Keple
Sejak saat itu, siapa pun ikut-ikutan memakai tangan kiri jika berjabat tangan dengan koruptor.
Peristiwa aneh muncul di dalam persidangan tindak pidana korupsi. Tiba-tiba hakim tersenyum puas setelah mengetok palu vonis 2 tahun penjara kepada mantan bupati yang duduk di kursi terdakwa dalam kasus korupsi.
Mantan bupati itu juga tersenyum puas karena hanya dihukum kurungan penjara 2 tahun, padahal telah terbukti secara meyakinkan terlibat korupsi dan suap menyuap dengan nilai total puluhan M.
Jaksa dan pengacara juga tampak tersenyum puas. Bahkan, semua pengunjung juga tampak tersenyum puas. Begitu juga sejumlah wartawan yang meliput, ikut-ikutan tersenyum puas.
Namun, ketika hakim hendak merespons mantan bupati yang mendekatinya untuk mengajak berjabat tangan, tangan kanannya mendadak keple atau loyo, atau tidak bertenaga lagi. Sedangkan tangan kirinya tetap normal. Terpaksa hakim mengulurkan tangan kirinya untuk berjabat tangan dengan mantan bupati. Terpaksa pula mantan bupati menarik tangan kanannya dan bersamaan dengan itu mengulurkan tangan kirinya untuk berjabat tangan dengan hakim.
Melihat hakim dan mantan bupati berjabat tangan dengan tangan kiri, jaksa dan pengacara tersentak kaget tapi buru-buru mencoba mengerti bahwa hal itu mungkin disengaja oleh hakim dengan maksud tertentu, misalnya ingin menunjukkan bahwa tidak sepantasnya seorang hakim berjabat tangan dengan koruptor. Lalu jaksa dan pengacara ikut-ikutan berjabat tangan dengan mantan bupati itu dengan tangan kiri.
Peristiwa aneh itu direkam kamera sejumlah wartawan dan tidak lama kemudian sudah menjadi berita di sejumlah media. Dalam hitungan jam kemudian, berita itu langsung jadi viral di media sosial.
Sejak saat itu, siapa pun ikut-ikutan memakai tangan kiri jika berjabat tangan dengan koruptor.
Tak seorang pun, kecuali hakim sendiri, yang tahu bahwa dirinya terpaksa berjabat tangan dengan koruptor itu karena tangan kanannya mendadak keple sehabis menjatuhkan vonis 2 tahun penjara, yang layak dianggap sebagai vonis yang sangat ringan alias tidak adil. Namun, vonis itu sesuai dengan undang-undang baru yang berlaku.
Meski demikian, vonis itu tetap menjadi polemik di tengah masyarakat. Sejumlah stasiun TV langsung menayangkan talk show dengan narasumber aktivis anti korupsi dan pakar hukum. Mereka berdebat keras.
“Vonis itu bisa menjadi preseden buruk: Koruptor pasti semakin merajalela di negeri ini!” tegas aktivis antikorupsi dengan kesal.
“Bagi pejabat, hukuman penjara seringan apa pun pastilah sangat berat, karena sama dengan kehilangan kehormatan dan kenyamanan. Jadi hukuman yang ringan itu pasti akan membuatnya jera, tidak akan korupsi lagi,” tukas pakar hukum.
Masyarakat awam pun terlibat perdebatan sengit dalam menyikapi vonis tersebut.
“Semoga ada yang berani main hakim sendiri terhadap koruptor yang dihukum sangat ringan. Misalnya, di dalam penjara, koruptor dikeroyok narapidana hingga babak belur, bahkan mampus!”
“Eh, jangan bicara begitu. Ini negara hukum. Tak boleh main hakim sendiri.”
“Pokoknya kalau aku melihat koruptor itu sudah bebas, akan kuhajar dia sampai babak belur. Kalau perlu akan kubantai dia!”
“Sudahlah. Tak ada gunanya dendam kepada koruptor.”
***
Menjelang sore, hakim tiba di rumah dengan wajah sedih dan lesu. Seperti biasanya, istrinya selalu menyambut kepulangannya dengan jabat tangan kemudian peluk cium mesra. Tapi kali ini istrinya kaget ketika mengulurkan tangan kanan tapi disambut dengan tangan kiri.
“Apa-apaan ini, Pak?!” Protes istrinya sambil menampar tangan kiri laki-laki yang telah memberinya lima anak. Istrinya tak mau berjabat tangan dengan tangan kiri.
“Tangan kananku keple, Bu.” Hakim terpaksa berterus terang kepada istrinya.
“Keple?!” Istrinya kaget dan segera memegangi tangan kanan laki-laki di depannya yang kini layak disebut sebagai hakim yang cukup kaya. Ternyata tangan kanan yang masih tampak kekar itu betul-betul loyo, tak bertenaga lagi.
Istrinya kemudian menangis.
“Sehabis mengetok vonis 2 tahun penjara kepada koruptor sialan itu, mendadak tangan kananku jadi keple begini, Bu.”
“Ayo Pak, saat ini juga kuantar kamu ke rumah sakit. Tangan kananmu harus diperiksa dokter spesialis dan mendapat pengobatan yang tepat agar segera bisa normal kembali.” Istrinya tergopoh-gopoh memapahnya untuk masuk mobil. “Aku saja yang nyetir, Pak.”
Namun sungguh sial nasib hakim, karena dokter spesialis gagal mengatasi tangan kanannya yang keple itu dengan obat dan operasi untuk normalisasi urat syaraf.
Semua obat seperti tak berkhasiat. Semua tindakan medis seolah hanya sia-sia saja.
Hakim kemudian dibawa istrinya ke dukun yang terkenal ampuh dan mampu mengobati segala penyakit. Tapi ternyata dukun itu tak mampu menormalkan kembali tangan kanan yang tekanjur keple itu. Semua ramuan dan jampi-jampi seperti tak bertuah.
Lalu hakim dibawa istrinya menghadap seorang ulama yang terkenal mampu melihat hal-hal gaib, tapi justru hanya mendapat nasihat agar lebih rajin beribadah dan meminta ampun serta kekuatan kepada Tuhan. “Mintalah kekuatan kepada Tuhan, karena tidak ada kekuatan kecuali dari Tuhan.”
Sementara itu, masyarakat luas ternyata sudah tahu bahwa tangan kanan hakim mengalami keple setelah memvonis 2 tahun penjara kepada koruptor. Sedangkan semua koruptor di negeri ini semakin dikucilkan masyarakat dan kerabatnya.
Hakim kemudian dibawa istrinya ke dukun yang terkenal ampuh dan mampu mengobati segala penyakit. Tapi ternyata dukun itu tak mampu menormalkan kembali tangan kanan yang tekanjur keple itu. Semua ramuan dan jampi-jampi seperti tak bertuah.
Setiap ada koruptor mendekati kerabat, sahabat atau tetangga, yang didekati segera menjauh dengan alasan macam-macam padahal sebetulnya tidak mau berjabat tangan dengan koruptor karena khawatir tangannya tiba-tiba keple.
Memang, di tengah masyarakat luas beredar mitos keple: siapa pun yang berjabat tangan dengan koruptor maka tangannya akan jadi keple dan tidak akan bisa disembuhkan dan dinormalkan lagi dengan obat atau dengan cara apa pun. Mitos itu sangat dipercaya sehingga terus menyebar luas.
Namanya mitos, selain cepat menyebar luas juga cepat berkembang semakin menakutkan. Kini, mitos itu betul-betul semakin mengerikan. Selain berjabat tangan dengan koruptor yang sudah nyata-nyata divonis bersalah, berjabat tangan dengan semua wakil rakyat dan pejabat juga bisa menyebabkan tangan tiba-tiba jadi keple.
Konon, sudah ada sejumlah orang yang habis berjabat tangan dengan wakil rakyat dan pejabat tiba-tiba tangannya jadi keple.
Konon pula, jika tangan sudah keple karena berjabat tangan dengan wakil rakyat atau pejabat tidak akan bisa disembuhkan dan dinormalkan lagi dengan obat dan cara apa pun.
Mitos keple itu betul-betul sangat mengerikan.
***
Hari-hari, pekan-pekan dan bulan-bulan berlalu, mitos keple terus berkembang. Konon, semua pejabat dan wakil rakyat yang punya niat korupsi saja maka tangan kanannya akan langsung mengalami gejala keple. Misalnya, tiba-tiba tangan kanannya jadi lemas dan tidak mampu digerakkan, meskipun itu hanya sebentar saja, karena memang baru tahap gejala keple.
Meski demikian, gejala keple itu betul-betul mengerikan bagi yang mengalaminya dan bagi yang belum mengalaminya. Lalu sejumlah pejabat dan wakil rakyat segera mundur untuk menyelamatkan diri dari ancaman risiko keple permanen. Mereka tak mau mengambil risiko dengan tetap menjadi pejabat atau wakil rakyat. Lebih baik hidup miskin dan tak punya jabatan daripada mengalami keple permanen.
Dengan mundurnya sejumlah pejabat dan wakil rakyat, otomatis muncul banyak lowongan kerja baru. Tapi ternyata lowongan-lowongan itu tidak menarik lagi. Sejumlah jabatan di kantor-kantor negeri jadi kosong dan tidak segera terisi lagi.
Ketika pemilu hendak digelar, yang biasanya diramaikan dengan munculnya banyak caleg, ternyata berubah drastis menjadi kekurangan caleg. Terpaksa pemilu ditunda karena betul-betul kekurangan caleg. Bahkan ada partai yang sama sekali tidak mengajukan satu pun caleg, lalu bubar dengan sendirinya karena semua pengurusnya juga mundur gara-gara khawatir kalau tiba-tiba mengalami keple.
“Daripada keple, lebih baik mundur dari dunia politik. Saya akan berwiraswasta saja,” ujar sejumlah elite politik di pusat dan di daerah-daerah. Kantor-kantor cabang sejumlah partai menjadi suwung karena tidak ada lagi yang memasukinya. Halaman kantor-kantor partai yang suwung itu tampak ditumbuhi rumput ilalang makin lebat. Tembok-temboknya makin kotor, berdebu dan berjamur.
“Cepat minta pensiun dini. Itulah satu-satunya langkah untuk mencegahmu jadi keple. Semua kerabat dan tetangga sangat berharap kamu segera pensiun, lalu merintis usaha baru atau jadi petani saja, asalkan tidak keple dan menularkannya kepada kami,” tutur seorang kerabat kepada seorang tentara karena khawatir si tentara itu terlibat korupsi lalu mengalami keple.
Dalam waktu singkat, sejumlah tentara betul-betul minta pensiun dini untuk menghindari ancaman risiko keple yang betul-betul mengerikan. Akibatnya, sejumlah markas dan barak militer jadi kosong tak berpenghuni lagi.
Ketika lowongan untuk menjadi anggota militer baru dibuka lagi ternyata sepi peminat, tidak seperti biasanya yang selalu berlimpah pendaftar.
Di tengah masyarakat, memang muncul mitos baru: anak muda yang melamar jadi anggota militer sama dengan mendaftarkan diri untuk jadi keple.
Mitos keple betul-betul semakin mengerikan. Terus berkembang dan menyebar luas hingga masuk ke ranah keamanan dan pendidikan. Kantor-kantor polisi pun jadi suwung.
Baca juga : Sebotol Arak Li Bai dalam Cawan Corona
Sekolah dan kampus pun kacau, karena sejumlah kepala sekolah dan rektor serta guru dan dosen tiba-tiba minta pensiun dini agar tidak terancam jadi keple. Akibatnya, banyak lowongan kepala sekolah, rektor, guru dan dosen dibuka lagi tapi ternyata sangat sepi peminat. Masyarakat luas menganggap semua lowongan itu bagaikan jebakan yang akan membuat siapa pun yang bersedia memasukinya akan jadi keple, karena sejak lama ada rumors bahwa kepala sekolah, rektor, guru dan dosen juga bisa saja terlibat korupsi.
Rumah sakit di sejumlah kota tak luput dari paparan mitos keple: Dokter dan perawat diam-diam mengidap gejala keple, lalu satu persatu minta pensiun dini agar bisa terhindar dari keple permanen. Ketika lowongan dokter dan perawat dibuka ternyata juga sangat sepi peminat. Lama-lama makin banyak rumah sakit kekurangan dokter dan perawat, makin banyak pula pasien telantar dan akhirnya satu persatu pulang meskipun sakitnya makin parah.
Terakhir, sejumlah bank juga terpapar mitos keple karena sejak lama ranah perbankan juga tidak luput dari kasus korupsi. Satu per satu pejabat dan pegawai bank terpaksa resign.
Ketika lowongan baru untuk pejabat dan pegawai bank dibuka ternyata juga sepi peminat. Akibatnya, muncul kekacauan transaksi perbankan. Krisis moneter pun melanda lagi. Kurs rupiah terjun bebas.
Dalam waktu bersamaan, di semua media sosial muncul status berisi kalimat sama meskipun tanpa ada komando: Jika tidak ada upaya serius yang mampu melawan mitos keple, cepat atau lambat negara pasti akan hancur.
Griya Pena Kudus, 2020
***
Maria M Bhoernomo lahir di Kudus, 23 Oktober 1962. Banyak menulis prosa, puisi dan esai yang dipublikasikan di sejumlah media.