Yang Sulit Dilupakan dari Tsunami Aceh
Air mata terjatuh saat dalam hening saya berdiri memanjatkan doa. Tempat yang saya datangi itu adalah kampung tempat tinggal Pak NJ. Sejak tsunami menghancurkan Banda Aceh, Pak NJ tidak diketahui keberadaannya.
Dari sekian banyak penugasan liputan, ada beberapa yang tidak ingin saya ingat-ingat kembali. Salah satunya liputan pascatsunami di Aceh tahun 2005. Betapa tidak, meskipun sekeras mungkin saya coba menghapus semua rekam jejak di otak, selalu ada secercah kenangan yang tertancap erat di ingatan.
Saat ini, setiap kali mengingat Aceh, yang pertama muncul di kepala adalah sosok Pak Nadjmuddin Oemar, wartawan Kompas yang bertugas di Aceh. Ketika saya ditugaskan ke sana pada Agustus 2003 untuk meliput kondisi warga pada masa darurat militer, teman-teman kantor berpesan agar saya segera menemui Pak Nadjmuddin begitu tiba di Banda Aceh.
Pak NJ, begitu Nadjmuddin biasa disapa, pertama kali saya temui di kedai kopi, tidak jauh dari tempat para jurnalis Banda Aceh berkumpul.Saya datang untuk sowan sekaligus menggali informasi dari Pak NJ seperti apa liputan darurat militer di Aceh.
Baca juga : Terjebak Kontak Senjata di Aceh
Saya, yang ketika itu belum lama diangkat sebagai jurnalis foto Kompas, begitu bersemangat mencari tahu peluang meliput pihak Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Melihat saya begitu berapi-api, Pak NJ dengan kalem berkata, ”Kamu santai dulu saja. Jalan-jalan lihat suasana warga di Aceh,” katanya.
Sosok NJ yang tenang dan tidak banyak bicara saat itu secara langsung memberi kode kepada saya bahwa sebaiknya saya mencari liputan yang ”aman” dulu. Kondisi di Aceh pada masa darurat militer tidaklah menentu.
Dalam kondisi demikian, posisi jurnalis bisa jadi berbahaya karena pihak yang bertikai enggan repot-repot memikirkan keselamatan wartawan. Meskipun Pak NJ memiliki akses kepada pihak GAM, tampaknya Pak NJ memilih tidak ingin menempatkan jurnalis yang ”dititipkan” kepadanya ini ke dalam posisi yang membahayakan.
Liputan suasana darurat militer di Aceh selama hampir satu bulan saya lalui dengan aman. Banyak pengalaman lapangan yang saya peroleh di sana. Salah satunya, terjebak dalam kontak senjata antara TNI dan GAM.
Namun, pelajaran lebih penting yang saya petik dari pengalaman itu ialah warga selalu menjadi korban utama dalam setiap konflik. Mereka harus hidup dalam ketakutan dan ketidakpastian. Di sisi lain, saya juga melihat perjuangan warga yang berusaha menjalani kehidupan sebisanya sembari berharap konflik segera berakhir.
Sebelum kembali ke Jakarta, saya sempatkan menelepon Pak NJ untuk berpamitan. Meskipun selama di Aceh jarang bertemu, saya merasa beliau ”melindungi” saya sehingga semua liputan berjalan lancar. Ketika terbang meninggalkan Aceh, saya berharap dapat kembali berkunjung dalam kondisi Aceh yang lebih baik.
Baca juga : Bom Natal Membuat Kami Jadi Loper Koran
Sayang, harapan itu tidak terwujud. Hampir dua tahun kemudian, tepatnya pada Februari 2005, saya memang kembali ke Aceh. Namun, dalam kondisi Aceh luluh lantak akibat tsunami yang terjadi pada akhir Desember 2004.
Di awal kedatangan, saya menyempatkan pergi ke kawasan Kaju yang terletak di pinggiran Banda Aceh. Tempat itu dulunya adalah perkampungan padat yang pascatsunami berubah menjadi lahan kosong nan luas seolah tak berbatas. Seluruh bangunan dan rumah-rumah rata dengan tanah.
Di ujung cakrawala, tampak deburan ombak di pantai dengan siluet beberapa batang pohon kelapa yang masih bertahan. Embusan angin kencang yang membawa aroma laut menerjang kencang tubuh saya.
Air mata terjatuh saat dalam hening saya berdiri memanjatkan doa. Tempat yang saya datangi itu ialah kampung tempat tinggal Pak NJ. Sejak tsunami menghancurkan Banda Aceh, Pak NJ tidak diketahui keberadaannya.
Sebulan seusai tsunami memorakporandakan Aceh, saya menyaksikan warga yang berupaya menata diri dan mencoba berdamai dengan kondisi. Tidak ada lagi tangisan warga dan pemandangan jenazah yang bergeletakan di jalanan.
Puing-puing di penjuru kota sisa hantaman tsunami dan gempa bumi juga telah dibersihkan. Hanya tersisa tumpukan sampah di pinggir jalan yang belum diambil.
Baca juga : Bertemu Istri Santoso di Poso
Dalam sebulan terakhir, masyarakat dunia juga telah bergerak membantu warga yang terkena tsunami. Mereka datang ke Aceh untuk meringankan penderitaan. Saat saya datang, sudah tidak banyak jurnalis dari luar Aceh yang datang meliput.
Mereka telah habis-habisan bekerja sesaat setelah tsunami terjadi dan sebagian besar telah ditarik pulang. Hanya beberapa wartawan dan fotografer dari media asing yang masih berada di Banda Aceh.
Seperti saya, para jurnalis media asing ini menggantikan rekan mereka yang ditarik pulang. Mereka mulai menggeser fokus liputan pada banyaknya bantuan penanganan tsunami dari berbagai institusi dari luar negeri.
Wilayah liputan saya saat itu dari Banda Aceh hanya sampai wilayah Lhok Nga, Aceh Besar, meskipun sebenarnya saya bisa merambah wilayah yang lebih jauh lagi dengan dibersihkannya beberapa ruas jalan utama dari Banda Aceh menuju kawasan pantai barat.
Di kawasan ini, saya menyaksikan jalanan beraspal mulus yang pernah saya lintasi saat liputan darurat militer tahun 2003 telah hancur. Lubang besar mengoyak aspal. Di beberapa bagian, posisi jalan telah bergeser karena lapisan aspal hingga ke fondasi jalan terseret tsunami.
Sekitar 1 jam perjalanan dari Kota Banda Aceh, dampak kehancuran tsunami masih bisa saya saksikan. Jalan yang semula meliuk-liuk mengikuti kontur garis pantai telah berubah menjadi jalan lurus darurat yang dikerjakan selama sebulan terakhir.
Baca juga : Kolor untuk Maryoto
Kapal tanker yang berpindah ke darat akibat terdorong tsunami dijadikan monumen penanda kawasan Lhok Nga. Tingginya tsunami terlihat dari bekas gelombang laut yang mengikis kaki bukit di kejauhan.
Jalur untuk mobil terputus di kawasan Lhok Nga sehingga untuk mengakses beberapa wilayah di kawasan pantai barat hanya bisa menggunakan sepeda motor. Itu pun harus dengan susah payah.
Kota Meulaboh yang juga terdampak tsunami hanya bisa dijangkau dengan helikopter atau menyisiri kawasan pantai barat dari sisi kiri bawah Provinsi Aceh.
Di Lhok Nga, saya menyaksikan warga mencoba melanjutkan kehidupannya yang hancur oleh tsunami. Orang-orang yang hendak pergi ke Banda Aceh harus berjalan kaki berhari-hari karena ruas jalan dipenuhi batang-batang pohon besar.
Sebagian pergi untuk mencari bantuan makanan karena sumber makanan di tempat asalnya telah menipis. Ada pula yang pergi untuk mencari tahu kondisi kerabatnya di Banda Aceh. Wilayah Lhok Nga saat itu masih padam karena tiang-tiang listrik hancur dan pemasangan jaringan baru belum lama dimulai.
Selama dua pekan liputan pascatsunami di Aceh, foto-foto yang saya hasilkan lebih banyak memperlihatkan Aceh yang mencoba bangkit. Warga mulai menata kehidupannya yang baru dengan beraktivitas normal seperti semula. Meskipun banyak warga yang kehilangan rumahnya dan masih menghuni tenda-tenda penampungan, mereka tampak mulai mengisi hari-harinya dengan senyum di wajah.
Baca juga : Saat Wartawan Menjadi Anggota KPPS di Tengah Pandemi
Sejumlah lembaga swadaya masyarakat (LSM) dari dalam dan luar negeri bergantian membangkitkan keceriaan pengungsi, terutama anak-anak. Saat bersama rekan reporter Kompas, Edna C Pattisina, meliput pertunjukan pemain badut asing yang didatangkan oleh LSM World Vision, kami melihat anak-anak itu mulai tertawa lepas. Seolah ingin melepaskan segala beban.
Ada sebuah momen lucu terjadi. Saat sang badut menekuk balon panjang membentuk seekor anjing pudel, seorang anak berteriak, ”Kameng.” Dalam bahasa setempat artinya kambing. Maklum, anjing pudel jarang dijumpai di Aceh sehingga sosok anjing pudel pun disangka kambing.
Saya merasa liputan tsunami di Aceh yang saya jalani relatif lebih ringan ketimbang teman-teman fotografer Kompas yang tiba di Aceh beberapa hari setelah tsunami, seperti Agus Susanto, Danu Kusworo, dan Eddy Hasby.
Saya membayangkan betapa beratnya pekerjaan mereka dan wartawan Kompas lainnya yang berusaha mengirim berita dan foto dalam kondisi sangat terbatas. Belum lagi sambil menyaksikan kota yang porak-poranda dan ribuan jenazah yang bergeletakan di pinggir jalan. Saya juga membayangkan betapa beratnya warga Aceh berjuang melewati semuanya.
Tanpa saya sadari, semua yang saya pikirkan tersebut menjadi energi negatif yang diserap oleh otak. Meskipun saat itu saya tidak lagi melihat mayat, bau bangkai masih tercium di kawasan yang tersapu tsunami. Saya tidak tahu apakah itu bau bangkai binatang atau manusia, tetapi bau anyirnya berlipat-lipat. Bau yang tidak pernah saya cium sebelumnya.
Baca juga : Ketika Saya Harus Memotret Jay Subyakto
Suatu saat, ketika memotret alat berat yang sedang dioperasikan untuk membersihkan saluran air, saya melihat onggokan mayat yang terapung. Kondisinya sudah hancur dan berbentuk putih seperti kertas polos berukuran A4 yang direndam di air selama beberapa waktu. Memori penglihatan dan penciuman itu menciptakan kenangan yang sulit dilupakan.
Seiring berjalannya waktu, ternyata saya bisa juga melupakan ingatan visual tentang pedihnya kondisi di sana. Ketika saya menulis artikel ini, saya sampai harus membuka arsip tulisan dan foto untuk mengingat-ingat kembali apa yang saya liput selama berada di Aceh.
Hanya saja, tetap ada memori yang melekat erat, yakni ingatan tentang almarhum Pak Nadjmuddin Oemar. Selain juga memori tentang bau bangkai yang hingga sekarang belum bisa saya hilangkan. Sambil merampungkan artikel ini, beberapa kali saya merasa mencium bau tersebut....