Bom Natal Membuat Kami Jadi Loper Koran
Bom meledak di sebuah gereja di Bekasi. Saya masih tenang saja, tidak percaya pada berita itu. Namun, ketenangan itu segera berubah menjadi kepanikan. Ledakan bom juga terjadi di beberapa tempat, bahkan beberapa kota!
Tradisi di harian Kompas, selalu ada halaman khusus setiap kali Idul Fitri, Natal, dan Tahun Baru tiba. Untuk mengelola halaman ini, ditugaskanlah dua wartawan sebagai koordinator.
Untuk Natal 2000 dan Tahun Baru 2001 serta Lebaran 2000, kebetulan saya yang ditugaskan sebagai wakil koordinator liputan. Pada tahun itu, momen dua hari raya ini berdekatan.
Bertepatan dengan malam Natal, Minggu (24/12/2000), setelah melakukan berbagai koordinasi untuk peliputan, saya memilih tetap berada di kantor. Sesuai kebiasaan, kami menugaskan wartawan untuk memantau misa atau kebaktian di sejumlah gereja meski besoknya koran tidak terbit. Rekan-rekan wartawan biasanya akan memantau kondisi, baik di dalam maupun di luar gereja.
Baca juga : Bertemu Istri Santoso di Poso
Setelah mendapat laporan bahwa sejumlah teman telah siap di tempat liputan masing-masing, saya kemudian bergegas mandi. Badan yang berkeringat membuat saya ingin cepat-cepat segar. Setelah mandi, saya kembali ke meja kerja untuk memantau kembali keberadaan teman-teman. Belum lagi duduk santai, saya langsung kaget saat menatap layar komputer di hadapan.
”Hah… ada apa ini???”
Bom meledak di sebuah gereja di Bekasi, kata sebuah berita di laman internet. Meski demikian, saya memilih skeptis, tidak percaya begitu saja sehingga kembali merasa tenang. Akan tetapi, ketenangan itu tak berlangsung lama dan segera berubah menjadi kepanikan. Ternyata ledakan bom terjadi di sejumlah tempat, bahkan di sejumlah kota. Tidak hanya di Pulau Jawa, bahkan juga di beberapa lokasi di luar Pulau Jawa.
Berita demi berita bermunculan dari laman internet. Saat itu, situs berita daring belum banyak. Berita muncul dalam jangka waktu yang tidak secepat sekarang. Apalagi, kala itu belum ada media sosial. Akses internet juga masih terbatas. Meski demikian, kabar daring (online) tergolong cepat dibandingkan berita di televisi. Baru beberapa saat setelahnya, berita bom Natal muncul di televisi.
Malam itu, kesibukan luar biasa terjadi di ruang redaksi. Saya dan koordinator liputan Natal, Pepih Nugraha, langsung berkoordinasi dengan teman-teman di lapangan. Pimpinan dan editor yang berada di rumah kemudian menelepon ke kantor untuk mengecek keberadaan kami. Saya pun mengecek sana-sini untuk memastikan keberadaan teman-teman di lapangan tetap aman dan tidak menjadi korban ledakan bom.
Malam itu, kami hanya bisa memastikan keselamatan teman-teman dan menampung laporan mereka terkait bom Natal. Kami tidak bisa memberitakannya karena koran tidak terbit pada tanggal merah libur hari raya Natal. Meski tidak ada deadline, kami sangat tegang. Tengah malam menjelang dini hari, satu per satu teman-teman reporter kembali ke kantor. Saya lega mereka selamat dan tidak ada yang menjadi korban.
Pagi harinya, sejumlah unsur pimpinan datang ke kantor. Setelah bersalaman sebentar mengucapkan selamat Natal, kami pun berdiskusi. Beberapa teman langsung kembali ke lapangan dan memantau keadaan. Teman-teman yang tidak cuti juga berdatangan ke kantor. Salah satu yang dibahas adalah, bagaimana Kompas merespons keadaan?
Baca juga : Kolor untuk Maryoto
Pada tanggal 26 Desember 2000, Kompas sebenarnya berencana tidak terbit karena tanggal 27-28 Desember 2000 bertepatan dengan tanggal merah libur hari raya Idul Fitri. Setelah berdiskusi, pimpinan kemudian memutuskan yang semula Kompas tidak akan terbit di hari ”kejepit” itu menjadi tetap terbit. Hal itu dilakukan demi melayani kebutuhan masyarakat akan informasi dan perkembangan yang tengah terjadi.
Pimpinan kemudian mengontak bagian lain, mulai dari percetakan hingga bagian sirkulasi. Keputusan ini tidak hanya membuat awak redaksi yang pontang-panting, tetapi juga bagian lain. Mereka terkaget-kaget dan langsung menghimpun sumber daya yang tersedia. Sudah pasti jumlahnya terbatas karena banyak yang tengah cuti Natal dan akhir tahun. Namun, anehnya, mereka sangat bersemangat.
Jam demi jam, semua yang berada di ruang redaksi, mulai dari reporter sampai pemimpin redaksi, kemudian bertemu untuk berdiskusi. Bom yang meledak dalam jumlah banyak dan tersebar memang membuat kami sangat kaget. Informasi demi informasi dikumpulkan. Reporter terus berada di lapangan dan saya berusaha merangkum kabar dari mereka.
Reporter dilengkapi dengan beberapa peralatan. Kompas memiliki beberapa baju yang disebut ”antipeluru” meski sepertinya hanya antitusuk. Baju ini kemudan dipakai beberapa reporter yang saat itu ke lapangan. Saya sendiri pernah mengenakannya saat meliput kerusuhan Ambon tahun 1999. Agak berat, namun demi keamanan tetap dikenakan. Lumayan juga kalau ada serangan, masih bisa bertahan.
Menjelang petang, editor lain berdatangan dan mulai terlibat perbincangan. Mereka memberikan beberapa usulan. Informasi makin jelas dan mengerucut. Rapat sore diadakan dan beberapa item berita yang akan diturunkan telah dirancang.
Pepih Nugraha dan saya sudah menyiapkan halaman untuk edisi ”tiba-tiba” itu. Pemimpim Umum Harian Kompas Jakob Oetama membuat tajuk rencana. Tajuk dikirim dari rumah ke kantor melalui mesin faksimile. Saya kebagian tugas mengetik ulang di komputer.
Baca juga : Saat Wartawan Menjadi Anggota KPPS di Tengah Pandemi
Pagi harinya, koran Kompas terbit delapan halaman. Di halaman depan terdapat enam berita dengan empat berita di antaranya terkait serangan itu. Berita utama di halaman satu berjudul ”Rentetan Pengeboman Dikecam”. Jumlah lokasi pengeboman sebanyak 21 tempat dengan korban 15 orang meninggal dan 96 orang luka-luka.
Belakangan, kita mengetahui bahwa aksi pengeboman itu dilakukan oleh kelompok yang di kemudian hari juga melakukan sejumlah serangan bom di Tanah Air. Aksi mereka lantas mendorong polisi membentuk unit-unit antiteror yang sangat terlatih.
Koran pun selesai dibuat. Lalu, bagaimana mendistribusikannya? Pegawai sirkulasi tidak banyak yang berada di Jakarta. Akhirnya, mau tidak mau, kami menjadi bagian yang mendistribusikan koran.
Semua terlibat, dari mulai pemimpin redaksi hingga mereka yang masih berada di Jakarta alias tidak mudik, ikut membagikan koran secara gratis. Agar tidak membingungkan dan membuat pembaca protes, Kompas menyebut edisi hari itu sebagai ”edisi khusus terbatas”. Disebut terbatas karena koran hanya beredar di Jakarta.
Dengan menggunakan mobil, saya bersama salah satu rekan berkeliling ke beberapa tempat di Jakarta membagikan koran Kompas secara gratis. Beberapa kerumunan massa kami sambangi dan kami berikan koran.
Baca juga : ”Mission Impossible” Saat Kecelakaan Pesawat Lion Air
Kantor polisi yang tetap buka juga kami datangi dan kami tinggali beberapa eksemplar Kompas. Harapannya, koran akan dibaca oleh mereka yang datang. Mereka senang menerima koran yang tak disangka tetap terbit. Beberapa perumahan juga kami sambangi. Para penghuninya dipersilakan mengambil koran.
Namun, ada yang membuat kami kaget sekaligus tersenyum. Beberapa orang lari menjauh ketika kami beri koran. Rupanya mereka takut, mobil kami membawa bom. Cara kami juga yang mungkin salah.
Ada beberapa koran yang terpaksa dilempar karena tujuan sulit dijangkau. Beberapa orang yang kami tawari juga menolak karena mengira kami tengah berjualan. Ada-ada saja. Tak terasa, kami yang wartawan pun menjadi loper. Sesekali boleh juga agar kami paham tentang pembaca.