Kuburan Kopi
Segudang tanya kulepaskan jadi napas panjang. Pikiran dan perasaanku silih berganti bertautan.
Tangan legam penuh luka mengayun cangkul tinggi-tinggi, lalu menghunjamkannya sekuat tenaga ke tanah. Joglangan (lubang) yang digalinya melebar mengelilingi larik tanaman kopi. Tidak seperti awal tahun lalu, kini joglangan dibuat lebih lebar dan dalam. Sesekali tangannya menyeka peluh yang bersembunyi di kerut dahi. Cangkul kembali dihunjamkan sekuat-kuatnya, hingga mata cangkul rompal memecah batu.
***
Malam itu, Bapak meneleponku. Lelaki berusia 70-an tahun itu memintaku menemaninya pergi ke bank esok hari. Katanya, Bapak mau pinjam uang untuk menutup utang pada Pak Slamet. Dari temannya, Bapak tahu bahwa bunga bank jauh lebih murah dari bunga utang ke Pak Slamet.
Pak Slamet adalah pedagang kaya raya di kampungku. Ia jadi jujukan semua orang yang mengalami kesulitan keuangan. Tahun lalu, Bapak salah satu di antara mereka. Padahal, berutang di Pak Slamet sama saja masuk jerat. Ibaratnya utang sebiji, nantinya harus mengembalikan dua kali lipat.
Bapak merasa hal itu tak masalah. Ia yakin panen kopi berikut akan bagus dan hasilnya bisa digunakan untuk membayar utang. Bapak paling tahu dengan segala keputusannya.
Masa itu adalah tahun tersulit bagi kami. Cuaca buruk membuat panen kopi jelek, harganya anjlok. Hasil panen pun hanya sepertiga dari tahun sebelumnya. Itu pun, kualitasnya tidak bagus. Biji kopi tidak membesar seukuran biasanya, keropos di sana-sini. Makanya, Bapak memilih tidak menjualnya dan mengonsumsi sendiri kopi miliknya.
Pada masa sulit tersebut, aku diterima kuliah di kota. Sehingga butuh biaya besar untuk bayar SPP dan ongkos kos. Aku kos karena rumahku berjarak 50 kilometer dari kota. Jika aku memilih pergi-pulang tiap hari, akan berat untuk ongkos angkutan.
Semua itu kulakukan demi Bapak dan Ibu. Bapak adalah orang yang menyuruhku kuliah. Ibuku selalu saja membenarkan apa kata Bapak. Padahal, aku tidak setuju. Bagiku, kuliah hanya membuang-buang uang. Tapi, apalah aku di hadapan mereka berdua.
”Kenapa aku harus kuliah saat panen kopi memburuk, Pak. Apa tidak sebaiknya aku membantu Bapak saja, hemat biaya hidup?” tanyaku pada Bapak saat itu. Bapak menjawab, kuliah penting bagiku agar aku bisa mencari solusi agar tanaman kopi lebih banyak berproduksi.
Aku masih tidak terima dengan jawaban itu. Masih ada segudang tanya, seperti kenapa tidak ditunda saja kuliahku dan kenapa aku tidak boleh bekerja di kebun seperti Bapak. Tapi, saat aku hendak bertanya kedua kalinya, Bapak sudah rebah pada dipan kayu di depan perapian. Tubuhnya yang mulai renta meringkuk beralaskan sarung.
Segudang tanya kulepaskan jadi napas panjang. Pikiran dan perasaanku silih berganti bertautan. Mungkin saja, keinginan Bapak menguliahkanku adalah hasrat terdalamnya mengenyam bangku kuliah. Bapak hanya tamatan SMP. Sejak kecil ia sudah masuk ke kebun kopi. Keluarga Bapak adalah petani kopi turun-temurun. Hidup Bapak adalah kopi. Bapak tumbuh dari dan untuk pohon kopi.
Aku masih tidak terima dengan jawaban itu. Masih ada segudang tanya, seperti kenapa tidak ditunda saja kuliahku dan kenapa aku tidak boleh bekerja di kebun seperti Bapak. Tapi, saat aku hendak bertanya kedua kalinya, Bapak sudah rebah pada dipan kayu di depan perapian. Tubuhnya yang mulai renta meringkuk beralaskan sarung.
Apa pun itu, kulakoni saja keinginan Bapak. Karena memang tidak ada yang bisa membantahnya. Toh selama ini, apa yang dilakukan Bapak hasilnya selalu baik. Ibu mengajariku untuk selalu patuh pada Bapak. Selama ini, nyaris aku tak pernah melihat Ibu membantah keinginan Bapak. ”Bapakmu tahu apa yang menurutnya terbaik, Le,” kata Ibu suatu ketika padaku.
Begitu pun, saat Bapak memutuskan pinjam uang pada Pak Slamet. Aku dan Ibu sama sekali tidak protes. Dan benar saja, musim ini pohon kopi tumbuh subur sehingga panen diperkirakan akan membaik. Ada harapan, petani kopi untung besar. Lagi, keputusan Bapak benar adanya.
Begitulah Bapak, petani yang titis (penuh ketepatan) dan kuat. Hanya saja, suatu ketika aku melihat kekuatan Bapak nyaris pupus di tengah jalan. Tepatnya, saat Ibu tiba-tiba meninggal dunia gara-gara terserang angin duduk. Saat menanti panen kopi, tanpa ada tanda-tanda, Ibu harus dilarikan ke puskesmas karena sakit. Tragisnya, Ibu meninggal sebelum sempat mendapat pertolongan. Mantri desa menduga, Ibu mungkin kelelahan.
Itulah saat aku melihat Bapak seperti kain basah teronggok di pojokan. Bapak ibarat Gatotkaca yang keropos tulang-tulang besinya. Rapuh. Ia hanya terdiam di depan perapian, sama seperti kebiasaannya saat nyore bersama Ibu seusai pulang dari kebun. Biasanya saat itu mereka meneguk kopi, tertawa, dan mensyukuri hari bersama-sama. Aku melihat, kopi adalah bahasa cinta mereka berdua.
Adapun aku, aku menangis tak henti-hentinya begitu mendengar kabar meninggalnya Ibu. Siapa lagi yang akan menjadi cahaya hidupku selain Ibu. Bapak, ah, ia terlalu pendiam untuk mengerti segala keluh kesahku. Rasanya, tak ada gunanya aku kuliah tinggi-tinggi kalau tak ada senyum Ibu menyaksikan keberhasilanku.
Kuputuskan, untuk sementara aku tidak masuk kuliah. Bahkan kalau bisa, aku akan berhenti kuliah saja. Aku ingin tiap hari bisa menghabiskan waktu di kuburan Ibu, untuk sekadar berkeluh kesah seperti kebiasaanku sebelumnya. Atau, sekadar duduk di samping Bapak, berbagi kesedihan dan saling menguatkan.
Namun, ada satu hal janggal yang kulihat dari Bapak seusai meninggalnya Ibu. Bapak tidak keluar rumah, kecuali untuk menengok tanaman kopinya di kebun, dari pagi hingga sore hari. Pernah aku mencoba mengintip apa yang dilakukan Bapak di kebun seharian. Aku khawatir, duka akan membuat Bapak melakukan hal-hal yang tidak benar.
Tapi, rupanya Bapak hanya duduk di antara rimbun pohon kopi, mengelus daun, menciumi biji kopi, lalu rebah di bawah naungan batang-batang kopi. Aku sempat berpikir, mungkin Bapak ingin menyembunyikan tangis di balik gundukan joglangan yang mengelilingi pohon kopi.
Mungkin Bapak malu menangis di depanku. Selama ini, aku memang tidak pernah melihat Bapak menangis. Sama seperti aku tak pernah menangis di hadapan Bapak. Aku lebih sering menangis di pangkuan ibu.
Makanya, saat itu aku memilih tidak menanyakan apa yang dilakukan Bapak seharian di kebun. Lebih baik aku pura-pura tidak tahu.
Tepat seminggu setelah kematian Ibu, Bapak menyuruhku kembali pergi kuliah. Aku kaget. Sepenting itukah kuliah dibandingkan dengan Ibu? Aku masih ingin mengenang Ibu. Bagiku, Ibu adalah sosok perempuan paling baik dan cerdas sedunia. Ibu paling memahamiku dalam semua hal. Menurutku, ia juga sangat mengerti Bapak, meski sepengetahuanku, Bapak bicaranya hanya sepatah dua patah kata saja.
”Aku masih ingin mengenang Ibu, Pak. Apa Bapak tidak cinta Ibu?” tanyaku memberanikan diri. Aku tidak lagi merasa ada yang perlu ditahan-tahan. Aku berpikir, rasa berkabung untuk Ibu harusnya selama mungkin. Demi Ibu, yang selama ini menjadi tempatku mengadukan segala persoalan.
Bapak memandangku kaget. Mungkin ia tidak percaya aku berani membantahnya. Tetapi, Bapak tidak marah. Ia malah mengajakku pergi ke kebun, menengok tanaman kopi.
Bapak menunjukkan betapa musim ini kami akan panen besar. Biji kopi berkembang penuh, memerah ranum, dan melebat di setiap tangkainya. Siap panen. ”Setelah susah, akan datang bahagia. Biarkan waktu membahagiakanmu,” kata Bapak padaku sambil memetik si biji merah. Mungkin, melihat merahnya biji kopi menjadi penghibur atas kepedihannya ditinggal Ibu. Aku selalu kagum, bagaimana orang kampung yang hampir seluruh hidupnya habis di kebun kopi bisa sebijak itu.
Dengan dorongan Bapak, aku pun kembali ke kampus. Bapak saja sudah merelakan kepergian Ibu, kenapa aku tidak. Aku bertekad belajar dengan baik agar bisa pulang dengan ilmu kopi yang diharapkan Bapak.
Tapi, lagi-lagi, aku harus kembali pulang ke rumah, tak lama kemudian. Bapak menelepon, mengabarkan bahwa harga kopi jatuh. Panen raya membuat kopi tak ada harganya. Di pasar, harga kopi hanya setengah dari normal. Harapan untuk membayar utang pada Pak Slamet pupus sudah. Itu sebabnya, bapak mengajakku mencoba peruntungan meminjam uang ke bank. Utang akan dipakai untuk membayar utang ke Pak Slamet dan untuk keperluan merawat kopi.
”Maafkan kami Pak, kami belum bisa memberi kredit untuk kebun kopi. Bapak punya sawah? Kalau punya sawah, coba saja diajukan lagi, siapa tahu kredit bisa cair,” kata petugas bank saat kami menceritakan niat kami datang ke sana. Ia menjelaskan bahwa seusai krisis keuangan, bank harus lebih selektif memberi kredit. Kebun kopi dinilai belum bisa menjamin petani mampu mengembalikan utang.
Suasana mendadak hening setelah petugas bank memberi penjelasan. Saking heningnya, tarikan dan embusan napas pelan Bapak terdengar memenuhi ruangan. Surat tanah, yang semula didekapnya, terjun bebas dari ketiak dan menghantam keras ubin keramik yang berkilauan. Namun, Bapak tetap tak bergerak, tatapannya kosong ke depan. ”Pak... Pak....” Bapak tergagap setelah kusentuh bahunya dan bergegas mengajak pulang.
Setelah bertubi-tubi kena masalah, aku tahu, Bapak kembali terluka. Luka yang kembali menganga, setelah kematian Ibu. Kami pun pulang dengan tangan hampa. Warisan turun-temurun yang dijaganya selama ini tak ada harganya.
Sepanjang jalan pulang, aku dan Bapak tak bicara sepatah kata pun. Bapak hanya diam saat kubonceng pulang. Tagihan utang pada Pak Slamet, uang SPP kuliahku, kematian Ibu, ongkos pekerja, biaya hidup sehari-hari seperti silih berganti muncul di kepalaku. Mungkin, bayangan itu juga yang membungkam Bapak sepanjang jalan.
***
Kepingan mata cangkul yang rompal perlahan diambil oleh Bapak. Diusap dan dibersihkan dengan jari-jarinya. Lalu dengan cepat, kepingan besi itu dilempar ke dalam joglangan. Seperti pupuk yang selama ini mengisi joglangan, mata cangkul itu langsung menempel ke tanah dekat pohon kopi.
Sejenak Bapak menerawang nanar ke lubang yang menganga itu. Pandangannya beralih pada deretan pohon kopi. Ia kemudian beringsut mengambil sabit, menghela napas panjang, dan sedetik kemudian mencacahi pohon kopi.
”Orang lemah menanti kesempatan. Orang kuat membuat perubahan,” gumam pria bercaping itu sambil membabati tanaman kopi seperti kesetanan. Batang-batang pohon kopi jatuh tergeletak tak beraturan, lalu didorongnya masuk ke dalam joglangan.
Tiba-tiba Bapak terjatuh. Menelungkup seperti onggokan kain basah di pojokan. Diam tak bergerak. Hampir bersamaan, aku mendengar rintihan samar. Seketika napasku sesak. Kulihat cairan merah menetes dari batang-batang kopi yang kena babat. Pelan, kuseka cairan yang sama dari kedua mataku.
***
Dahlia Irawati, jurnalis penyuka sastra. Aktif dalam Kelompok Belajar Menulis (Kobis) Merajut Sastra di Malang.