Dua rekan saya menjadi kontak erat pasien positif Covid-19 sehingga berisiko tertular. Dengan begitu, saya yang sempat makan bareng dengan mereka pun mempunyai risiko yang sama. Padahal, saya tengah hamil empat bulan.
Oleh
Regina Rukmorini
·5 menit baca
Menjalani tugas sebagai jurnalis di tengah pandemi membuat saya cukup terbiasa menulis perihal isolasi mandiri oleh pasien Covid-19 atau kontak eratnya. Namun, menulis dan menerangkan pengalaman orang lain tentu tidak sesulit dan serumit ketika harus menjalaninya sendiri.
Saya harus menjalani isolasi mandiri selama seminggu karena berinteraksi dengan kontak erat pasien positif Covid-19. Sekalipun tidak muncul gejala sakit yang serius, beban psikologis karena tengah hamil empat bulan dan memiliki anak balita yang masih butuh perhatian membuat pengalaman isolasi mandiri saya terasa sangat tidak menyenangkan dan sungguh mendebarkan.
Pengalaman ini bermula dari pengakuan salah seorang aparatur sipil negara (ASN) di Kabupaten Magelang bahwa dirinya positif Covid-19, Minggu (22/11/2020) malam. Pernyataan itu disampaikannya di grup percakapan yang berisi sedikitnya 20 jurnalis di Kabupaten Magelang.
Karena ASN ini terlibat penanganan pengungsi dan antisipasi erupsi Gunung Merapi, pengakuannya jelas mengejutkan kami, para jurnalis. Merapi yang meningkat aktivitas vulkaniknya membuat statusnya naik menjadi Siaga, Kamis (5/11/2020). Tentu, sejak itu, para jurnalis sibuk berburu berita terkait antisipasi erupsi. ASN tersebut merupakan salah satu narasumber penting untuk mencari data dan wawancara.
Saya sebenarnya termasuk jurnalis yang bisa dikatakan ”selamat”. Sejak Selasa (10/11/2020), saya tidak perlu lagi liputan Merapi karena harus fokus meliput segala persiapan untuk agenda Borobudur Marathon 2020 yang diselenggarakan 15 November 2020.
Sebagai pengganti, datang dua rekan saya yang membantu peliputan Merapi untuk wilayah Magelang, tempat tugas saya. Dengan demikian, hingga 16 November, saya tidak memiliki catatan komunikasi langsung dengan sang ASN. Kalau toh sedang ingin menulis tentang pengungsi, saya biasanya langsung pergi ke lokasi pengungsian.
Namun, pengakuan ASN itu tentu tetap saya sampaikan kepada dua teman saya. Saya yakin mereka melakukan kontak atau komunikasi dengan ASN tersebut. Selain demi kebaikan mereka, hal itu juga saya lakukan demi kebaikan saya sendiri, mengingat Sabtu (21/11/2020), saya sempat makan bersama dengan dua rekan tersebut.
Betapa terkejutnya saya ketika keduanya mengungkapkan pernah mewawancarai sang ASN di ruang kerja yang tertutup. Terlebih saat wawancara, ASN itu sempat tidak memakai masker dengan benar.
Saya pun mulai khawatir. Dua rekan saya menjadi kontak erat pasien positif sehingga berisiko tertular. Dengan begitu, saya yang sedang hamil empat bulan ini berisiko yang sama. Sesuai saran atasan di kantor, saya diminta isolasi mandiri sembari menunggu hasil tes PCR kedua rekan yang lain.
Senin (23/11/2020), isolasi mandiri saya mulai. Sementara kedua rekan sibuk mencari tempat yang bisa sesegera mungkin mengakomodasi untuk tes PCR. Di rumah, saya harus tidur di kamar terpisah dan sebisa mungkin tidak keluar kamar. Suami dan anak saya yang masih berumur 3,5 tahun terpaksa tidur di kamar lain.
Suami bersikap lebih santai. Ketika mengantarkan makanan, ia membuka pintu kamar dan meletakkan piring di meja. Saya sendiri berusaha santai dengan menonton televisi dan tetap menyusun berita dengan wawancara melalui telepon.
Kendati demikian, sedih rasanya karena hanya bisa mendengar suara anak dari balik pintu. Saya pun berusaha sebisa mungkin tidak bersuara atau menghibur saat mendengarnya menangis. Saya khawatir hal itu justru membuat dia rewel ingin bertemu.
Sebenarnya sejak awal memulai isolasi mandiri, saya merasa tenggorokan mulai terasa tidak nyaman. Oleh karena tidak ada batuk, saya berusaha tetap tenang. Namun, tak lama kemudian, saya mulai batuk ringan. Terasa ada dahak yang mengganjal dan mulai merasa sesak napas saat tidur malam.
Perasaan saya mulai kacau saat salah satu rekan kantor mengabarkan hasil tes PCR-nya positif Covid-19, Rabu (25/11/2020) sore. Saya pun langsung menghubungi salah satu laboratorium dan membuat janji untuk tes PCR, Kamis (26/11/2020) pagi.
Sejak itu, saya mulai memperketat isolasi. Saya meminta suami untuk tidak membuka pintu kamar jika mengantarkan makanan. Cukup memberi tahu lewat ketukan untuk mengabarkan bahwa makanan telah diletakkan di depan pintu.
Saya mulai merasa sangat cemas. Kondisi yang masih sering sesak napas membuat saya pesimistis. Saya mulai berpikir jangan-jangan saya juga positif Covid-19. Kondisi ini saya keluhkan kepada dokter kandungan. Atas sarannya, saya menjalani pemeriksaan darah rutin untuk memeriksa apakah ada kekurangan kadar oksigen dalam darah. Syukurlah, setelah dicek semuanya baik-baik saja.
Di rumah sakit, saya sempat menjalani tes cepat dan dinyatakan nonreaktif. Namun, tentu saja, pikiran saya belum tenang sebelum mendapatkan kepastian hasil tes usap yang baru akan diterima Senin (30/11/2020).
Selama tiga hari itulah saya betul-betul gelisah. Gerakan janin yang biasanya sering terasa, berangsur tenang dan bahkan diam. Saya bertambah khawatir karena hal ini mengindikasikan bahwa saya mulai stres dan berdampak pada janin.
Tidak hanya saya, anak pun mulai tidak tenang karena sudah begitu lama tidak melihat saya keluar kamar. Beberapa kali saya mendengar dia bertanya kepada ayahnya yang menjawab saya sedang sakit. Sementara saya hanya bisa diam.
Dari suara dan tanggapannya, saya tahu anak saya tidak puas dengan jawaban itu. Ia pun mulai sering mencoba-coba membuka pintu kamar. Sedih tentu saja, tetapi saya tidak berani menenangkannya. Bersuara tanpa menampakkan wajah berisiko menimbulkan reaksi anak yang berkepanjangan.
Beberapa kali saya mendengar dia bertanya kepada ayahnya yang menjawab saya sedang sakit. Sementara saya hanya bisa diam.
Kecemasan akan kondisi janin dan anak itulah yang terus saya rasakan. Sebenarnya, pihak laboratorium menyampaikan, hasil tes baru bisa diperoleh Senin malam. Namun, karena tidak sabar, saya pun menelepon pada Senin pagi. Untung saja, sudah ada hasil dan saya dinyatakan negatif Covid-19.
Pengalaman melakukan isolasi mandiri saat menunggu hasil tes memberi saya pelajaran untuk bersabar, sekaligus lebih berempati kepada mereka yang menjalaninya untuk proses penyembuhan.
Pengalaman ini juga mengajarkan saya untuk lebih berhati-hati saat berinteraksi dengan orang lain di tengah pandemi dan banyak berdoa semoga hal itu tidak perlu saya alami lagi.