Kebun Cengkeh
Sarpono, nama teman ayah Hana yang menjadi cerita itu, ia merasa sudah ahli dan tidak bermaksud mengikat dirinya pada suatu penopang.
Bagai deburan ombak, sepoi angin itu berembus menerpa rambut Hana yang terurai. Kadang kencang, kadang pelan. Ia melihat begitu rimbuknya daun-daun dari pohon cengkeh yang sudah menjulang tinggi, bahkan melebihi tiang listrik. Aroma sejuk dari semilir kehijauan pepohonan cengkeh itu meraba hidungnya. Lamat-lamat terdengar suara gesekan dedaunan yang bergerak oleh udara, masuk ke rongga pendengarannya.
Ia menutup mata, membawa sukmanya kembali ke dua puluh tahun silam.
”Hana?!” Panggil seorang wanita, mengenakan daster cukup lebar. Wanita itu memakai kacamata tebal dan membawa mangkok berisi nasi dengan lauk di dalamnya. Hana yang masih berlarian, tak mendengar bahwa suara itu tertuju untuknya.
”Nak! Ayo, hak dulu.” Sesendok nasi dari mangkuk yang dibawanya mendekat ke arah Hana. Wanita itu tidak lupa dengan mengangakan mulutnya, berharap Hana melakukan hal persis sepertinya. Berhasil. Hana berhenti berlari dan mendekatkan mulutnya ke sendok makan ibunya. Setelah makanan sudah berada di mulut, Hana kembali berlarian. Bergelantungan di dahan pohon, mengitari pohonnya maupun duduk-duduk di dahannya yang paling dasar.
Sesekali ia memperhatikan ibunya yang menyapu dan mengumpulkan daun-daun cengkeh yang jatuh ke tanah karena terpaan angin kencang. Daun yang sudah jatuh kebanyakan berwarna coklat atau kuning. Ibu Hana mengumpulkannya dan memasukkannya pada kantong zak ukuran besar, bekas tempat beras atau gula yang sudah tidak terpakai.
Daun-daun itu nantinya dijual ke pasar dan uangnya cukup untuk membeli bahan maupun bumbu untuk memasak. Industri memanfaatkannya untuk diolah kembali, menjadikan nilai jualnya lebih tinggi. Hana kecil selalu mengikuti ibunya saat ibunya mengumpulkan daun-daun tersebut. Tentu saja untuk mengumpulkan dua sampai tiga karung sak berisi daun cengkeh yang penuh itu butuh lebih dari sehari, dengan arti penghasilan utama bukan berasal dari menyapu daun cengkeh.
Ayahnya yang bekerja serabutan sering diminta untuk mengambili bunga cengkeh yang siap untuk dipanen. Berbeda dengan daun cengkeh yang selalu bisa dijual kapan saja, panen cengkeh hanya satu tahun sekali. Jatuh pada bulan sekitar Agustus sampai September. Kesenangan untuk Ibu dan Ayah Hana jika panen raya itu datang. Walaupun sangat berisiko untuk memetik satu per satu gagang cengkeh yang menempel di pohon. Untuk pohon yang sangat tinggi dan rimbun tidak bisa hanya sekadar dipanjat, karena cengkeh-cengkeh itu berada di bagian luar pohon dengan ranting yang sangat tipis. Jika dipanjat, maka cengkeh di gagang yang menempel di luar itu tidak dapat terambil keseluruhan.
Ayah Hana dan para pengunduh cengkeh lainnya menggunakan tangga panjang yang terbuat dari bambu, disambung dengan paku dan tali yang diikatkan begitu kuat. Terkadang mereka juga melilitkan tali pada pinggang mereka dan tali tersebut disambung di salah satu dahan cengkeh atau penopang yang cukup kuat. Namun naas bisa terjadi pada siapa saja. Risiko untuk memetik bahan tembakau ini memang tidak sepadan dengan hasil yang diperoleh. Hana pernah mendengar cerita teman ayahnya yang masuk rumah sakit saat jatuh dari ketinggian beberapa meter dari pohon cengkeh. Ada sekitar lima orang yang berpencar untuk memetik sebaran cengkeh pada tiga pohon berbeda.
Sarpono, nama teman ayah Hana yang menjadi cerita itu, ia merasa sudah ahli dan tidak bermaksud mengikat dirinya pada suatu penopang. Namun, perkiraannya salah. Ia tergelincir saat ingin meraih beberapa tangkai yang berjarak agak jauh dari tempatnya. Ayah Hana, yang kebetulan berada di satu pohon yang sama, segera melepas lilitan tali dan turun ke bawah. Teman-teman yang lain ikut berteriak dengan nada bertanya seketika mendengar dentuman keras yang membentur tanah. Sarpono meringis kesakitan dengan memegangi kepala serta anggota tubuh yang lain.
Hitungan per harinya, lima belas ribu rupiah di era itu. Tidak cukup untuk mengganti biaya pengobatan gegar otak yang dialami Sarpono. Sang tengkulak cengkeh mana mau bertanggung jawab? Menjenguk adalah hal yang paling banter dilakukan. Setidaknya itulah kisah yang pernah didengar Hana saat ia masih berumur sepuluh tahun.
”Hana?!” Suara laki-laki dari arah belakang membuat matanya terbuka tiba-tiba. Sukmanya yang melayang, segera menyatu dengan pikirannya begitu ia membuka matanya. Hana yang duduk di salah satu dahan pohon cengkeh yang sering ia duduki saat ia kecil, (sama sekali tidak berubah) segera berdiri mencari terlebih dulu asal suara itu. Matanya mengitari kebun cengkeh dengan luas beberapa hektar dari tempatnya berdiri. Ada seorang laki-laki tengah baya memakai celana pendek berkaus oblong dengan bambu di tangannya. Bambu itu berwarna kuning kecoklatan, dengan panjang sekitar tiga kaki dan diameter dua setengah sentimeter. ”Dicari haji Supri!” Teriaknya kembali dari jauh. Kening Hana segera mengkerut mendengar pernyataan tersebut. Ia berjalan mendekat ke laki-laki yang berteriak padanya.
”Bukankah dengan Bapak sudah cukup?” ujar Hana dengan nada sedikit jengkel.
”Dia tidak puas.”
Hana menghela napas. Ia berjalan ke arah rumahnya. Ada sepeda motor matic yang kepanasan di bawah pohon mangga di halaman rumahnya. Pukul sepuluh lewat. Hana tahu, orang yang mengendarai motor itu pasti sudah memarkir motornya di tempat yang redup sebelumnya, hanya matahari yang sepertinya berjalan terlalu cepat sehingga sinarnya berganti arah. Saat ia masuk, orang yang seumuran bapaknya dengan memakai sarung dan tengah menyeduh kopinya sedikit salah tingkah saat Hana menampakkan dirinya. Hana masuk rumah, mendekatinya dan menjabat tangannya dengan senyum palsu sebagai rasa hormatnya. Saat mereka sudah duduk, kembali orang yang bernama Haji Supri itu segera mengutarakan maksud yang tidak bertele-tele.
”Mbak Hana, apa tidak capek bolak-balik ke kota dan desa?” Dengan suara paraunya kembali mencoba bermain kata.
”Saya justru capek kalau hidup di kota terus Pak.” Hana juga mencoba membalas silatan lidah Haji Supri. Haji Supri tertawa terbahak-bahak, kembali mengeluarkan kalimat-kalimat yang susah dimengerti, bahkan terkesan tidak nyambung. Hanya menghabiskan waktu, pikir Hana. Bapak Hana, yang dari tadi sudah melarikan diri dalam percakapan basa-basi yang diadakan oleh Haji Supri, kembali mengerjakan tugas-tugas sawahnya.
”Maaf Pak Haji,” tiba-tiba suara Hana memotong kalimat panjang Haji Supri,
”Sampai kapan pun juga, saya tidak akan pernah menjual tanah kebun cengkeh ini pada Kak Haji.”
***
”Gilang?!” Balita empat tahun yang berlompatan dan berlarian ke sana kemari itu sama sekali tidak mendengar panggilan Hana.
”Gilang, ayo tidur. Sudah malam Nak!” Teriakan lembut dari seorang ibu untuk anaknya. Gilang tetap saja berlarian mengitari seisi rumah. Kadang bersembunyi di bawah kursi, kadang juga berimajinasi membawa pistol dan menembaki kakeknya. Sang kakek secara sukarela menjadi korban penembakan dan berekspresi seakan-akan memang ada peluru yang mengarah padanya saat Gilang kecil berteriak ”Dor!”. Hana yang akhirnya menyerah hanya tersenyum melihat buah hatinya yang ceria itu. Ia tidak akan memaksa jika memang belum mengantuk.
”Nduk, kau jadi pulang besok?” Tanya bapaknya tiba-tiba. Hana segera mengalihkan fokusnya dari si kecil.
”Iya Pak.” Jawabnya mantap.
”Haji Supri tidak akan menyerah,” ujar bapaknya yang mempunyai kekhawatiran jika seandainya hal itu terjadi.
”Bapak tinggal menanggapinya seperti tadi. Orang seperti dia, tidak akan berani macam-macam.”
”Bapak tahu. Masalahnya, dari sederet kebun di kampung ini, hanya kebun milik kita ini yang belum berhasil dibelinya Nduk.”
”Nduk, kau jadi pulang besok?” Tanya bapaknya tiba-tiba. Hana segera mengalihkan fokusnya dari si kecil.
”Itu dia intinya. Untuk apa mati-matian membeli kebun yang tidak begitu luas ini. Padahal dia sudah jadi juragan cengkeh. Tidak ada pengaruhnya Pak.” Hana mengibaskan tangan. Bapaknya sepertinya setuju dengan ucapan Hana yang masa bodoh dengan Haji Supri yang sekadar berkedok bersilaturahmi itu. Saat Hana memperoleh persetujuan sang ayah, ia tampak tenang dan bisa kembali pada suaminya ke kota besok sore.
Bagaimana mungkin Hana melepaskan begitu saja kesibukan hari tua untuk orang tuanya saat ini? Sepetak kebun cengkeh itu memang warisan dari buyut Hana. Begitulah cerita orang tua Hana yang selama ini didengarnya. Memang tidak ada wasiat apa pun dari buyutnya untuk mempertahankannya. Bahkan Hana selalu mentransfer uang setiap bulan pada orang tuanya untuk makan sehingga orang tuanya tidak perlu terlalu lelah mengurusi kebun cengkehnya, yang sebenarnya selalu ditebas oleh tengkulak cengkeh saat panen raya datang.
Kebun itu masih memberikan kenangan yang sangat jelas saat ia kecil. Kenangan yang tergambar di memorinya memang hanya saat ia berlarian di kebun saat ia disuapi makan oleh ibunya.
Ada satu kejadian juga yang masih sangat ia ingat. Saat ibunya mengumpulkan daun cengkeh yang selalu berjatuhan setiap hari itu, ia menunggui ibunya dengan bergelantungan di dahan kokoh cengkeh yang tidak terlalu tinggi itu. Hana kecil selalu bernyanyi riang saat ia bermain dengan pohon-pohon cengkeh yang serasa sudah menjadi temannya. Bergelantungan dari satu dahan ke dahan yang lain.
Tiba-tiba ia merasakan dingin-dingin empuk di salah satu tangan yang masih menggelendot di tangkai kuat cengkeh itu. Hana tak menghiraukannya. Namun lama-lama rasa gatal mulai terasa ke indera perabanya, terus menjalar sampai sepertiga sikunya. Hana yang belum begitu curiga meneruskan gelantungannya ke setiap pohon-pohon cengkeh itu. Saat salah satu dahan pohon yang digelantungi memberikan sensasi yang sama, Hana baru benar-benar penasaran apa yang sebenarnya sedang tertempel pada dahan pohon itu. Dari tempat yang agak tinggi, ia merabanya dan mencoba mencongkel karena terasa sedikit lengket pada dahan itu. Saat Hana berhasil melepas tempelan tersebut, betapa terkejutnya jika ada benda kecil hitam, berbulu lebat yang tidak berdaya di tangannya. Hana sesegera mungkin menjerit sekencang-kencangnya karena geli.
Ada ulat bulu yang sudah mati di tangannya. Ia menggungcang-guncangkan tangannya agar benda hitam itu segera hilang dari tangannya. Ibunya yang juga tidak kalah terkejut segera menghampirinya. Hana masih melompat-lompat kegelian dengan menangis. Ibunya yang baru sadar dengan keadaan anaknya hanya menenangkannya.
”Nduk, Gilang tertidur di sofa.” Suara bapaknya membuyarkan imajinasi yang pernah ia alami secara langsung di zaman yang pernah ia datangi. Memori itu terlintas begitu saja di otaknya.
”Iya Pak. Aku akan memindahkannya jika sudah lelap.” Jawab Hana yang melihat bapaknya kembali menghirup rokok saat menonton televisi. Tanpa sepengetahuan bapaknya, Hana tertawa geli di dalam hati teringat kejadian dan kelakuannya saat masih sepuluh tahun lalu. Tawa ceria itu seketika berubah menjadi warna biru. Warna kesedihan.
”Nduk,” panggilan bapaknya membantunya mengalihkan fokus kesedihannya sesaat.
”Iya Pak?”
”Apa... kau tidak ke ibumu sebelum pulang?” Pertanyaan ragu dari bapaknya. Hana tidak langsung menjawabnya. Bapaknya sangat tahu kondisinya.
Sesaat tidak berselang lama, Hana menjawab ”Tentu saja Pak. Besok sebelum aku pulang aku akan ke sana.”
Atmosfer canggung tiba-tiba menyelimuti mereka. Lagi-lagi kesedihan itu datang. Kali ini tidak bisa dijelaskan secara akal.
***
Hawa di sejuknya pagi memberikan semangat pada setiap insan yang akan melakukan aktivitasnya. Berat sekali langkah Hana saat akan melangkah. Ia sengaja tidak membawa Gilang, dibiarkannya bermain bersama kakeknya. Hana memarkir motornya di depan gapura besar. Ia turun dan langkahnya lemas. Tapi ia harus kuat menghadapi ini semua. Saat ia sudah sampai pada tujuan, ia tak bisa lagi menahan bendungan air di kelopak matanya. Air matanya mengucur deras tanpa suara kencang. Ada ibunya di sana, tapi tidak bisa terlihat secara nyata karena tertutup gundukan tanah. Hanya batu nisan sebagai penanda jika raga ibunya masih berada di dasar tanah itu.
***
N Ayu Hapsary lahir 3 Mei 1991. Penulis adalah alumnus Universitas Brawijaya di tahun 2014. Aktif sebagai karyawan swasta dan ibu rumah tangga. Novel pertamanya berjudul Cinta Rahasia (2015).