Akhir Malam Pelukis Tayuh
Di ujung kematiannya, wajah istrinya sekilas teringat, tapi segera lenyap oleh rasa cemasnya sendiri. Jantungnya terasa rontok setiap kali mendengar letusan senjata. Telinganya pekak oleh orang-orang yang berteriak.
Setelah digiring menuju hutan, Marmo berdiri sekitar lima meter dari bibir sungai di bawah bayang-bayang langit kelam usai hujan di bulan November. Dia tak sendiri. Masih tersisa beberapa tahanan dalam barisannya yang menunggu ajal. Setiap tahanan diikat tangannya ke belakang, dan matanya ditutup kain hitam.
Sementara, satu regu prajurit memegang Bren, berdiri siaga berjaga di sekitar. Dua orang lainnya, tanpa seragam, sibuk mengurusi sekitar dua puluh mayat dengan cara barbar. Mereka menyeretnya ke pinggir sungai, menjajarkannya seperti menjemur batang, kemudian mengangkatnya satu-satu dan melemparkannya ke dalam sungai. Pekerjaan itu membutuhkan waktu hampir satu jam. Kelambanan itu membuat sersan yang memimpin tak sabar.
"Cepat!" Teriaknya seperti petir menyambar.
Marmo berdiri gemetar dengan kepala menunduk, menunggu giliran dengan punggung basah oleh keringat yang merayap di atas kulitnya yang lembab. Ia mendengar arus sungai menderau cepat, ia mendengar sungai yang menelan setiap mayat, dan ia mendengar orang-orang megumpat. Tapi, paling jelas adalah suara degup jantungnya sendiri. Degup itu membuat darahnya menderau seperti sungai di belakangnya. Pikirannya segelap matanya yang tanpa cahaya.
Ada beberapa orang ditangkap bersamanya dua hari lalu. Mereka ditangkap karena menjadi aktivis, atau simpatisan komunis. Tapi, Marmo merasa tak pernah punya hubungan sama sekali dengan politik. Itu sebuah kekeliruan, katanya. Politik seharusnya digunakan untuk meluruskan. Bukan sebaliknya. Ia sudah berusaha menjelaskannya pada Kapten Firman saat mencecarnya dengan perrtanyaan.
“Kamu setan komunis, katakan di mana Parlan!”
“Saya tidak ta-hu,” jawabnya gagap.
“Kamu anggotanya, kenapa bilang tidak tahu?”
“Sa-ya bukan...”
“Setan! Bohong kamu!”
“Benar, Pak..saya hanya pelukis...”
Kapten Firman terlihat sebal dan melangkah mundur, mencari jarak untuk bernafas. Matanya menatap tubuh Marmo yang meringkuk lemas, lalu menyulut rokoknya dengan wajah kesal. Setelah mengibaskan asapnya, lantas bertanya, "memang apa yang kamu lukis?" Marmo mencoba menjawab, tapi mulutnya sulit dibuka. Nafasnya sengal. Wajahnya menunduk. Dari mulutnya meneteskan darah, jatuh membercak di atas lantai, juga di antara sela kakinya.
“Kamu melukis apa?” Kapten itu membentak. Suaranya tak sabar.
“Me-lukis pot-ret, dengan tay-uh” jawab Marmo cepat, tapi terbata.
Kapten itu tertawa sengak. Suaranya serak beriak. Lalu duduk diam di kursi dengan mata melotot. Ujung rokoknya menyala pendar di antara mulutnya yang gelap. Disusul asap putih pekat mengepul dalam remangan cahaya, menyatu bersama bau amis darah, dan bau pesing kecoa. Setelah membuang putung rokoknya, kapten itu bertanya bagaimana caranya dia melukis dengan cara tayuh. Marmo bergerak susah payah sebelum menjawab - menyeret pantatnya, mencari senderan untuk punggungnya yang terasa mau retak. Sesaat kemudian, mulutnya bicara. Ketika itu, tiga bulan sebelum G30S, katanya, istrinya menyodorkan potret rusak padanya. Potret itu tak menyisakan bentuk figurnya, kecuali garis-garis hitam tak utuh. Menurut istrinya, potret itu adalah ayah Parlan, salah satu kenalannya.
“Aku bilang kamu bisa melukisnya,” kata istrinya.
Marmo membenarkan kata istrinya, dan menyanggupi pekerjaan itu. Setelah berpuasa tujuh hari sebagai syarat, pada malam ketujuh, ia mulai melakukan tayuh sebelum akhirnya melukisnya. Saat menayuh itu, ia bertemu dan berbicara dengan mendiang ayah Parlan. Pertemuan itu membuatnya melihat sosok jelas untuk digambar. Ketika pekerjaannya selesai, kata Marmo melanjutkan, figur dalam lukisannya tampak hidup dibingkai kayu nangka. Karena puas, Parlan memintanya melukis potret lainnya.
Marmo memandang sekilas Kapten Firman usai bercerita, menunggu reaksinya. Tapi, perwira itu masih tak bicara hingga beberapa saat. Matanya tak berkedip. Berpikir limbung di antara kutub-kutub prasangkanya, mencari kemungkinan benar salahnya. Pada dasarnya, ia tertarik dengan cara melukis Marmo. Sebuah proses yang menurutnya ajaib. Meskipun kemudian memutuskan setia pada datanya.
“Dalam daftar ini ada namamu,” suaranya terdengar jelas.
Marmo mencoba membantah. "Saya difitnah," katanya dengan suara hampir menangis. Berharap orang itu memahaminya. Tapi kapten itu kembali menegaskan tuduhannya. Telunjuknya memukul kertas di atas meja. Tok! Suranya keras terdengar. Marmo terdiam putus asa, kehilangan kata-kata untuk membela diri. Pikirannya dibingungkan oleh daftar dan orang yang memasukannya. Lalu, mulutnya bergerak-gerak, mencoba mengatakan sesuatu, tapi, ludahnya melengket di sepanjang garis mulutnya yang terbuka. Sementara itu Kapten Firman berdiri menghampirinya.
“Benar kamu bisa melukis dan tayuh?” Tanyanya tiba-tiba.
“Bisa. Saya bisa…” jawab Marmo cepat. Ia merasakan ada harapan dalam pertanyaan itu.
“Kalau begitu, kau lukis foto ibuku.”
Mata Marmo bersinar terang mendengar perintah itu. Ia tak tahu bagaimana nasibnya, tapi merasakan ada sesuatu yang baik dari perintah itu. Marmo ingin mengucapkan terima kasih, tetapi rasa bahagianya justru membuat suaranya tersangkut. Matanya berkabut. Kapten itu memandangnya tak peduli. Setengah jam kemudian, Marmo melihatnya pergi dan tak melihatnya lagi.
**
Deru arus sungai terdengar seperti terbukanya pintu neraka. Pohon-pohon bergoyang meneteskan air bekas hujan, sebagian jatuh menimpa kepala Marmo. Saat itu sudah lewat pukul tujuh malam. Di ujung kematiannya, wajah istrinya sekilas teringat, tapi segera lenyap oleh rasa cemasnya sendiri. Jantungnya terasa rontok setiap kali mendengar letusan senjata. Telinganya pekak oleh orang-orang yang berteriak. Ia kehilangan kemampuan fokusnya seperti saat melakukan tayuh. Di saat itu, tiba-tiba ia mendengar namanya disebut jelas, membuat jatungnya langsung rantas. Kepalanya juga diserang oleh rasa pusing yang membuatnya pingsan.
Saat membuka mata, Marmo kaget melihat sosok gelap berdiri menghadapnya. Tapi, sedetik kemudian, siraman air membuatnya sadar.
“Bangun!” Teriak sersan berkumis tebal, persis di mukanya.
Marmo bangkit perlahan dengan pikiran bingung. Tubuhnya merasakan linu dan perih. Lengannya memar kemerahan. Setelah duduk, otaknya diliputi ingatan yang lamat, hampir tak yakin dirinya masih bisa selamat. Sambil mengelus kepalanya, matanya menyapu ruangan, melihat Kapten Firman berdiri tegak tak jauh dari sisinya. Lalu, matanya beralih pada sersan yang dilihatnya dengan tatapan heran. Ia pernah melihatnya di rumah Parlan. Saat itu, sersan itu tengah bercanda dengan istrinya di halaman depan. Tapi, sebelum tuntas rasa penasarannya, Kapten Firman merogoh sesuatu dari saku celananya dan menunjukan padanya.
“Lihat foto ini,” perintah kapten itu, “apa masih bisa dilukis?”
Marmo menatap kertas seukuran kartu pos itu. Permukaannya hanya seperti tumpahan tinta disapu rata. Figurnya meleleh pias dalam warna hitam yang bias. Potret itu rusak sepenuhnya. Ia menatap lama, susah payah mencoba menemukan garis figurnya.
“Kenapa tak bicara?” Sersan itu membentaknya.
Marmo terperanjat, menganggukan kepalanya.
“Masih bisa,” jawabnya buru-buru.
Kapten Firman tampak puas mendengar jawaban Marmo. Sebelum pergi, dengan suaranya yang tegas memerintahkan anak buahnya itu menjaga. Katanya, berikan semua yang dibutuhkan, dan tembak jika melarikan diri.
Setelah kapten itu pergi, Marmo melihat sersan itu menyeret kursi kayu di antara pintu dengan kebisuan, duduk di atasnya, mengangkat lengan kanannya untuk melihat jam yang menujuk angka sepuluh malam.
“Tahu berapa mayat dibuang hari ini?” Suara sersan itu mengagetkan. Membuat dua lengan Marmo jatuh menggantung sejajar pinggang. Sklera matanya sewarna putih berurat kemerahan. Ia masih ngeri mengingat keadaannya. Marmo menggelengkan kepalanya.
“Dua puluh sembilan anjing komunis,” ujar sersan itu tenang, “harusnya tiga puluh. Kamu itu beruntung sekali. Sialan,” suaranya berubah gusar. Marmo tersenyum pahit medengar itu.
“Aku melihatmu di rumah Parlan,” sersan itu mengubah topiknya. Marmo ingin mengatakan itu juga, tapi dipendamnya, ia tak ingin membuat sersan itu tersinggung. Jadi ia hanya mendengarkan saja.
“Aku kenal istri cantikmu. Kenal dekat, bahkan,” kata sersan itu melanjutkan dengan nada tertentu. Tangannya mengelus pelan kumisnya. Senyumnya genit.
“Katanya, kamu itu lemah,” Sersan itu tertawa mengejek. Mata Marmo berkedip sekali. Ia tak mengerti untuk apa pria itu mengatakan itu, tapi ia merasakan ada sesuatu yang aneh dari ucapannya.
“Dia bilang begitu?” Akhirnya Marmo bertanya penasaran. Tapi, suaranya segera hilang ditelan tawa sersan yang terdengar menyebalkan. Sersan itu memandangnya sebentar, lalu mencoba mengalihkan.
“Berapa lama bisa selesaikan foto itu?”
“Sekitar sebulan setelah tayuh,” Marmo mejawab kaku. Kepalanya dipenuhi bayangan wajah istrinya. Ia tak percaya istrinya mengatakan sesuatu yang jelek tentang dirinya pada orang lain.
“Kapan saya harus mulai?” Tanyanya kemudian.
“Mulai sekarang,” jawab sersan itu serampangan sambil berdiri membuka pintu ruang yang membuat angin masuk memenuhi ruangan, menyentuh atis kulit yang mulai kebas kedinginan. Suara sungai di luar mendesis panjang.
“Saya butuh alat dan persiapan,” kata Marmo bimbang.
“Kalau begitu bersiaplah.”
“Apakah artinya saya boleh pulang?”
Sersan itu melihatnya. Diam sebentar. Matanya menatap tajam.
“Kamu pikir kamu siapa? Kamu ini tahanan!”
Marmo terdiam. Tubuhnya kikuk. Namun kemudian, mencoba menjelaskan bagaimana dirinya harus menyiapkan ritual tayuh. Sersan itu menatapnya tak senang, lantas berjalan menghampirinya dengan langkah seperti jagoan pasar. Sorot matanya berkilat janggal, lalu dengan suaranya yang tajam, mengatakan sesuatu yang membuat dada Marmo merasakan sakit seperti diterkam macan. Mata Marmo berkilat menatap sersan, tubuhnya meradang demam. Sersan itu membalas tatapan itu dengan tawa yang terdengar menjengkelkan.
Marmo duduk termangu dengan pantat gelisah, memikirkan dalam-dalam semua ucapan sersan yang membuat rasa syukurnya menghilang. Wajahnya yang pucat terlihat seperti onggokan sampah di depan rumah. Pengakuan sersan itu sulit sekali dicerna oleh akalnya, tapi memaksanya merasakan sesuatu yang jauh lebih buruk dari semua jenis ancaman kematian.
“Baik, kamu boleh pulang?” Kata sersan itu tiba-tiba, menyela rasa perihnya .
Marmo tak menghiraukan. Tubuhnya kaku tak bergerak, jiwanya lunglai terjebak dalam gejolak marah yang tertahan. Otaknya mencoba terus menyangkal bahwa istrinya sudah menghianatinya, tapi itu sia-sia. Dalam gelombang hinaan yang dirasakannya, pikirannya terseret arus ingatan ketika istrinya tertawa di depan sersan. Meskipun berusaha terus menyangkal, tapi pikiran itu justru membuat hatinya menjadi semakin tak karuan.
Menjelang pukul dua di akhir malam, sersan itu memaksanya masuk ke dalam Jeep. Katanya dia akan mengantarnya pulang. Mata Marmo ditutup kain hitam, sesaat kemudian ia merasakan tubuhnya bergetar bersama suara mesin yang dinyalakan. Setelah satu jam perjalanan yang dipenuhi oleh angin dan kekosongan, Jeep itu berhenti. Mesinnya dimatikan.
“Pulang, jalan kaki sekarang,” sersan itu mendorongnya setelah membuka ikatan kain di matanya.
Pikiran Marmo kosong. Ia tak merasakan langit yang kelam, pohon-pohon yang tegak membayang, kelebatan burung malam, dan kepak codot yang menampar dahan. Tubuhnya ringan mengawang. Meskipun mendengar sersan itu mengulang pesan Kapten Firman, ia tak lagi menghiraukan. Matanya berkunang, dan semua hasratnya menghilang bersama hembusan angin malam. Sekitar empat langkah hitungan, telinganya mendengar mesin Jeep dinyalakan, disusul sorot cahaya terang benderang. Sinarnya lurus menyilaukan, menyorot tubuhnya yang pecah menjadi bayangan. Lalu, di antara langkahnya yang goyang, telinganya berdenging oleh letusan senjata berulang. Sesaat kemudian, Jeep itu menderu di jalanan. []
Catatan:
Tayuh dalam ilmu kejawen adalah cara berkomunikasi dengan sesuatu yang gaib untuk mendapatkan jawaban atas suatu hal. Beberapa pelukis Jawa menggunakan cara itu.
Ranang Aji SP menulis fiksi dan nonfiksi. Karya-karyanya diterbitkan pelbagai media cetak dan digital. Dalang Publishing LLC USA menerjemahkan dua cerpennya ke dalam bahasa Inggris. Naskahnya berjudul “Sepotong Senja untuk Pacarku: Antara Sastra Modern dan Pacamodern, Makna dan Jejak Terpengaruhannya” menjadi nominator dalam Sayembara Kritik Sastra 2020 oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa Kemendikbud. Buku Kumcernya Mitoni Terakhir diterbitkan penerbit Nyala (2021), peserta Kelas Cerpen Kompas 2018, Kompas Institute. Tinggal di Magelang. IG: Ranang_Aji_SP.
I Made Somadita lahir di Tabanan, Bali 1982. Lulusan ISI Denpasar ini tinggal dan bekerja di Denpasar, Bali. Sejak 2002 setidaknya sudah lima kali pameran tunggal, dan Pameran bersama di berbagi negara Asia, dan Eropa. Pernah mengikuti program residensi seni dalam kurun waktu 2011-2015 di Thailand, Perancis, Belanda, India, dan Indonesia.