Saat Wartawan Menjadi Anggota KPPS di Tengah Pandemi
Bertugas sebagai anggota KPPS di tengah pandemi tidaklah mudah. Potensi tertular Covid-19 menjadi ketakutan terbesar. Pengorbanan besar anggota KPPS dan para pemilih semoga menjadi cambuk kinerja kepala daerah terpilih.
Jika biasanya wartawan meliput pelaksanaan pilkada, kali ini wartawan terjun sebagai penyelenggara pilkada, tepatnya sebagai anggota KPPS, seperti dialami wartawan Kompas, Andy Riza Hidayat dan Benny Dwi Koestanto.
Bertugas sebagai anggota Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) di tengah pandemi tidaklah mudah. Rasa waswas akan tertular Covid-19 menjadi ketakutan terbesar. Bagaimana kisah keduanya?
Pengalaman Andy Riza Hidayat
Menjelang pilkada atau pemilihan kepala daerah biasanya ada kemeriahan di tingkat akar rumput. Selain kampanye terbuka, pembicaraan tentang calon pemimpin daerah makin seru mendekati pemungutan suara. Namun, kali ini situasinya berbeda. Obrolan warga lebih banyak pada bagaimana pilkada dapat berjalan aman dari Covid-19.
Karena pandemi, sebagian warga apatis dan tidak menggunakan hak pilihnya. Beberapa orang yang sebenarnya tercatat sebagai panitia pilkada mundur karena takut terpapar Covid-19. Di tengah kecemasan itu, agenda demokrasi ini tetap berjalan. Hingga suatu hari penulis menerima pesan dari pengurus lingkungan.
”Pak, bisa enggak menjadi tim KPPS?” pinta Hariri pada minggu kedua November 2020.
Ia Ketua RT 004 RW 012, Kelurahan Curug, Kecamatan Bojongsari, Kota Depok. Hariri kemudian menjelaskan ada anggota KPPS yang mengundurkan diri sehingga dia harus mencari penggantinya.
Beberapa hari setelah itu, penulis mulai terlibat dalam rapat panitia di balai pertemuan warga. Kami banyak mendiskusikan teknis penerapan protokol kesehatan saat pemungutan suara. Panitia ingin menjalankan tugas dengan lancar, tetapi tetap aman dari paparan virus korona. Kecemasan ini beralasan mengingat ada anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU) pusat dan daerah yang terpapar Covid-19.
”Nanti tempat cuci tangannya di mana? Bagaimana melayani warga yang sedang isolasi mandiri? Bagaimana jika ada warga yang suhu tubuhnya di atas normal datang ke TPS?” kata Andi Agustian, salah satu anggota KPPS TPS 44, Kelurahan Curug, Bojongsari, Kota Depok, saat rapat persiapan panitia, (12/11/2020).
Anggota Panitia Pemungutan Suara (PPS) tingkat kelurahan menyampaikan, antisipasi semua itu bisa disiapkan sejak awal. Ada perangkat pendukung dari KPU yang disediakan, seperti sarung tangan untuk pantitia, sarung tangan untuk warga, pelindung wajah, masker, cairan antiseptik, disinfektan, alat ukur suhu tubuh, hingga baju hazmat.
Sebelum bertugas, kami diminta menyertakan surat sehat dan mengikuti rapid test di kelurahan, (27/11/2020). Prosedur itu wajib untuk semua panitia. Meski kami menyadari hasil tes itu tidak menjamin di antara kami tidak ada yang terpapar virus.
Baca juga: Bertemu Istri Santoso di Poso
Pada hari pelaksanaan pemungutan, Rabu (9/12/2020), kami mengawalinya dengan doa agar semuanya berjalan lancar. Saya bertekad akan menerapkan protokol kesehatan sebisa mungkin.
Pada praktiknya, tidak semua hal diatur dalam panduan teknis KPU. Karena itu, tim KPPS mencari jalan keluar yang disepakati bersama. Misalnya, jika ada warga yang suhu tubuhnya di atas 37 derajat celsius, panitia akan meminta yang bersangkutan untuk duduk sejenak di kursi antrean. Barangkali suhu tubuh itu meninggi karena faktor lain di luar kesehatan. Misalnya, karena paparan sinar matahari.
Begitu pun soal petunjuk teknis yang meminta warga agar membawa alat tulis sendiri. Kami bersepakat tidak mempersulit warga, tetapi tetap menerapkan protokol kesehatan. Caranya, warga yang akan masuk area TPS diberi sarung tangan plastik setelah mereka mencuci tangan dengan sabun atau cairan antiseptik dan dicek suhu tubuhnya. Jadi, ketika masuk area TPS, harapannya sudah steril dari virus.
Dengan mengenakan sarung tangan, bolpoin dapat dipakai bergantian dengan warga lain. Kami mengganggap cara itu efektif untuk menyiasati petunjuk teknis agar tidak kaku dalam penerapannya.
Untuk menghindari kerumunan di TPS, kami mengatur kedatangan warga dari tiap kluster di jam yang berbeda-beda. Aturan ini efektif memecah kerumunan warga saat berada di TPS. Kami mengapresiasi, ternyata semua warga yang datang mengenakan masker dan bersedia mengikuti protokol kesehatan di TPS.
Nyaris tidak ada antrean selama pemungutan suara. Begitu seorang calon pemilih masuk, kami langsung mempersilakan dia menggunakan hak suaranya agar bisa lekas kembali ke rumah. Di sela-sela tugas, saya menyempatkan melakukan reportase langsung secara singkat untuk Kompas.id.
Baca juga: Ketika Saya Harus Memotret Jay Subyakto
Tidak hanya di TPS, kami juga melayani hak pilih warga yang sedang menjalani isolasi mandiri di rumah. Ada tiga warga yang berstatus kontak erat, tinggal di salah satu kluster. Andi Agustian, petugas KPPS TPS 44, mendatangi rumah tersebut didampingi seorang panitia pengawas pilkada dan saksi pasangan calon.
Proses penggunaan hak suara berlangsung cepat, petugas KPPS menyodorkan surat suara ke dalam rumah, lalu mereka menggunakannya di dalam rumah. Setelah selesai, surat suara dikembalikan dengan menaruhnya di teras rumah.
Sesampainya di TPS, tiga surat suara yang terbungkus plastik disemprot cairan disinfektan terlebih dulu sebelum dimasukkan ke kotak suara. Adapun Andi Agustian mengganti sarung tangannya dengan yang baru. ”Tugas selesai,” kata Andi.
Kerumunan
Sebelum pilkada, banyak pihak mengkhawatirkan terjadi kerumunan. Memang, hal ini tidak terhindarkan, baik saat masa kampanye, sebelum pemungutan suara, maupun sesudahnya. Kami mengalaminya saat proses rapid test di kantor kelurahan, beberapa hari sebelum hari pemungutan suara. Saat itu, ratusan orang mendatangi kantor kelurahan untuk mengikuti rapid test.
Dengan alasan menghindari kerumunan jugalah, sebagian warga memilih tidak menggunakan hak suaranya. Dari 261 surat suara yang tersedia di TPS 44 Curug, hanya 138 di antaranya yang dicoblos warga. Jumlah ini setara dengan 47 persen total surat suara. ”Jumlah pemilihnya tidak seramai pemilu lalu,” tutur Ari Wibowo, Ketua TPS 44 Curug.
Salah satu warga yang tidak setuju dengan penyelenggaraan pilkada kali ini adalah M Rosit (37). Rosit bahkan memilih mengundurkan diri dari KPPS karena menilai pandemi masih belum dapat dikendalikan.
Baca juga: ”Mission Impossible” Saat Kecelakaan Pesawat Lion Air
”Terlalu berisiko menggelar pilkada di tengah pandemi,” katanya. Proses penyelenggaraan pilkada, mulai dari prapencoblosan hingga penghitungan suara, berpotensi mengundang kerumunan warga. Pada saat kerumunan itu, risiko penularan Covid-19 semakin besar.
”Saya minta izin untuk tidak ikut jadi panitia kali ini. Jika memungkinkan, pilkada dapat digelar tahun depan setelah vaksin siap sehingga petugas yang jadi panitia tidak berisiko terpapar Covid,” kata Rosit.
Dia berharap pasca-pilkada ini tidak ada yang terpapar sebab tidak ada yang tahu penyebaran virus korona ini melewati siapa saja.
Pengalaman Benny Dwi Koestanto
Saya belum pernah menjadi petugas KPPS sebelumnya. Jadi, secara detail tidak dapat membandingkan kerja petugas KPPS pada masa normal dan pandemi. Meskipun demikian, menjadi petugas KPPS di tengah pandemi jelas memberikan pengalaman tersendiri: pengalaman diliputi rasa waswas terhadap tugas yang diemban sekaligus terkait dengan kemungkinan penularan virus. Penerapan protokol kesehatan terus diingatkan kepada setiap petugas KPPS, pun sejak pertama pemilihan pengurus dilakukan di tempat kami tinggal.
Saya dihubungi oleh Ketua RW yang meminta saya menjadi petugas KPPS. Salah satu alasannya, pembatasan umur maksimal anggota KPPS terkait dengan terjadinya pandemi. Usia saya masuk klasifikasi untuk menjadi petugas KPPS. ”Sekalian penyegaran wajah petugas KPPS, Mas. Jadi, kita saling belajar,” kata Ketua RW.
Saya pun menyanggupi dengan catatan sejumlah kondisi yang mungkin dapat mengganggu kerja kepetugasan saya. Sekiranya di tengah jalan saya merasa tidak optimal, saya akan memberikan informasi sehingga posisi saya bisa diganti.
Semoga para pemimpin yang terpilih dalam pilkada mana pun kali ini senantiasa ingat bahwa keterpilihan mereka terjadi pada sebuah masa yang menantang dan sulit.
Kebanyakan anggota KPPS yang bertugas di TPS 22, Desa Lengkong Gudang Timur, Serpong, Tangerang Selatan, adalah orang baru. Termasuk Ketua TPS-nya yang baru pertama kali ini bertugas sebagai petugas TPS. Syukurlah, dengan cepat kami bisa saling berkomunikasi dengan baik.
Demikian pula koordinasi dengan Ketua RW dan ketua TPS lain di lingkungan kami dapat berjalan dengan lancar. Meski total kami hanya bertemu tatap muka tiga kali, tentu dengan penerapan protokol kesehatan, tugas-tugas dapat ditunaikan dengan baik. Komunikasi melalui grup Whatsapp yang relatif lancar semakin memudahkan koordinasi.
Saya mendapat tugas memberi tanda dengan tinta kepada pemilih seusai mereka menggunakan haknya. Jika pada pemilu-pemilu sebelumnya, pemilih mencelupkan jarinya ke tinta, kali ini tinta dioleskan ke jari mereka.
Pengolesan tinta diiringi dengan penerapan protokol jaga jarak seoptimal mungkin. Meski hal ini sesuatu yang baru, prosesnya relatif berjalan lancar. Para pemilih umumnya agak kaget, tetapi kemudian maklum dan mengerti tata caranya.
Kami di TPS 22 sangat bersyukur tugas dapat ditunaikan dengan baik. Sebelum pukul 15.00, semua proses sudah selesai. Pencoblosan, penghitungan suara, dan penyelesaian administrasi pemilihan berjalan lancar.
Hasil pemilihan kemudian diantarkan Ketua KPPS ke kantor kelurahan diiringi para saksi. Hak politik warga pun dapat tersalurkan dengan penerapan protokol kesehatan seoptimal mungkin. Harapannya, sekecil mungkin muncul kasus baru penularan Covid-19.
Semoga para pemimpin yang terpilih dalam pilkada di mana pun kali ini senantiasa ingat bahwa keterpilihan mereka terjadi pada sebuah masa yang menantang dan sulit. Dengan demikian, dapat menjadi pengingat agar kinerja mereka tidak mengecewakan masyarakat pemilihnya.