Bertemu Istri Santoso di Poso
Setelah membalas salam penulis dan rombongan, Ummi Wardah yang merupakan istri pertama Santoso menyilakan rombongan duduk di ruang tamu. Terlihat anak-anak Ummi Wardah sedang menonton siaran kartun di televisi.
Kelompok teroris Poso kembali berulah. Mereka membunuh empat petani miskin di Kabupaten Sigi, Sulawesi Tengah, Jumat, 27 November 2020. Mereka juga menghancurkan rumah yang dijadikan Pos Pelayanan Gereja Bala Keselamatan. Sebelumnya, para teroris membunuh sepasang petani Muslim di Kabupaten Parigi Moutong, Sulawesi Tengah.
Kelompok teroris tersebut adalah bagian dari jaringan kelompok teror Mujahidin Indonesia Timur (MIT) pimpinan Santoso dengan wakilnya, Barok alias Rangga. Sepeninggal Santoso dan Barok, MIT dipimpin Ali Kalora hingga sekarang.
Pada pengujung tahun 2017, penulis sempat bertemu dengan istri Santoso yang disapa Ummi Wardah. Pertemuan berlangsung di rumah keluarganya di pesisir Kabupaten Poso di dekat jalan trans-Sulawesi. Saat itu, Barok belum lama tewas dalam penyergapan oleh TNI.
Baca juga : Mengikuti Perburuan Teroris di Palu dan Poso
Penulis pergi bersama tim TNI yang menjadi bagian dari Satgas Tinombala yang bertugas di bawah Danrem 132 Tadulako Kolonel (Inf) Saleh Mustofa, kini menjadi Kasdam Jaya di Jakarta. Penulis juga bertemu tim intel di bawah pimpinan Kol (Inf) I Gusti Putu Dany Karya. Saat itu, bersama tim yang berasal dari Kopassus, Raider, Kesehatan, dan Pusat Penerbad, penulis berkeliling Poso dan pedalaman Pegunungan Biru tempat Santoso dan jaringan MIT bersembunyi menyebar teror kepada warga setempat.
Setelah beberapa hari berkeliling Poso dan bertemu sejumlah narasumber, penulis diajak bertemu istri Santoso, yakni Suwarni alias Ummi Wardah. Perwira intel yang mengantar penulis mengajak melewati perkampungan transmigran asal Bali. Perkampungan ini dekat dengan rumah istri Santoso yang orangtuanya berasal dari Yogyakarta. Dia tinggal di sebuah rumah di Desa Bakti Agung, Kecamatan Poso Pesisir Utara, Kabupaten Poso.
Dalam perjalanan mendekati rumah Ummi Wardah, terlihat sanggah tempat sembahyang umat Hindu Bali di kampung Bali. Tidak jauh dari jalan raya di dekatnya, terdapat gereja dan permukiman warga Kristiani.
Setelah membalas salam penulis dan rombongan, Ummi Wardah yang merupakan istri pertama Santoso menyilakan rombongan masuk dan duduk di ruang tamu. Terlihat anak-anak Ummi Wardah sedang menonton siaran kartun di televisi layaknya anak seusianya.
”Saya masih bertemu teman-teman kecil saya yang Hindu dan Kristen. Saya biasa belanja di warung milik teman masa kecil yang berasal dari keluarga Kristen. Mereka tinggal di tepi jalan raya trans-Sulawesi,” kata Ummi Wardah menceritakan kesehariannya yang membuka warung kecil di rumahnya.
Di sepanjang jalur trans-Sulawesi dari Parigi Moutong-Poso-Tentena di dekat Danau Poso dan juga seantero wilayah Sulawesi Tengah, sejatinya hidup bersama antarsuku dan agama menjadi bagian keseharian dan realitas hidup. Warga asli memeluk agama Islam atau Kristiani. Sementara warga transmigran ada yang memeluk agama Islam, Kristen, Katolik, atau Hindu.
Baca juga : ”Mission Impossible” dalam Kecelakaan Pesawat Lion Air
Ketika ditanya tentang pendidikan anak-anaknya, Ummi Wardah mengaku mengirim mereka belajar ke sebuah pesantren. Namun, dia tidak menyekolahkan anak-anaknya ke jaringan pesantren mainstream, seperti Pondok Pesantren (Ponpes) Gontor ataupun jaringan ponpes milik Yayasan Al Khairat yang memiliki jaringan luas dan aktif dalam gerakan perdamaian di Sulawesi Tengah.
”Bukan ke pesantren-pesantren itu,” kata Ummi Wardah yang ditinggal pergi oleh Santoso sejak tahun 2012.
Perwira TNI yang mendampingi penulis kemudian menjelaskan, jejaring keluarga eks MIT ataupun aktivis MIT memiliki komunitas tersendiri yang eksklusif, tidak membaur dengan komunitas pesantren pada umumnya.
Ketika diajak bicara tentang para tokoh Islam, termasuk teladan-teladan dari Wali Songo dan Sunan Kalijaga, Ummi Wardah menyatakan tidak tahu dan tidak mengenal tokoh-tokoh tersebut. Dia pun enggan bercakap lebih lanjut tentang Wali Songo yang secara umum dikenal masyarakat Muslim tradisional, terutama di kalangan komunitas Muslim Jawa.
Percakapan kemudian berlanjut seputar hal-hal ringan tentang anak-anak dan pergaulannya dengan lingkungan sekitar. Perwira TNI yang mendampingi penulis menceritakan, para personwl militer yang bertugas di Poso harus membangun hubungan baik demi meraih kepercayaan, baik dari keluarga anggota teroris MIT maupun masyarakat biasa yang takut nyawanya terancam.
Saat berkeliling Poso, para personel TNI menceritakan bagaimana pascakonflik Poso muncul fenomena mantan kombatan yang dulu menjadi provokator kemudian bertransformasi menjadi deklarator damai. Belakangan, mereka muncul sebagai kontraktor yang terlibat dalam proyek-proyek pemerintah di tingkat provinsi dan kabupaten.
Saling kenal
Wilayah operasi teroris MIT Poso merupakan daerah perkebunan dan perbukitan di sepanjang jalan trans-Sulawesi di kawasan Kabupaten Sigi, Kabupaten Parigi Moutong, dan Kabupaten Poso.
Di sisi utara jalan terdapat dataran rendah yang berbatasan dengan Teluk Tomini. Sementara di sisi barat dan selatan jalan raya terdapat permukiman, kebun, dan hamparan pegunungan. Salah satunya adalah jalur Pegunungan Biru dengan ketinggian 1.000-1.500 meter di atas permukaan laut yang menjadi wilayah persembunyian Santoso.
Baca juga : Pasukan Khusus TNI Terus Bekerja dalam Sunyi
Setelah Santoso ditembak mati anggota TNI dari Satgas Tinombala, dia digantikan Rangga alias Barok yang sering memenggal kepala korban. Sekarang, tampuk pimpinan dipegang oleh Ali Kalora. Mereka mengunggah video-video pemenggalan kepala korban untuk menyebar teror dan ketakutan warga.
Di sana, sebagian besar warga yang berkebun harus tinggal di pondok-pondok yang berlokasi jauh dari jalan raya trans-Sulawesi. Karena hidup terisolasi, mereka takut jika keluarganya diteror atau bahkan dibunuh jika tidak mau membantu para teroris. Warga di sana saling mengenal, termasuk para teroris yang mengenal keluarga setiap warga. Demikian pula, jika warga mencoba memberikan informasi kepada aparat polisi dan militer, mereka khawatir nyawanya bisa terancam.
Munculnya berbagai aksi terorisme di Poso tersebut merupakan residu dari pertentangan antarkelompok anak muda yang berbeda kepentingan. Pertentangan itu berpuncak pada kerusuhan Poso yang terjadi pada Desember 1998 dan terus berlanjut hingga tahun 2000.
Ahmad Ali, Bendahara DPW Partai Nasdem Sulawesi Tengah yang pernah menjadi Panglima Lasykar Mujahidin Poso, mengungkapkan, kerusuhan di Poso sebetulnya diawali oleh pertentangan antara dua kelompok jagoan, bukan antarkomunitas yang taat menjalankan ibadah agama.
”Mereka sama-sama anak ormas. Kebetulan yang satu beragama Islam dan yang lain beragama Kristen. Karena perebutan kepentingan, terjadi gesekan yang kemudian masing-masing membela identitas kelompok. Padahal, aslinya, ini keributan sesama anak ormas,” kata Ahmad Ali yang kini aktif dalam upaya perdamaian.
”Survival” di hutan
Saat menjelajah Poso, para prajurit TNI mengajak penulis menumpang helikopter serbu yang dioperasikan Penerbad. Rombongan mengenakan rompi kevlar untuk mengantisipasi tembakan dari bawah. Saat itu masih ada beberapa kelompok teroris MIT Poso yang bergerak dalam sejumlah kelompok di Poso dan sekitarnya dengan membawa senjata api, pisau, dan pedang.
Helikopter terbang ke Pegunungan Biru dan mendatangi pos aju TNI yang diawaki beberapa prajurit. Setelah itu, penerangan dengan tree top level mendatangi lokasi penyergapan Rangga alias Barok dan kawan-kawan yang membangun bivak di ketinggian lebih dari 1.000 meter.
Untuk menentukan sasaran, yakni kelompok teroris tersebut, Satgas TNI menggabungkan kemampuan tempur rimba, teknologi informasi, dan drone. Dengan data forensik teknologi informasi berupa jejak pergerakan kelompok-kelompok teroris sebelumnya serta operasi intelijen, berhasil ditentukan tiga titik sasaran.
Helikopter Penerbad kemudian membawa satu regu gabungan Kopassus dan Raider TNI AD. Mereka diturunkan di titik duga pertama, yakni sebuah tempat terpencil di Pegunungan Biru dengan teknik fast rope atau meluncur dari helikopter ke dropping zone. Helikopter itu terbang statis pada ketinggian beberapa meter di atas kanopi pohon.
Dari ketinggian, tampak kondisi medan yang khas. Terdapat danau-danau kecil yang dihuni sidat endemik lokal yang disebut sogili. Terdapat juga hewan-hewan kecil lain yang dapat diburu untuk survival di hutan tersebut. Kondisi ini membuat kelompok teroris mampu bertahan lama di hutan.
Selain itu, terdapat banyak tebing dan air terjun di sepanjang jalur pegunungan Biru yang di sisi selatannya mengarah ke Danau Poso dan ke Lembah Bada di arah barat daya. Di lembah yang masuk wilayah Taman Nasional Lore Lindu itu terdapat temuan patung megalitik berbentuk sosok manusia.
Baca juga : Ketika Saya Harus Memotret Jay Subyakto
Kelompok teroris yang diburu bergerak dalam kelompok beranggotakan 4-6 orang. Jika terpaksa harus turun ke permukiman warga, mereka akan datang pada hari Jumat karena saat itu warga pria tengah berada di masjid. Saat itulah, mereka akan meminta atau mencuri bahan makanan.
Demikian juga jika ke perkampungan warga Kristiani atau Hindu, mereka akan turun pada hari Minggu karena warga sedang beribadah ke gereja atau pura. Kelompok teroris pun leluasa mengambil bahan makanan di rumah warga.
Analisis data digital dan data intelijen yang dilakukan Satgas TNI dalam beberapa bulan kerja keras menunjukkan hasil jitu. Tidak lama setelah berhasil menembus hutan rimba seusai mendarat di dropping zone, Satgas TNI mendapati gubuk di sebuah tebing terpencil. TNI segera mengeluarkan perintah kepada penghuni gubuk untuk menyerahkan diri. Namun, yang terjadi justru rentetan tembakan yang dilepaskan dari arah gubuk.
Tim Kopassus dan Raider segera membalas tembakan. Sebagian anggota tim kemudian bergerak melingkar untuk melakukan penyergapan. Terlihat dua sosok teroris meluncurkan diri ke tebing untuk meloloskan diri. Sementara seorang teroris lain tertembak.
Saat sedang ”membersihkan” lokasi, tiba-tiba dari bawah gubuk terdengar tembakan yang mengenai punggung seorang prajurit yang sesungguhnya mengenai plat kevlar, tetapi tetap berakibat luka. Segera para prajurit memberondong tembakan ke arah bawah gubuk.
Saat diteliti dengan saksama, satu dari dua jenazah tersebut adalah Barok alias Rangga yang merupakan tangan kanan dan pengganti Santoso.
Saat diteliti dengan saksama, satu dari dua jenazah yang ditemukan adalah Barok alias Rangga yang merupakan tangan kanan dan pengganti Santoso. Dialah jagal yang selalu memenggal kepala warga yang menjadi korban kelompok teroris MIT Poso.
Melihat medan rimba yang demikian, tidak heran jika kelompok teroris ini mampu bertahan demikian lama. Saya beruntung mendapat kesempatan menjelajah Poso dari dekat karena membuka perspektif lebih luas dalam melihat kasus-kasus terorisme.