Sepasang Lembu Ibu dan Wak Lam
Hari-hari berikutnya Wak Lam masih saja berkunjung, atau boleh dikatakan singgah, ke rumah kami. Kedatangannya terkadang hanya ingin mengetahui apakah kami baik-baik saja atau tidak.
Ibuku selalu pulang pukul enam sore dari ladang dengan mengendarai motor tua yang kondisinya sangat menyedihkan: tempat duduknya robek di berbagai sisi sehingga busa kuningnya menyembul ke luar, dua kaca spion pecah, lampu depan dan belakang tidak berfungsi, bodi rangka sudah copot. Tapi kata ibu, motor warisan ayah itu masih tangguh mendaki jalan berbukit dan kuat menghadapi jalan berlumpur serta berlubang.
Saat pulang, ibuku selalu membawa sekarung rumput di belakang sepeda motornya. Biasanya ibu langsung memasukkan rumput itu ke kandang lembu milik kami. Setelah itu ibu mandi dan menunggu waktu shalat Maghrib.
Ibuku berusia empat puluh tahun, dan menjanda sewaktu aku duduk di bangku kelas dua sekolah menengah atas. Persisnya satu tahun yang lalu. Ayahku meninggal dibunuh orang. Jasadnya ditemukan di depan rumah kami di pagi hari. Sampai saat ini, polisi kecamatan belum bisa mengungkap siapa pelaku dan apa motifnya membunuh ayah. Aku dan ibu tentu sangat bersedih atas kematian ayah, tapi yang lebih berduka itu adalah adik laki-laki yang bernama Agus, yang usianya terpaut lima tahun denganku. Ia seperti tidak siap kehilangan ayah. Sejak ayah meninggal, ia sering melamun dan suka mengurung diri. Bahkan ke sekolah, ia jarang pergi.
Ayahku tidak mewariskan banyak harta setelah kematiannya. Selain sepeda motor tua itu, ayah meninggalkan seekor lembu betina yang setelah kepergian ayah kini dirawat ibu.
”Hanya lembu ini harta warisan ayahmu yang sangat berharga. Ibu mesti memberinya makan yang banyak biar badannya cepat besar,” ujar ibu di saat aku mencoba membantunya membukakan pintu kandang pada sore yang gerimis.
”Beberapa bulan ke depan lembu warisan ayahmu ini sudah bisa dikawinkan. Ibu sudah bicara dengan Wak Lam. Ia punya sapi jantan. Ia izinkan sapi jantannya menginap di kandang kita ini untuk beberapa hari,” tutur ibu lagi.
Rumah Wak Lam tidak jauh dari rumah kami. Dulu ia kawan karib ayah. Sama-sama menjadi petani seperti ayah. Ladangnya juga berdekatan dengan ladang ayah. Aku tidak bisa menyimpulkan apakah ia teman ayah yang baik atau bukan. Sebab, sebagai anak perempuan menjelang dewasa, aku tak pernah bicara dengannya. Meski setelah kematian ayah, ia sering ke rumah untuk menguatkan kami, tentu ditambah dengan kata-kata penuh simpati dan pituah.
”Sebagai teman ayah kalian, aku tentu akan mencoba memberikan sesuatu bila kalian butuhkan. Dan semoga ayah kalian ditempatkan di tempat yang layak. Ayah kalian adalah orang baik, penyayang, dan sangat mencintai keluarga,” ujar Wak Lam di rumah kami.
Hari-hari berikutnya Wak Lam masih saja berkunjung, atau boleh dikatakan singgah, ke rumah kami. Kedatangannya terkadang hanya ingin mengetahui apakah kami baik-baik saja atau tidak. Lebih sering ia berbicara lewat jendela, lalu setelah tahu kami baik-bak saja, ia akan segera pergi. Jikapun ia agak lama berdiri di depan rumah, itu karena ia ingin tahu perkembangan adik laki-lakiku.
Sejak kematian ayah, Wak Lam memang sering berpesan pada ibu agar adikku itu jangan dibuat bersedih atau jangan dimarahi. Kata Wak Lam, mungkin adikku itu perlu ketenangan hati untuk menyendiri. Itulah sebabnya ibu lebih sering membiarkan adik laki-lakiku itu di kamar. Bahkan, ibu pun tidak memaksa dengan keras hati jika ia kini tidak mau lagi bersekolah.
”Mungkin saran Wak Lam tidak cocok buat Agus,” kataku sekali waktu pada ibu.
”Ibu harus lebih sering mengajaknya bicara. Mungkin ada sesuatu di hatinya yang mesti ibu dengar.”
”Ia bukan anak kecil lagi. Nanti juga ia akan terbiasa ayahmu tidak ada. Itulah ayahmu, dulu suka memanjakannya. Jadi begitulah jadinya,” ujar ibu.
Ayahku dulu memang sangat dekat dengan adik laki-lakiku itu. Ayah sering membawanya pergi jika tidak sekolah. Di hari Minggu, ayah pasti membawanya ke ladang. Jika ada perlombaan sepak bola antarkampung, adikku itu tidak akan pernah lupa diikutsertakan.
***
Suatu sore, sehabis dari ladang, ibu akhirnya mengambil kesimpulan jika Wak Lam adalah orang baik. Tapi aku tidak yakin dengan semua penjelasan ibu.
”Wak Lam memberikan kita satu karung beras hasil panennya. Hanya Wak Lam teman ayahmu yang baik,” ujar ibu sehabis pulang dari ladang. Hari itu ibu memang terlihat memikul sebuah karung di pundaknya. Ibu terlihat senang. Tapi dari pintu kamar, tiba-tiba adik laki-lakiku itu menyeru ibu.
”Wak Lam bukan orang baik. Ia pernah menendang pantatku,” ujarnya.
Kami memandangnya. Kami keheranan mengapa ia mau menanggapi pembicaraan ibu. Bukankah selama ini ia lebih banyak diam dan malas diajak bicara?
Sehabis menjatuhkan karung berisi beras di pundaknya, ibuku lalu mendekatinya
”Wak Lam orang baik. Ia membantu kita. Kamu harus belajar menghargai orang. Ibu harap kamu jangan mengurung diri lagi. Pergilah ke luar rumah. Teman-temanmu pasti sudah merindukanmu,” bujuk ibu.
Ia tidak menyahut, ataupun menyetujui saran ibu. Ia hanya memutar tubuh dan berbalik ke dalam kamarnya.
Ibu hanya terdiam melihat kepergiannya. Setahun sudah ia lebih banyak di kamar. Badannya hampir tidak terurus. Rambutnya sudah panjang sebahu. Kini ia sudah putus sekolah.
”Ibu cemas melihat adikmu. Ibu takut jiwanya benar-benar terguncang setelah kematian ayahmu,” keluh ibu dengan raut sedih.
”Ibu lebih percaya Wak Lam daripada dia. Ibu terlalu sibuk ke ladang. Pergi pagi pulang sore,” kataku.
”Kalau tidak ke ladang kita makan apa?” balas ibu dengan suara membentak.
”Kamu bisa apa? Apa kamu bisa mencangkul di sana?”
”Ibu tidak hanya mencangkul di ladang. Tapi kata orang ibu sering duduk bersama Wak Lam.”
”Anak kecil tahu apa kamu. Wak Lam sering membantu kita. Ia hanya membantu ibu berladang.”
”Membantu kenapa berduaan.”
Ibu lalu berlari ke arahku. Ibu menampar pipiku. Rasanya sakit sekali. Dengan kesal kularikan tubuh ke kamar.
Aku mengunci pintu dengan tangan kiriku yang selama hidup kugunakan untuk segala keperluan. Tangan kananku tidak pernah kulihat sedari kecil. Dengan keterbatasan tubuh membuatku terkadang kesulitan melakukan suatu pekerjaan.
Namun bukan kekurangan fisik itu yang kutangisi kini. Gosip perihal ibu dengan Wak Lam membuatku seperti terhina. Sering kali ketika di warung atau di saat melintas di jalan kampung, ada saja suara-suara yang seperti menyindirku.
”Itu anaknya Sri, selingkuhan Wak Lam.”
”Suamiku sering melihat Sri dan Wak Lam di ladang.”
”Mereka berduaan? Padahal Wak Lam masih punya istri.”
”Mereka bukan berduaan, tapi bertiga dengan setan, he-he....”
”Sungguh celaka….”
Aku merasa sedih dan malu. Apakah ibu tega membuat aib dalam hidupku?
Berbulan-bulan berikutnya ibu tidak pernah hirau dengan segala gosip perselingkuhannya dengan Wak Lam. Bagi ibu, perbuatan kita lebih penting daripada mendengar omongan orang. Makanya, setiap Wak Lam berkunjung ke rumah, ibu tidak pernah melarangnya. Bahkan ibu selalu menyambutnya dengan sukacita. Hanya aku yang memendam rasa jengkel di hati.
Satu minggu setelah lembu betina milik almarhum ayahku melahirkan. Suatu bencana di kamar adikku terjadi. Adikku mengamuk di kamar. Semua barang dibantingnya. Ia juga berteriak dan menceracau. Sesekali ia memanggil ayah. Lain kali pula ia mendesis-desis seperti ular. Suaranya sangat keras sekali. Para tetangga berdatangan. Ia bukannya berhenti, tetapi kemudian seperti orang kesetanan. Ia berlari-lari di dalam rumah. Lalu kabur ke jalan kampung.
Atas saran kepala kampung, adikku dibawa ke sebuah rumah sakit jiwa yang ada di kabupaten. Dokter di sana menyarankan agar adikku dirawat inap demi kesembuhannya. Sejak itu, di rumah hanya ada aku dan ibu.
Suatu malam Wak Lam berkunjung. Kali ini ia ingin duduk di dalam rumah. Katanya ada hal yang ingin disampaikan.
”Ini tentang anak lembu,” ujar Wak Lam memulai.
Aku dan ibu hanya terdiam.
”Anak lembumu hanya satu. Itu yang sedang kupikirkan. Maksudku, bagaimana cara membagi duanya antara kau dan aku,” ujar Wak Lam pada ibu.
”Tunggu saja anak lembu itu besar Wak Lam. Kalau sudah besar baru dijual,” jawab ibu pula.
”Begini, aku punya pikiran lain, bagaimana kalau tidak hanya lembu saja yang kita jodohkan, tapi, maksudku, bagaimana antara aku dan kau juga.”
”Maksud Wak Lam?”
”Maksudku, ya, kita kawin.”
Ibu terdiam mendengar kata-kata Wak Lam, sedangkan aku bagai kilat yang menyambar. Sampai-sampai gelas yang kupegang jatuh ke lantai. Dan kulihat ada niat jahat di mata Wak Lam. Aku berpikir, apakah Wak Lam yang telah membunuh ayah?
Ibu terus terdiam dan belum menyeru, sedangkan Wak Lam malam itu seperti seekor rajawali di depan ibu. Lamunanku baru tersentak ketika samar-samar kudengar dari luar rumah banyak sekali suara-suara.
”Mereka mesti dinikahkan….”
”Mereka berzina di ladang….”
”Dasar Wak Lam….”
”Dasar lembu perempuan….”
Banda Aceh, 2021
Farizal Sikumbang lahir di Padang. Buku kumpulan cerpennya Kupu-kupu Orang Mati. Berdomisili di Banda Aceh.
Muthia Kusuma Radjasa lahir di Semarang, 9 Oktober 1995. Sejak kecil menyukai pelajaran menggambar dan selepas SMP melanjutkan ke Sekolah Menengah Seni Rupa Yogyakarta (2015), kemudian kuliah di Institut Seni Indonesia (ISI) Yogyakarta, lulus 2021. Skripsinya berjudul ”Penciptaan Karya Lukis Berbasis Gaya Dekoratif Naif Bertemakan Teman Imajinatif”. Tahun 2021 berpartisipasi dalam Pameran Bali Megarupa III ”Wana Cita Karang Awak”.