Rahasia Semesta
Mana yang lebih baik, kesepian di tengah keramaian atau merasa sepi di dalam kesendirian?
Sekurang-kurangnya semua hal di dunia ini memiliki satu titik yang hanya diketahui oleh tuannya sendiri, setidaknya segala ihwal memiliki curahan yang hanya disimpan dalam satuan tunggal. Mereka menyebutnya rahasia, sesuatu yang dipendam entah karena malu atau kadang takut untuk diakui keberadaannya. Begitu pun dengan alam, mereka juga menyimpan rahasia.
Konon, katanya sebelum gravitasi mulai menjadi fundamental bagi segala sistem kehidupan, alam semesta raya membelah diri menjadi dua bagian terlebih dahulu. Masing-masing irisannya memiliki tugas untuk memeluk para penghuni planet berikut serta rahasia-rahasia yang terkubur di dalamnya.
Perkenalkan, yang pertama namanya adalah Laut. Kadang juga ia disebut sebagai Ibu Bumi. Dia adalah si pemeluk setengah isi planet yang terdiri dari tirta nan luas. Tak ada yang tidak mencintai lautan, dia begitu memukau. Di kala hari terang maupun gelap Laut mencium bibir pantai, menyentuh daratan yang kering dengan kesejukan tiada tara. Nyanyiannya terdiri dari gelombang melodi maritim bagai genta di kala pelik. Permukaannya terdiri dari genangan besar, sering kali tampak bagai cermin saat mentari memandikannya dengan pancaran sinar-sinar emasnya. Kala malam datang, giliran sang rembulan bersama pasukan bintang-gemintangnya yang mengisi keindahan pusaka alam tersebut.
Laut adalah perwujudan dari entitas keindahan yang bersifat universal. Semua makhluk setuju akan itu. Setidaknya begitu, kecuali menurut Laut sendiri. Laut, Laut, Laut… daya pikatnya sedalam rahasia yang tersimpan di dasar samudra hatinya. Tidak seperti ruang darat atau wilayah terbuka tempat para benda angkasa bergelantungan, Laut menyimpan terlalu banyak misteri, tidak terjamah oleh siapa pun.
Matahari sedang berlibur, digantikan oleh rembulan. Malam itu mangata membelah perairan gelap layaknya sebuah jalanan lurus berwarna putih, bulan keperakan menggantung pada langit ramai bertabur bintang, betapa indahnya bumantara malam itu. Debur ombak bersahutan dalam setiap iringan gelombang pasang yang saling bergulungan. Indah, namun Laut merasa ada yang kurang. Rasa-rasanya tidak ada kenikmatan dari visi tersebut. Laut termenung di tengah keheningan malam, dia menengadah ke atas. Ah, ramai sekali di sana. Anak-anak para penghuni langit sedang berpiknik menghasilkan sebuah konstelasi yang sistematis, pancaran dari hamparan sinar-sinar mungilnya bagaikan permadani kerlap-kerlip. Memandangi lanskap itu membuat ada sesuatu menggetarkan sang Laut.
Wilayah atas adalah kekuasan ayah dari Pertiwi, Angkasa. Dia terdiri dari molekul-molekul yang membentuk ruang terbuka luas dan bebas. Angkasa begitu magis, para anak manusia rela bangun subuh-subuh untuk mengejar arunika pagi hari dari timur atau menunggu swasmita muncul di kala petang.
Tak hanya magis, namun Angkasa juga memiliki magnetnya sendiri hingga di sana selalu riuh penuh, berpenghuni. Tidak pernah ada kata sepi bagi wilayah di atas sana. Ketika matahari menggantung di antaranya, gumpalan awan-awan putih selalu menjadi penghias. Saat mentari telah berpulang ke barat, para bintang tumpah ruah beredar dengan cara yang tiada bandingnya.
”Hai Laut, ada gerangan apa yang membuatmu tampak sangat murung malam ini?” sapa Angkasa, menyadari ada yang tak biasa dari kawannya.
Laut menjawab, ”Kau begitu terhormat, wilayah kekuasaanmu selalu ramai.”
”Apa yang terjadi denganmu? Tidak biasanya kau seperti ini,” Angkasa keheranan.
”Tidak apa-apa,” ia berdusta.
Angkasa sudah bersinggungan dengan laut hampir sepanjang hidupnya, tentu saja ia tahu dengan jelas bahwa jawaban Laut tak lain adalah suatu kebohongan. Tetapi seperti yang semua orang ketahui, Laut menyimpan terlalu banyak rahasia. ”Katakan padaku apa yang mengusik pikiranmu.”
Laut menimbang-nimbang, sudikah ia membagi rahasianya kepada sang langit? Selama ini Laut menyimpan semua yang ia rasakan seorang diri, menutup celah bagi siapa pun serapat mungkin. Dan itu semua ia lakukan karena Laut merasa malu akan rahasia-rahasianya.
Angkasa mencoba menebak, ”Kau sedang sakit?”
”Tidak, aku sehat,” balas Laut.
”Yang kumaksud adalah sakit di hati dan jiwamu,” jelas Angkasa.
”Kenapa aku harus merasakan hal tersebut?” Laut membalikannya.
”Karena kau merasa kesepian.”
”Kesepian?” ulang Laut, tidak dapat menyembunyikan nada terkejutnya.
”Ya, kau merasakan hal itu bukan?” Dugaan Angkasa berasal dari fakta yang mendasar, ia mendapati akhir-akhir ini Laut selalu melihat ke atas, membandingkan apa yang Laut miliki dengan kepunyaan Angkasa.
”Tidak, aku tidak kesepian!” seru Laut.
Angkasa menatap hamparan genangan nan luas yang beriak, riakan itu seolah menyatakan hal yang berkebalikan dari perkataan Laut.
”Baiklah…” akhirnya Laut menyerah, ”aku kesepian.”
”Apa yang membuatmu merasa seperti itu?”
”Entahlah… belakangan ini aku merasa selalu sendiri. Tak seperti kau yang selalu diramaikan komplotan bintang dan para awan. Kemudian… matahari dan bulan pun tak bergantung kepadaku seperti mereka kepada engkau.” Laut menceritakan asal mula kegundahannya, merasa malu dengan fakta bahwa ia kesepian. ”Hei, bolehkah aku bertanya sesuatu?”
”Silakan,” jawab Angkasa.
”Mana yang lebih baik, kesepian di tengah keramaian atau merasa sepi di dalam kesendirian?” tanya Laut. Pertanyaannya dilatar belakangi pengamatan kepada sang langit.
”Yang pertama,” jawab Angkasa tanpa pikir panjang.
”Kenapa?”
”Karena kesepian di antara keramaian terasa dua kali lipat lebih menyedihkan ketimbang saat kau sendiri,” Angkasa berkata. ”Keadaan seramai apa pun akan tetap terasa sepi jika hatimu kosong.”
”Tak pernahkah kau lelah karena selalu sendiri?” tanya Laut.
”Oh… tidak, aku tak pernah merasakan itu,” sanggahnya.
”Kenapa?” Laut penasaran.
”Karena aku memang tak pernah sendiri,” Angkasa menjawab dengan jujur.
”Bukan berarti saat kita sendiri maka kita akan kesepian, bukan berarti jika kita kesepian maka kita pasti sendirian.”
”Tapi aku tidak memiliki apa pun…” Laut membalas, merana.
Angkasa terheran, ”Tidakkah kau sadar? Kau memiliki harta karunmu sendiri, yaitu ribuan koral cantik dan para kerang luar biasa yang mampu mengubah luka menjadi mutiara, sedangkan aku tidak memiliki itu semua.” Angkasa adalah salah satu dari yang selalu terpukau akan kecantikan dari Laut. Dia melanjutkan, ”Mungkin bulan dan mentari memang tak bergantung padamu, tapi mereka ada untukmu.”
Entahlah… belakangan ini aku merasa selalu sendiri. Tak seperti kau yang selalu diramaikan komplotan bintang dan para awan. Kemudian… matahari dan bulan pun tak bergantung kepadaku seperti mereka kepada engkau.
Laut tertegun, ia tidak pernah memikirkan semua hal yang disebutkan oleh Angkasa. Setelah itu terdengar bunyi ombak yang menghantam bebatuan, diikuti buih-buih putih di belakangnya.
Angkasa tertawa, ”Lagipula semua itu tidak akan ada artinya jika mereka berdiri sendiri-sendiri. Semua memiliki nilainya masing-masing.”
”Apakah ’kesendirian’ sesalah itu di matamu?” balas Laut.
”Aku tidak bilang begitu. Apa yang kumaksud adalah, kau tidak akan pernah merasa puas jika terus menoleh kepada milik orang lain. Cobalah kau tengok apa yang kau miliki. Mereka tidak kalah kok,” jelas Angkasa sabar.
”Aku masih tidak mengerti dengan apa yang kau maksud.” Laut merasa jiwanya sudah terlalu hampa dan sepi.
Beberapa bintang meredup, jalanan di atas air yang berasal dari sinar bulan perlahan-lahan menghilang. Kemudian Angkasa berujar, ”Kau hanya perlu membuka mata lebih lebar untuk melihat apa yang kau punya. Lihatlah sekelilingmu dengan lebih saksama, maka kau akan menemukan betapa berharganya hal-hal yang selama ini hanya kau lihat secara cuma-cuma. Namun, di atas semua itu yang terpenting adalah kau memiliki dirimu sendiri.”
Seiringan dengan berakhirnya kata-kata Angkasa, langit hitam mulai berubah terang. Kegelapan malam memudar menjadi warna-warni nan terang. Matahari mengintip dari balik cakrawala, membubung perlahan ke atas, menghapus bayangan gelap. Permukaan tirta bergelimangan seribu nuansa warna kuning lembut bercampur merah yang tak dapat tergambarkan. Debur ombak terseret angin menuju tengah segara, di bibir pantai seorang anak manusia mengejar lilitan pita emas dari kemilau surya, ia berhenti saat kakinya menyentuh air asin, merentangkan tangannya seolah ingin memeluk semesta. Cahaya yang menyongsong hari baru membuat lautan tampak bagai intan, mengingatkan Laut tentang betapa berharga segala hal yang ada di dalam hidupnya. ”Terima kasih, Angkasa.”
”Tidak masalah. Kesepian bukanlah sesuatu yang harus membuatmu merasa malu, rasa itu tak ayal, wajar keberadanya,” Angkasa menutup topik percakapan mereka kala itu.
Dari apa-apa yang terukir pada kanvas angkasa, tergurat di dasar samudra atau yang tergantung di antaranya, kini Laut melepaskan rahasianya.
”Satu pertanyaan lagi,” ujar Laut, ”apa rahasia terdalammu?”
Angkasa tersenyum, ”Bersyukur.”
***
Elizabeth Gabriela, Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Multimedia Nusantara, Tangerang.