Kardigan
Kupikir tak ada satu pun kenangan di masa mudaku yang tak terkait dengan kardigan ini. Salah satunya waktu aku menyadari ruangan tiga kali tiga meter, kamarku yang baru di perantauan, tiba-tiba terasa begitu mencekik.
Rasanya mirip air mata yang asin. Semula kupikir begitu, namun kurasa aku salah. Kardigan dan kaus yang lengket di tubuh membuatku yakin kalau aku tak menangis. Panas dini hari ini membuat tubuhku basah kuyup. Keringat yang terbit dari dahi mengalir hingga mataku.
Pukul tiga pagi dan rasanya gerah sekali. Padahal, semalam aku kedinginan. Kardigan tua itu kulepas, kutaruh di meja samping tempat tidur. Kurasa selimut ini juga membuatku bertambah gerah. Aku duduk di pinggiran tempat tidur, mengucek mata yang masih mengantuk sambil melipat selimut tipis di sampingku.
Ini adalah dini hari ketiga. Urutannya sama. Aku berangkat tidur dengan tubuh kedinginan sehabis mandi malam, sepulang bekerja. Memakai kardigan tua yang usianya lebih dari separuh usiaku. Memasang selimut yang sama tuanya. Dua benda yang kubawa dari kampung halaman menuju tempat perantauan tepat saat usiaku 19 tahun. Saat aku mulai menjalani kehidupan sebagai mahasiswa di sebuah kota yang sangat jauh dari tempatku dilahirkan.
Aku menyebut kardigan ini pakaianku, salah satu kebutuhan pokok ketika aku masih ditakdirkan menjadi manusia. Kardiganku ini tak perlu berubah menjadi tanda modernitas seperti jeans, t-shirt, stiletto, atau sneakers-ku yang kerap berganti demi menyenangkan manusia lain. Kardigan ini tak pernah kupakai untuk menyenangkan siapa pun. Dia hanya ada untuk diriku.
Aku tak pernah membawa kardigan ini keluar kamar. Sebab, begitu keluar kamar, aku akan memakai kardigan lain. Aku kerap berganti baju secepat etalase toko fashion dekat tempatku tinggalku mengeluarkan produk terbaru.
Nah, kardigan tua ini pengecualian. Dia selalu ada di kamarku. Kucuci dua pekan sekali, tepat pada pagi hari agar bisa segera kujemur dan malamnya bisa kupakai lagi tanpa perlu disetrika. Selimutku sama saja. Polanya maksudku. Selimut tipis itu selalu kucuci pada pagi hari sehingga malamnya sudah bisa kupakai kembali.
Sayangnya, terkadang, alam tak selalu ingin bersahabat denganku. Hujan bisa turun berhari-hari sehingga kardigan tua itu tetap basah meski sudah berjam-jam tergantung di tiang jemuran. Ketika itu terjadi, aku hanya bisa memandang kardigan yang basah itu dengan pasrah.
Akhirnya aku memang harus memakai kardigan yang lain saat tidur malam. Tentu saja tak adanya kardigan tua kesayanganku itu membuat banyak perbedaan. Walau gelap malam tetap dengan mudah membuat mataku terpejam, namun kardigan asing sering kali membuat mimpiku menjadi lebih beragam dan berantakan. Apakah itu tandanya aku tak tenang? Entahlah. Yang jelas aku merasa ada sesuatu yang hilang.
Kupikir tak ada satu pun kenangan di masa mudaku yang tak terkait dengan kardigan ini. Salah satunya waktu aku menyadari bahwa ruangan tiga kali tiga meter, kamarku yang baru di perantauan, tiba-tiba terasa begitu mencekik. Waktu aku menyadari bahwa dalam satu hari saja langkahku tiba-tiba saja menjadi sangat terbatas dari kamarku menuju kamar mandi atau kamarku menuju kampus. Waktu aku tiba-tiba menyadari bahwa sofa coklat di kampung halaman, tempat aku biasa duduk sambil membaca novel dan menyeruput teh panas manis buatan ibu begitu kurindukan. Waktu aku mulai mempertanyakan lagi keputusan yang pernah kubuat dengan gagah berani untuk mengambil perguruan tinggi yang jauh dari kampung halamanku. Jadi sudah benarkah keputusanku?
Kugigit bibirku keras-keras sambil bergegas menuju kamar. Meringkuk di kasur yang digelar di lantai, memakai kardigan yang dibelikan ibu dari Pasar Klewer dan selimut baru yang rasanya masih tertinggal sentuhan tangannya. Sejak itu, berbulan-bulan kemudian, kardigan dan selimut itu tak pernah kucuci supaya aku bisa tetap merasakan kehadiran ibu di sampingku. Kehidupanku berubah semenjak menjadi mahasiswa, namun kardigan itu tidak.
Lalu, aku juga masih ingat bagaimana kardigan itu memelukku erat di hampir sepanjang perjalanan malam menuju kampung halaman, beberapa tahun kemudian. Ayah mengabarkan padaku bahwa ibu telah berpulang pada hari Minggu yang hening. Ibu menyerah kalah ketika tabung oksigen yang dibawa ayah dari apotek datang dengan sangat terlambat. Apotek banyak yang tutup pada hari Minggu.
Aku menyambar kardigan tua kesayanganku, memasukkan beberapa baju dengan tergesa-gesa di ransel merah, lalu meneleponmu. Kamu adalah laki-laki yang sangat mirip dengan kardiganku. Nyaman dan selalu hangat.
”Ibu pergi,” ujarku terbata. ”Aku pulang malam ini,” lanjutku sambil menangis dan terus menangis di pelukanmu sepanjang perjalanan malam itu. Bus malam melaju sangat kencang menembus jalanan yang lengang dan tampak asing. Kardigan dan lenganmu yang kokoh menopang tubuh dan kesadaranku yang limbung.
--
Aku mengusap dahiku yang terus saja berkeringat. Detak jam yang tegas dan kegelapan yang mengurung berhasil mengaburkan waktuku. Masa lalu, masa kini, dan kegelisahan mengenai masa yang akan datang bercampur-baur menjadi satu. Aku merasa seakan melangkah mundur meski saat itu aku sebenarnya sedang duduk kebingungan di pinggiran tempat tidur dengan pikiran yang melompat-lompat tentang kecemasan masa depan sekaligus kasarnya kulit permukaan masa lalu.
Kardigan tua itu terlipat rapi di pangkuanku. Tiba-tiba saja pikiranku melompat pada lengan kokohmu. Hidungku juga dengan mudah membaui jejak aromamu. Dan kini aku bahkan mulai merasa bisa mendengar lagi setiap kata-katamu.
Kugigit bibirku keras-keras sambil bergegas menuju kamar. Meringkuk di kasur yang digelar di lantai, memakai kardigan yang dibelikan ibu dari Pasar Klewer dan selimut baru yang rasanya masih tertinggal sentuhan tangannya. Sejak itu, berbulan-bulan kemudian, kardigan dan selimut itu tak pernah kucuci supaya aku bisa tetap merasakan kehadiran ibu di sampingku. Kehidupanku berubah semenjak menjadi mahasiswa, namun kardigan itu tidak.
”Aku akan menikah bulan depan. Bagaimana aku harus mengatakan sesuatu yang sangat tidak ingin kukatakan, sayangku?” Laki-laki itu mendatangi tempat kosku malam-malam dengan suara bergetar dan wajah kusut yang tak bisa kugambarkan.
Aku menelan ludahku sendiri. Sejujurnya, aku sudah menduga akan mendengar kalimat semacam itu dan sekaranglah saatnya. Laki-laki itu, yang lengannya senyaman kardiganku akan menikah, dan calon istrinya bukanlah diriku.
Calon istrinya sebenarnya orang yang telah aku kenal betul. Dia adalah gadis manis yang sangat mengidolakan lelakiku. Dan lelakiku itu tak bisa menolaknya.
Sebagai mahasiswa yang hidup dari sokongan beasiswa, aku tahu sekali bahwa lelakiku itu tak akan bisa menyelesaikan kuliah tanpa bantuan ibu sang gadis. Seorang wanita tua yang sangat menyayanginya, yang kerap menggratiskan kamar kos untuknya, dan yang kerap membantu segala keperluannya hingga ia bisa memiliki foto dengan senyum lebar dan toga yang menghias kepala.
Hidupku lantas menjadi asing. Perasaan asing sama ketika aku memasuki kamar pertamaku di perantauan; atau saat aku menempuh perjalanan malam di bus yang melaju kencang bersamamu; atau juga saat melihat bapak menguruk tanah, meninggalkan ibu di peti dalam kesendirian. Segalanya mendadak menjadi abu-abu, keras, dan dingin.
Aku meraih kardiganku. Memeluk erat diriku sendiri dan meringkuk di sudut kamar, berupaya mencari kenyamanan di tengah semua hal yang asing. Air mataku telah kering saat jariku menghapus semua nomormu di ponselku. Dua tahun lalu aku telah kehilangan ibu yang tak meninggalkan pesan apa pun untukku dan kini aku kehilanganmu. Aku hanya ingin menjadi kuat seperti bapak yang mengangkat peti ibu, memasukkannya dalam liang, lalu melangkah pergi.
---
Gadis kecil itu menggoyang tubuhku berkali-kali sambil menciumi pipiku. Aku tak bisa bersikap keras kepala dengan melanjutkan tidurku di hari Minggu yang sebenarnya adalah hari favoritku untuk bangun sangat terlambat.
”Tapi Mama kan berulang tahun hari ini. Jadi Mama harus bangun. Dan lihat Mama, lihatlah apa yang aku belikan untukmu,” jerit gadis kecil itu sambil tertawa tanpa henti. Dia adalah gadis 10 tahun yang sangat ekspresif, sifat yang sama sekali tak kumiliki. Ah, dia mengambil sifat itu darimu tanpa pernah kamu tahu. Dan aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk menyimpan rapat-rapat rahasia ini sampai kapan pun.
Kali ini aku benar-benar terbangun dengan perasaan campur aduk. Aku sungguh lupa kalau ini adalah hari ulang tahunku. Sungguh tak kusangga anak perempuanku yang justru mengingatnya.
Baca juga : Berlindung di Bawah Payung yang Robek
”Ini untuk Mama,” kata dia sambil menyerahkan sebungkus kado untukku.
Aku menerima kado itu dan segera membukanya. Di balik kertas kado aku melihat boks kecil yang di dalamnya terdapat kardigan warna coklat tanah. Warna kesukaanku.
”Mulai sekarang aku harap Mama memakai kardiganku. Kardigan lama Mama yang tipis itu dibuang saja. Mama kan cantik, masa pakai pakaian jelek,” kata dia sambil membuka satu per satu kancing kardigan itu lalu memaksaku memakainya.
Aku menurut saja. Kupakai kardigan baru itu dengan bantuannya. Tawa gadis kecil itu tak bisa berhenti waktu melihat kardigan yang dia beli dengan uang tabungannya tersebut sungguh pas dengan tubuhku.
”Ah, Mama, Mama sungguh cantik sekali. Nah, kardigan lama itu kubuang saja ya. Kardigan itu kusut sekali Mama,” kata dia sambil memelukku. Rengkuhan dia begitu kuat hingga aku tiba-tiba saja bisa kembali merasakan lengan kokohmu yang mendekapku di sepanjang perjalanan malam itu. Aku bahkan juga bisa merasakan dekapan ibu saat melepaskanku di perantauan, pun dekapan Bapak waktu aku pulang ke kampung halaman dengan perut besar sendirian. Seorang wanita tanpa suami.
***
Ayu Prawitasari merupakan jurnalis yang tinggal di Solo.