeng, ya, Mas?”
Jujur, sebenarnya saya deg-degan kalau dimarahi akibat celetukan saya yang sotoy (sok tahu). Namun, ternyata tidak, mereka sangat humble menanggapi celetukan saya, lalu menjelaskan dengan kalimat yang mudah dipahami.
Di atas perahu, saya dipinjami buku tentang daftar ikan yang hidup di Waduk Jatiluhur sejak tahun 2010-2011. Berdasarkan yang saya baca sekilas, saya kemudian berusaha menebak nama-nama ikan hasil tangkapan. Sangat menyenangkan ternyata belajar ikan secara langsung bersama para peneliti di waduk. Teriknya matahari pada siang itu kian membakar rasa ingin tahu saya.
Saat semua jaring sudah diangkat, rombongan kembali ke darat. Dalam perjalanan, perahu kami sempat terhenti akibat terjebak rumpunan eceng gondok. Baling-baling mesin perahu patah!
Untunglah, setelah lebih kurang 1 jam perahu didayung secara manual, perahu berhasil keluar dari jeratan hamparan eceng gondok. Begitu terlepas, kami semua merasa lega. Terlebih saya.
Seharian, saya mencicipi versi singkat kerja peneliti. Bekerja dalam hening di tengah danau, berpanas ria, menahan kantuk karena embusan angin dan cuaca, hingga terjebak eceng gondok. Semuanya demi misi baik.
Lebih dari itu, saya ikut merasakan aura positif saat menjumpai ikan-ikan lokal yang kembali bermunculan. Kebahagiaan di tengah danau, semoga membuat Jatiluhur turut tersenyum bahagia.