Rumah untuk Istriku
Kita hanya ingin mendirikan rumah sendiri, karena selain kita menambah beban orangtua, juga tak ada tempat lagi di rumah ibu jika kita terus ikut tinggal dengannya.
Tanah yang ditanami temulawak dan kunyit ini adalah milik kita sebulan yang lalu setelah menerima kuitansi tanda lunas dari pemiliknya. Setiap hari kau menyisihkan uangmu dari hasil melinting tembakau untuk mencicil tanah ini. Namun, kau tak menepati janjimu kepadaku. Kau lebih dulu pergi sebelum di atas tanah ini berdiri bangunan yang kokoh seperti yang kau idamkan.
Tiga tahun yang lalu, tepatnya ketika kau baru saja melahirkan anak pertama kita, kau bilang kepadaku ingin memiliki rumah sendiri. Sederhana saja katamu waktu itu. Ketika kau mengatakan itu, aku baru memiliki sedikit tabungan yang memang aku khususkan untuk membeli tanah dan membangun rumah buat keluarga kita. Dan, di saat tanah ini telah menjadi hak kita sepenuhnya, justru kau meninggalkan kami, tepatnya seminggu yang lalu.
Sebetulnya tanah ini tidak dijual oleh Lek Min, pemilik tanah. Katanya, selain merupakan tanah warisan dari orangtuanya, dia juga berniat untuk menanam pohon pisang di tanah ini. Kata Lek Min, tanah seluas tiga perempat hektar ini dibagi berdua: yang sebelah selatan ini untuk Lek Min, dan yang utara sana untuk kakak perempuannya.
Kau merengek meminta tanah yang seharusnya tidak dijual itu kepada Lek Min. Barangkali karena kau keponakannya, tanah ini akhirnya bisa kita miliki. Itu pun tidak seluruhnya kita beli, karena tanahnya begitu luas. Dan, kita hanya bisa membelinya seperempat dari bagian Lek Min.
Letaknya memang sama sekali tidak strategis. Akan tetapi tujuan kita bukan itu. Kita hanya ingin mendirikan rumah sendiri, karena selain kita menambah beban orangtua, juga tak ada tempat lagi di rumah ibu jika kita terus ikut tinggal dengannya.
Anak ibu yang memiliki rumah sendiri baru dua orang, kakak pertamamu dan adikmu. Sementara itu, kakak keduamu masih bersama ibu, begitu juga kau dan kedua adikmu yang lain. Dan apalagi, cucu ibu semakin bertambah. Ibu memang tampak bahagia karena dikelilingi anak dan cucu-cucunya, tetapi barangkali ibu akan jauh lebih bahagia jikalau anak-anaknya mampu berdiri sendiri.
Tanah ini letaknya di dekat rumah ibu. Bedanya rumah ibu ada di atas sana, di dataran tinggi, sedangkan tanah yang kita miliki ini ada di bawah, dekat dengan sungai. Semua itu atas kemauanmu. Kau tak mau tinggal jauh dari ibumu. Itu terbukti ketika aku mengajakmu untuk pulang ke rumah ibuku yang harus menyeberang pulau terlebih dahulu, kau tampak keberatan. Akan tetapi atas hormatmu kepadaku, kau tak menolak, itu pun hanya dua hari.
Tanah ini letaknya di dekat rumah ibu. Bedanya rumah ibu ada di atas sana, di dataran tinggi, sedangkan tanah yang kita miliki ini ada di bawah, dekat dengan sungai. Semua itu atas kemauanmu.
”Jangan lama-lama, ya Mas,” katamu setiap kali aku ajak pulang ke rumah ibuku.
Kini, kepergianmu membuatku kehilangan gairah untuk menambah tabungan kita, karena biasanya kita isi berdua semampu kita. Namun, Hanum, anak perempuan kita, cukup bisa menjadi pelipur lara. Setiap kali aku melihat wajahnya, aku selalu teringat akan dirimu. Hidungnya yang tidak terlalu mancung, kulitnya yang putih, bibirnya yang tipis, semuanya milikmu. Hanya rambutnya saja yang mirip denganku. Rambutmu hitam lurus, sedangkan milik Hanum agak bergelombang.
Dulu waktu Hanum baru lahir, kau bilang kalau ia mirip denganku. Namun, semakin ia tumbuh, justru ia semakin menyerupaimu. Ah, barangkali aku saja yang terlalu merindukanmu. Di tanah ini, kau tahu, aku membayangkan ada rumah sederhana, dan kita duduk sambil bercanda di teras rumah.
”Nanti kalau membangun rumah, aku ingin di depan ada tamannya,” katamu sebulan yang lalu ketika kita baru selesai melunasi tanahnya.
”Aku ingin berwarna putih saja,” celetukku sambil membayangkan rumah kita nanti. Dan barangkali benar-benar hanya tinggal bayangan saja, tapi bisa juga tidak.
Aku akan tetap membangun rumah impianmu di tanah ini. Namun, bukan sekarang. Seminggu yang lalu adalah waktu yang begitu lambat kulalui karena tiada dirimu. Di sini aku selalu berharap dan merasakan hadirnya dirimu menyertai aku dan anak perempuan kita.
Dulu waktu Hanum baru lahir, kau bilang kalau ia mirip denganku. Namun, semakin ia tumbuh, justru ia semakin menyerupaimu. Ah, barangkali aku saja yang terlalu merindukanmu. Di tanah ini, kau tahu, aku membayangkan ada rumah sederhana, dan kita duduk sambil bercanda di teras rumah.
”Hanum terus mencarimu,” kataku lirih sambil memandang Hanum yang masih belum mengerti akan kepergianmu.
Kau tahu, seminggu yang lalu adalah hal yang tidak ingin aku temui lagi di dalam hidupku. Waktu itu kau sedang merebus air dengan kayu bakar di belakang rumah, sedangkan aku sedang menyelesaikan pekerjaanku mengukir pintu di depan rumah. Berjalan tertatih-tatih kau menghampiriku dan membuatku terkinjat seketika. Aku melemparkan alat ukirku begitu saja dan langsung menghampirimu dengan napas yang kembang kempis.
Aku pun langsung memanggil Kang Kardi untuk mengantarkan kita ke rumah sakit. Dengan sepeda motor miliknya, kita diboncengnya. Sementara itu, di belakang kita ada ibu dan Hanum yang menyusul, juga menggunakan sepeda motor. Selama di perjalanan kau terus memegang erat tanganku. Begitu dingin dan basah.
Tiba di rumah sakit kau langsung disambut perawat dan langsung dimasukkan ke dalam ruang gawat darurat. Begitulah yang tertulis di pintu ruangannya. Di depan ruang itu, aku ketar-ketir menunggumu. Sejak sepeninggal ayahmu, aku tahu kau tidak pernah masuk ke rumah sakit lagi karena sakit paru-paru. Dan bahkan kau tak pernah mengeluh lagi akan sakitmu. Paling banter hanya flu dan batuk, itu pun tiga hari kemudian pulih kembali.
”Bapak, ibu di mana?” ucap Hanum mengejutkanku. Ia tiba di rumah sakit tatkala kau sudah dimasukkan ke dalam ruang gawat darurat. Aku pun menunjukkan keberadaanmu sembari membimbing dia untuk berdoa atas keselamatanmu.
”Kamu yang tegar,” ucap Ibu sembari mengusap bahuku dan sesekali melirik ke Hanum. Aku mengerti bahwa ada Hanum yang masih belum mengerti. Ia hanya tahu kalau ibunya sakit, bahkan di saat seperti itu dia masih minta mainan yang dijual pedagang kaki lima di depan rumah sakit.
Bersama ibu, dia diajak keliling-keliling. Padahal aku tahu ibu tak kalah khawatirnya denganku. Dari raut mukanya sangat terlihat kalau ia sangat mencemaskanmu.
Dari kaca pintu ruangan, aku mengintipmu. Tidak begitu jelas. Namun, aku tahu bahwa napasmu masih kembang kempis meskipun selang sudah terpasang di kedua lubang hidungmu.
”Seandainya bisa napasku untukmu,” batinku ketika mengintip dirimu.
”Pak, aku punya ini,” Hanum mengejutkanku dengan menyodori mainan. Anak kita memang perempuan, tetapi ia gemar sekali dengan mainan robot, mobil, bahkan di rumah ibu begitu banyak truk mainan dari berbahan plastik sampai kayu.
”Truk ini buat memuat tanah yang dikeruk di samping rumah kita.”
”Kalau truk ini tidak muat, sayang. Truknya harus besar.”
”Yah, berarti nanti tanah-tanahnya dimuat dengan truknya om-om yang naiknya ngebut,” ucapnya meninggalkanku dan menghampiri neneknya lagi.
Di desa kami memang ada galian tanah. Hanum senang sekali melihat truk-truk dan kendaraan berat untuk mengeruk tanah. Namun, ia tak suka kalau truk-truk itu ugal-ugalan. Katanya matanya sering kemasukan debu dan terkadang debu itu membuatnya batuk.
Tak beberapa lama kemudian, seorang dokter keluar. Ia mengatakan kalau kau membutuhkan darah. Tiada yang golongan darahnya sama. Hanya Hanum dan dia tidak bisa menyalurkan darahnya untukmu karena usianya belum memenuhi.
Dibantu Kang Kardi, akhirnya aku menemukan orang yang golongan darahnya sama denganmu. Adalah Lek Min yang bersedia menolong kita. Ia segera dicek oleh perawat. Namun, kita tak beruntung, tekanan darah Lek Min kurang sehingga ia tak diperbolehkan mendonorkan darahnya. Ingin rasanya aku berteriak ketika itu. Keadaanmu di dalam semakin kritis dan tak keruan. Kau mengeluarkan banyak darah di batukmu kata seorang perawat.
Kau tahu, ketika itu ibu sudah menangis di kursi tunggu. Hanum yang sedari tadi bersama neneknya juga ikut menangis. Sementara Kang Kardi menenangkan mereka berdua, aku mencarikan darah yang cocok untukmu. Namun, ketika aku hendak berangkat, dokter yang ada di dalam ruanganmu keluar memanggilku.
”Kami minta maaf,” katanya sambil menepuk bahuku.
***
Berdiri dari sini dan meninggalkanmu sendiri adalah hal terberat yang kualami. Di rumah ini kau tak lagi perlu merasakan sesak di dadamu atau apalagi batuk yang mengeluarkan darah.
”Pak, kenapa bapak bilang kalau ini rumah ibu padahal bentuknya tidak seperti rumah nenek yang ada atap dan jendelanya. Ini hanya urukan tanah,” ucap Hanum di samping rumahmu.
”Ibu ada di sini selamanya.”
Dia tampak bingung ketika aku berkata seperti itu. Akan tetapi suatu hari nanti kalau dia sudah cukup mengerti pasti akan aku jelaskan tentang dirimu. Dirimu yang terjelma di dalam dirinya. Kini dia mengikutiku menyirami tanaman yang ada di sekeliling rumahmu. Setelahnya aku menaburkan bunga—mawar, melati, bunga kantil, yang juga diikuti Hanum.
Baca juga: Hari Itu, Laut Sedang Pasang
Sebelum aku dan Hanum meninggalkanmu, dia mengatakan kalau kau baik-baik di rumahmu. Dia juga berpesan agar kau tidak tersiksa di rumahmu yang seperti ini. Aku pun berharap demikian, selalu.
Di tanah ini, nanti akan aku kunjungi dirimu setiap hari. Akan aku taburkan wewangian bunga di rumahmu yang akan kau tempati selamanya. Kelak aku akan menemanimu di sini bersama Hanum. Di tanah yang kita beli dengan keringat kita sendiri.
***
Kanya Ahayu Ning Yatika Akasawakya berasal dari Kudus, Jawa Tengah, dan berdomisili di Tangerang Selatan. Kini ia masih menyelesaikan studi strata satu di Institut Kesenian Jakarta dengan mayor Kajian Sinema. Ia bisa dihubungi melalui surel kanya.ahayu.ning.yatika.akasawakya@gmail.com.