Mengapa Virus Itu Bertandang ke Kampung Kami?
Abah Rokandi lama termenung. Bagaimana caranya ia menjelaskan semua itu kepada warga kampung? Mereka yang selalu sigap bahu-membahu menolong siapa pun yang tertimpa musibah.
Hari belum terlalu matang, tetapi langit begitu kelam. Kumulonimbus menyelimuti matahari yang hendak berpulang. Musim kemarau yang basah. Titik-titik air mulai berjatuhan membuat bulatan-bulatan di empang, tatkala seorang pria berjalan gontai keluar dari masjid. Itu Abah Rokandi, lurah di kampung yang bertetangga dengan Sungai Citanduy itu.
Abah Rokandi baru saja menyebarkan berita duka lewat pengeras suara. Salah satu warganya, Abah Maman, yang juga teman sepermainannya sejak kecil, telah lebih dulu digandeng Malaikat Izrail. Memang sudah dua hari Abah Maman mengeluh kurang enak badan. Dadanya terasa nyeri katanya. Abah Rokandi mengira Abah Maman hanya sakit biasa, kecapian seperti orang pada umumnya.
Tadi malam selepas shalat Isya, di teras masjid, mereka masih menghabiskan waktu bersama, ngadu bako[1] seperti biasanya.
Namun, tiba-tiba saja tadi subuh, Abah Maman jatuh pingsan. Mantri desa yang memeriksanya menganjurkan agar Abah Maman segera dirujuk ke rumah sakit umum daerah. Maut memang sering kali datang tiba-tiba tanpa diduga. Sekitar empat puluh menit lalu, Abah Rokandi mendapat kabar lewat sambungan telepon tentang berita duka itu. Rasa terpukul Abah Rokandi semakin menjadi saat mendengar kabar lain yang tak kalah mengejutkannya.
”Saya dapat amanah dari Ibu untuk mengabarkan berita duka ini kepada orang di kampung. Tapi, Abah enggak usah repot-repot mengurus keperluan pemakaman dan yang lainnya. Sebab jenazah Bapak tidak bisa dibawa pulang.”
Kendati Abah Rokandi tidak fasih berbahasa Indonesia, telinga tuanya masih bisa menangkap apa yang disampaikan laki-laki di seberang sana, yang tak lain adalah anak Abah Maman. Saat sambungan telepon terputus, Abah Rokandi terkulai lemas, sudut matanya basah, bahunya pun berguncang. Abah Maman ternyata positif terpapar covid-19. Oleh karena itu, jenazah Abah Maman akan dikebumikan di pemakaman khusus covid. Bagaimana mungkin ini bisa terjadi? Abah Rokandi masih tak mengerti. Padahal kampungnya itu berjarak ratusan kilometer dari kota yang menjadi sarang virus rakus itu. Bahkan untuk sampai ke ibu kota kabupaten saja memerlukan waktu sekitar dua sampai tiga jam perjalanan dengan menggunakan angkutan pedesaan.
Saya dapat amanah dari Ibu untuk mengabarkan berita duka ini kepada orang di kampung. Tapi, Abah enggak usah repot-repot mengurus keperluan pemakaman dan yang lainnya. Sebab jenazah Bapak tidak bisa dibawa pulang.
Abah Rokandi lama termenung. Bagaimana caranya ia menjelaskan semua itu kepada warga kampung? Mereka yang selalu sigap bahu-membahu menolong siapa pun yang tertimpa musibah. Apalagi, jika ada yang meninggal. Tanpa dikomando warga sekampung sudah tahu apa saja yang harus mereka lakukan. Para pria dewasa berpencar ke masjid, rumah duka, dan tempat pemakaman.
Sementara para wanita dengan cekatan akan menuju pabeasan[2], menyiduk sekitar lima cangkir beras yang kemudian dimasukkan ke sebuah baskom ukuran sedang yang atasnya ditutup sehelai kain, bergegas menuju rumah duka untuk melayat, dan meringankan beban keluarga yang ditinggalkan. Mereka dengan sukarela mengurus persiapan tahlilan yang biasanya diadakan empat puluh hari berturut-turut. Warga di kampung itu diajarkan oleh nenek moyangnya untuk bersahabat dengan takdir, termasuk kematian.
Tidak perlu ada yang ditanggapi secara berlebihan. Sebab setiap yang bernyawa pasti akan mati. Maka sudah turun-temurun, di kampung itu setiap kali ada yang meninggal, selesai dimandikan dan dishalatkan, jenazah harus segera dikebumikan. Jam berapa pun itu, tengah malam sekalipun. Karena mereka yakin bahwa orang yang telah meninggal itu ingin segera sampai di peristirahatan terakhir. Tidak ada istilah menunggu sanak saudara yang jauh.
Namun, kali ini berbeda. Semua warga membisu dan terduduk lemas saat Abah Rokandi menceritakan apa yang sebenarnya terjadi. Butuh beberapa waktu hingga akhirnya mereka bisa menerima keadaan yang menurut mereka tidak masuk akal itu. Warga merasa terpukul saat hanya bisa mendoakan Abah Maman dari jauh, tanpa bisa melihat wajahnya untuk yang terakhir kali. Mereka pun tidak diperbolehkan mendekati rumah duka, meski untuk sekadar mengucapkan belasungkawa.
Wajah orang sekampung hari itu mendung. Hati mereka diliputi perasaan nelangsa. Selama ini, mereka hanya melihat proses pemakaman pasien positif Covid-19 di televisi. Itu pun sudah membuat mereka bergidik ngeri. Saat jenazah dikuburkan begitu saja tanpa diantar keluarga apalagi tetangga yang beriring-iring membawa doa. Kini, mereka mengalaminya sendiri. Suasana kampung semakin mencekam, saat tiba-tiba beberapa orang petugas kesehatan berbaju ninja datang disertai aparat kepolisian. Mereka berkeliling kampung dan meminta semua warga untuk tidak berkerubung, dan tinggal di rumah masing-masing.
Abah Rokandi berbaring di dipan berselimutkan duka. Hatinya semakin pilu, merasa diperlakukan seperti orang tak suci, yang sudah terkena najis. Semua area rumahnya disemprot cairan berbau menyengat, yang membuat tenggorokannya tercekat. Begitu pun yang lainnya, asap putih sejenak mengepul dari rumah-rumah, lalu lesap ditiup angin.
Belakangan, barulah Abah Rokandi mengerti mengapa semua ini bisa terjadi. Selama ini, Abah Maman dan beberapa warga kampung itu memang sudah puluhan tahun mencari nafkah sebagai tukang kiridit [3] di Jakarta. Apa saja mereka bawa ke Ibu Kota untuk dijual secara kredit: sandal, karpet, panci, dan alat rumah tangga lainnya.
Barang dagangan itu mereka ambil dari Juragan Kiridit, setelah sebelumnya harus memberikan BPKB kendaraan, atau AJB tanah sebagai jaminan. Dalam satu bulan, mulai tanggal satu sampai sepuluh, para tukang kiridit itu menyusuri gang-gang sempit di Jakarta untuk menjajakan dagangan sekaligus menagih cicilan dari pelanggannya. Lepas tanggal sepuluh, mereka pulang kampung: bertani, berkebun.
Saat wabah melanda dengan sangat ganasnya, mereka nekat berangkat ke Jakarta. Kebutuhan hidup yang semakin mendesak membuat para tukang kiridit itu berani menjatuhkan diri, menyelam di lautan virus.
Kini, penyesalan sebesar gunung mengimpit Abah Rokandi. Ah, seandainya saja dahulu ia melarang Abah Maman dan rombongannya untuk berangkat ke Jakarta. Mungkin musibah ini tak pernah terjadi. Kala itu, hampir setiap waktu televisi berkicau tentang Jakarta yang berada dalam zona merah. Abah Rokandi tak bisa berbuat apa-apa, saat mobil carteran yang ditumpangi Abah Maman dan empat orang lainnya meninggalkan halaman masjid untuk menuju Jakarta. Ia mengerti mereka pergi dengan perasaan dilema.
Sudah berbilang hari Abah Rokandi berdiam diri di rumah. Bertafakur memohon ampun atas dosa yang mungkin saja ia dan seluruh warga kampung lakukan. Hingga mereka harus menerima ujian yang begitu berat ini. Lingkungan itu sekarang seperti kampung mati. Tidak ada satu warga pun yang berani keluar rumah.
Pun dengan warga dari luar kampung, tidak ada yang berani datang. Mereka masih menunggu hasil swab keluarga Abah Maman, juga keempat warga yang sempat tinggal di kamar kontrakan yang sama dengan Abah Maman di Jakarta. Jika hasilnya negatif, maka warga sekampung bisa bernapas lega. Namun, jika sampai ada salah satu saja yang positif, maka harus diadakan swab massal sekampung.
Baca juga : Mengapa Menangis
”Hayu urang ka puskesmas atuh, Bah,”[4] ajak istri Abah Rokandi. Ia begitu khawatir melihat keadaan suaminya yang beberapa hari belakangan ini batuk-batuk hingga wajahnya yang putih berubah memerah.
Abah Rokandi menggeleng, menolak ajakan istrinya itu. Ia takut ”dicovidkan”padahal mungkin saja batuknya itu hanya batuk kering biasa. Abah Rokandi tidak pernah takut mati. Namun, ia ingin jika saat itu tiba, ia tidak banyak merepotkan. Maka, saat tengah malam ia terjaga dari tidur sebab dadanya terasa sakit, Abah Rokandi tak tega jika harus membangunkan istrinya yang terlelap. Ia menyeret kakinya menuju dapur, lalu menenggak segelas air putih hangat.
Akan tetapi, rasa sakit di dadanya tak juga reda. Ia batuk-batuk hingga badannya membungkuk. Semakin lama, rasa sakitnya semakin menjadi. Abah Rokandi merasa dadanya seolah tertekan beban berat hingga napasnya sangat sesak. Susah payah ia berjalan menuju dipan di samping dapur. Dibaringkan tubuhnya yang ringkih di situ. Dengan sisa tenaga, Abah Rokandi berusaha memanggil-manggil istrinya. Rintihannya itu rupanya tak sanggup menembus dinding mimpi yang membuai istrinya. Hingga akhirnya, Abah Rokandi memilih terpejam sambil terus menyebut Gusti Allah di dalam hati. Sesaat sebelum terpejam, sekilas ia melihat Abah Maman tengah berdiri di depan pintu, melihat ke arahnya sambil tersenyum.***
Catatan Kaki
[1] Saling mencicipi bako/tembakau masing-masing, dan di sela menikmati rokok lintingan itu, mereka mengobrol santai, membahas banyak hal.
[2] Wadah yang biasanya digunakan untuk menyimpan persediaan beras.
[3] Orang yang menjual barang dengan cara dikreditkan.
[4] Ayo kita ke puskesmas, Bah!
Teni Ganjar Badruzzaman lahir di Ciamis, 1988. Ibu rumah tangga yang gemar membaca dan menulis cerita. Cerpen dan cerita anaknya dimuat di beberapa antologi bersama dan media massa seperti Pikiran Rakyat, Kedaulatan Rakyat, Fajar Makassar, magrib.id, dll.