Wacana ”Finlandisasi” Ukraina dan Fakta yang Membuat Putin Kesal
Di tengah ketegangan Barat-Rusia di Ukraina, muncul wacana diplomatik untuk menjadikan Ukraina sebagai negara netral, seperti halnya Finlandia di era Perang Dingin. Ini untuk meredam ketegangan.
Di tengah ketegangan antara Barat dan Rusia dalam perebutan pengaruh di Ukraina, yang diperkirakan berpotensi memicu perang, muncul tawaran resolusi konflik untuk dunia yang lebih damai. Salah satu model untuk meredakan ketegangan adalah menjadikan Ukraina negara penyangga yang netral antara kekuatan Barat dan Rusia di Timur.
Presiden Perancis Emmanuel Macron, dalam pesawat ke Moskwa untuk bertemu Presiden Rusia Vladimir Putin, Senin (7/2/2022), berbicara tentang upaya meredakan konflik Ukraina. Begitu juga pemimpin Barat lain. Menurut The New York Times, dalam konteks itu Macron menyinggung tentang posisi dan strategi damai Finlandia di era Perang Dingin.
Netralitas Finlandia saat Perang Dingin (1947-1953, yang diabadikan dalam perjanjian damai dengan Moskwa pada 10 Februari 1947) dilaporkan bisa meredakan ketegangan Uni Soviet dengan negara-negara Barat. Perjanjian tersebut memastikan Finlandia tidak seperti negara-negara di Eropa Timur lainnya saat itu.
Baca Juga: Ukraina Bawa Rusia ke Eropa
Negara di kawasan Skandinavia tersebut sejak itu dijamin tidak akan menghadapi invasi militer Uni Soviet dan tentu saja Rusia saat ini. Finlandia pun sepakat untuk tetap berada di luar Pakta Pertahanan Atlantik Utara (NATO) dan mengizinkan Uni Soviet mempengaruhi kebijakan dalam dan luar negerinya.
Model resolusi konflik era Perang Dingin itu, menurut Macron, ”tersedia di meja” untuk meredakan ketegangan Barat dan Rusia di Ukraina. Oleh beberapa pengamat, resolusi konflik atau upaya meredakan ketegangan itu disebut ”Finlandisasi” atau ”model Finlandia”.
Namun, saat bertemu Presiden Ukraina Volodymyr Zelenskyy di Kiev, Ukraina, Selasa (8/2/2022), Macron meralat lagi gagasan atau wacananya yang sudah ”tersedia di meja” itu. Tampaknya, menurut The Times, tawaran solusi era Perang Dingin itu membuat Paris berselisih tidak hanya dengan Kiev, tetapi juga dengan Washington.
Thomas Friedman, kolumnis The Times dan penulis buku-buku tentang Timur Tengah dan globalisasi, masih menyarankan agar Ukraina sebaiknya tetap netral ketika ia membahas Ukraina dan krisis kebijakan luar negeri AS. Posisi itu, katanya, dapat menghilangkan kecurigaan Putin tentang Rusia ”telah dikepung NATO” dan mengakhiri pengerahan militernya secara besar-besaran di dekat perbatasan Ukraina.
Pelajaran dari Finlandia
Apa yang dapat dipelajari Ukraina dari Finlandia di era Perang Dingin? Menurut catatan sejarah, pada Desember 1939, negara kecil Finlandia dengan jumlah militernya juga sangat kecil berhasil menahan serangan Tentara Merah Soviet yang jauh lebih unggul. Mereka berhasil mencegah pendudukan oleh Soviet, negara tetangganya yang jauh lebih besar.
Selama 10 hari bertempur di tengah musim dingin di kota Tolvajarvi, Uni Soviet saat itu, kekuatan militer Finlandia yang berjumlah 4.000 tentara secara ajaib berhasil memukul mundur tentara Soviet yang jumlahnya jauh lebih besar. Saat ini, di tengah musim dingin serupa, negara kecil lainnya, yakni Ukraina, menghadapi kemungkinan agresi Rusia.
Baca Juga: Semakin Kuat Barat Menekan, Rusia Semakin Nekat
Tolvajarvi menjadi titik balik Perang Musim Dingin di Finlandia. Soviet dipermalukan Finlandia. Meskipun harus menyetujui gencatan senjata sekitar tiga bulan, Finlandia tidak pernah menyerah.
”Selama Perang Dingin, Finlandia memang dipaksa untuk menjaga keseimbangan yang rapuh dalam hubungannya dengan Uni Soviet, yang dikenal dunia sebagai Finlandisasi,” tulis Elisabeth Braw, peneliti American Enterprise Institute, Washington DC, di media Foreign Policy, 19 Desember 2021.
Tidak seperti tetangganya, Swedia, yang juga netral, Finlandia tidak diizinkan untuk mempertahankan organisasi pertahanan tambahan (NATO). Kebijakan luar negeri Finlandia pun dipaksa untuk lebih memperhatikan keinginan Moskwa ketimbang Swedia atau negara-negara Eropa Barat lainnya.
”Hal terpenting bagi Finlandia, mereka tetap menjadi negara bebas dan terlepas dari Soviet. Finlandia bersedia merespons dengan kekuatan bersenjata jika Soviet menyerang lagi,” tulis Braw.
Kolumnis Foreign Policy dan surat kabar Belanda NRC Handelsblad, Caroline de Gruyter, mengatakan, gagasan Finlandisasi untuk krisis Ukraina tidaklah tepat karena dua alasan.
Pertama, Ukraina sebenarnya secara de facto sudah merupakan negara netral. Kedua, netralitas Finlandia juga dijamin oleh ”Perjanjian Perdamaian Paris 1947”; Ukraina tidak memiliki pakta perjanjian apa pun dengan Rusia atau juga Barat.
Baca Juga: Tensi Meningkat, Sejumlah Negara Minta Warganya Tinggalkan Ukraina
Ukraina bukan anggota NATO dan Uni Eropa, sekalipun Kiev menaruh harapan besar kepada Barat. Mantan Sekjen NATO Jaap de Hoop Scheffer, seperti dikutip Gruyter, mengatakan bahwa Putin tahu bahwa Ukraina tidak akan menjadi anggota NATO dan sudah menjadi negara penyangga (buffer country).
Mengapa Putin kesal?
Salah satu alasan mengapa Ukraina memiliki sedikit peluang bergabung dengan NATO ialah karena perbatasannya tidak stabil, serupa Moldova dan Georgia. Namun, Putin kesal karena dia tidak ingin bertetangga dengan Ukraina yang netral dan ingin menempatkan Ukraina di bawah ”ketiak” Putin atau lingkup pengaruh Rusia.
Metode Putin untuk mencapai ini adalah agresi dan intimidasi setelah becermin pada kesuksesan mencaplok Crimea dan menduduki wilayah Donbass pada awal 2014. Namun, persoalan itu tidak mudah karena Kiev yang sakit hati terhadap Moskwa telah menginginkan integrasi dengan Barat. Moskwa selalu membantah telah mencaplok Crimea dengan alasan bergabungnya Crimea—yang secara faktual diakui menjadi bagian dari Ukraina setelah runtuhnya Uni Soviet pada 1991—ke Rusia didasarkan pada hasil referendum pada 16 Maret 2014.
Dukungan masyarakat Ukraina untuk bergabung dengan aliansi militer Barat, NATO, semakin besar. Menurut jajak pendapat di Ukraina pada 2021, dukungan untuk keanggotaan NATO ialah 53 persen, naik dari 36 persen pada Agustus 2019 dan hanya 13 persen pada April 2012.
”Tentu saja Putin tambah kesal. Di satu sisi Ukraina tetap menjadi negara netral, tetapi mayoritas warga Ukraina bergerak di luar orbit Rusia. Semakin Putin menekan mereka, semakin mereka melihat ke Barat yang menghargai kedaulatan, demokrasi, dan kebebasan pers mereka,” tulis Gruyter.
Meski Ukraina secara de facto telah menjadi negara penyangga, ternyata itu saja tidak cukup bagi Putin. Dia ingin mengakhiri kedaulatan, demokrasi, independensi Ukraina dan menginginkan Ukraina yang condong ke Rusia. Itu sebabnya dia mengumpulkan sekitar 130.000 tentara di sekitar Ukraina.
Selain itu, membandingkan netralitas Finlandia selama Perang Dingin dengan netralitas Ukraina saat ini juga dinilai keliru. Netralitasnya dijamin perjanjian damai. Selama beberapa dekade, Moskwa mengizinkan Finlandia, dalam netralitasnya yang ketat, untuk tetap demokratis dan mengembangkan lembaga independennya.
Selama bertahun-tahun, Finlandia yang menyadari bahaya permanen untuk memusuhi Rusia juga secara perlahan tapi pasti dapat bergerak dengan leluasa ke Barat. Moskwa membiarkan ini karena netralitas Finlandia dijamin oleh Perjanjian Perdamaian Paris 1947.
Kebebasan Finlandia
Finlandia tidak dapat menjadi anggota NATO, Uni Eropa, atau blok mana pun yang dianggap lebih condong ke Barat oleh Moskwa. Dengan tetap hati-hati menghormati batasan ini, Finlandia memiliki kebebasan untuk mengatur negaranya sendiri. Kebebasan ini diraih selangkah demi selangkah.
Baca Juga: Evakuasi Staf Kedutaan dan Warga dari Ukraina Berlanjut
Perjanjian Perdamaian Paris 1947 menjamin netralitas ketat Finlandia ini dan perbatasannya sepanjang 832 mil dengan Rusia sehingga tidak pernah bersengketa. Selama bertahun-tahun, Finlandia adalah eksportir besar ke Soviet. Moskwa menyebut Finlandia negara yang ramah.
Finlandia hidup di bawah institusi yang kuat dan demokrasi parlementer serta condong ke Barat. Rusia hidup di bawah pemerintahan satu orang atau rezim personalis. Keduanya bertetangga baik.
Kebebasan dan kedaulatan yang menentukan nasibnya sendiri inilah yang tak diinginkan Putin dari Ukraina meski Ukraina de facto adalah negara netral. Tak ada perjanjian antara Moskwa dan Kiev yang menjamin netralitas Ukraina. Hubungan mereka penuh rasa saling curiga dan tidak percaya.
Masalah nyata Putin adalah Rusia sekarang telah menduduki Donbass dan menganeksasi Crimea. Fakta ini merupakan perbedaan mencolok lainnya dengan Finlandia dari Ukraina. Setelah Perjanjian Perdamaian Paris 1947, Tentara Merah Soviet, dan kini Rusia modern, tidak pernah menginjakkan kaki lagi di Finlandia.
Negara-negara bekas Uni Soviet berusaha melarikan diri (atau mencoba) ke Barat setelah robohnya Tembok Berlin pada 1989. Bukan suatu kebetulan bahwa mereka mengajukan keanggotaan di NATO terlebih dahulu dan untuk keanggotaan Uni Eropa setelahnya, hanya Ukraina dan beberapa lainnya tak cepat menggunakan peluang.
Baca Juga: Warisan Perang Dingin di Ukraina
NATO, menurut perhitungan negara-negara itu, akan melindungi mereka dari Moskwa. Polandia dan Hongaria kini mungkin mengalami kesulitan di UE, menguji nilai-nilai dan prinsip-prinsipnya. Namun, tak satu pun dari negara-negara anggota NATO yang dulu berada di kubu Soviet selama Perang Dingin yang mengingkari pentingnya peran aliansi NATO itu.
Putin mengancam akan menginvasi negara-negara yang belum bergabung dengan NATO, menuntut peraturan NATO diubah, dan mendesak pasukan aliansi militer Barat ditarik dari Eropa Timur. Perdana Menteri Hongaria Viktor Orban, yang sering bermain mata dengan Putin dan otokrat lainnya, tidak akan bermimpi untuk memutuskan hubungan dengan NATO.
Apa yang terjadi selanjutnya mungkin baru akan terbaca setelah Rusia selesai menggelar latihan militer bersama Belarus dan latihan solo Angkatan Laut Rusia di Laut Hitam, yang akan segera berakhir pada 20 Februari. Namun, dunia berharap solusi konflik yang damai sebagai jalan terbaik untuk tatanan dunia yang lebih damai pula. (AFP/REUTERS)