Dan Semua Tertinggal
Bekunya malam telah mencair oleh matahari pagi. Kami tengah di penginapan di kaki gunung. Kami siap pulang.
”Kamu gila? Tiga hari lagi kita ujian semester.”
”Gak apa-apa. Kita harus menghadapi ujian semester dengan hati yang tenang, kan? Lagi pula aku gak percaya kalau kamu belum belajar dan mempersiapkan diri sama sekali hingga saat ini untuk menghadapi ujian akhir semester.”
”Entahlah, Si. Aku pikir ini terlalu gila.”
”Tak masalah. Ayolah! Aku pikir kita perlu melakukan hal yang gila supaya menghasilkan hal gila pula. Gak mesti terjebak dalam kondisi yang nyaman, statis, dan rutin melulu.”
”Tapi kamu bilang besok?”
”Ya, kukira sudah jelas.”
Lusi mengajakku untuk mendaki gunung. Ia mengajakku sehari sebelum besok paginya berangkat. Itu hal yang nyaris mustahil. Mendaki gunung tentu perlu banyak persiapan. Tak bisa sesembarangan ini. Aku tak tahu pasti memang, karena aku bukan pendaki. Tapi dalam waktu satu hari? Apa yang bisa dipersiapkan dalam satu hari?
”Aku gak ikut deh, Si. Aku belum pernah naik gunung.”
”Kita pergi dengan Ari dan teman-temannya, Han. Dia kan sudah berpengalaman mendaki gunung. Jadi kamu gak perlu khawatir.”
”Bukan itu masalahnya...”
”Santai saja, IPK-mu pasti akan tetap tertinggi di kelas.”
”Bukan begitu...”
”Ya sudah, gak apa-apa. Ini memang untuk yang bernyali saja,” ucap Lusi memotong. Aku tahu ini jebakan. Namun, aku juga tahu bahwa setengah hatiku bersedia menceburkan diri ke dalamnya karena tantangan itu. Enak saja dia bilang aku pengecut, aku tak bisa terima. Namun, di sisi lain aku juga berpikir. Apa tidak berbahaya kalau ikut mendaki semendadak ini?
”Aku pikir-pikir dulu, Si.”
”Gak usah lama-lama. Setengah jam, ya. Aku tahu kamu orang yang memperhatikan waktu,” dan Lusi pun memutus perbincangan di voice call.
***
Nyaris saja aku yakin sepenuhnya untuk tidak mengikuti ajakan Lusi kalau saja aku tak membuka Instagram. Kulihat postingan Eka, ia mengunduh foto gunung yang begitu megah. Aku tahu itu adalah gunung tertinggi di Pulau Jawa. Aku tak begitu tertarik sejujurnya. Namun, aku memperhatikan caption-nya yang menginformasikan bahwa ia ingin sekali mendaki gunung itu. Dadaku jadi bergetar. Apa Lusi juga mengajaknya mendaki juga?
”Kamu suka mendaki juga?” Aku men-direct message Eka di Instagram.
”Aku belum pernah mendaki, Han. Besok adalah pendakian pertamaku.”
”Sama, Ka. Aku juga.”
”Eh, kamu mau ikut mendaki juga? Sama Lusi, kan?”
Aku belum pernah mendaki, Han. Besok adalah pendakian pertamaku.
”Ya, Ka. Aku juga ikut.” Padahal aku belum sempat memberikan jawaban pada Lusi.
”Wah, senang sekali kamu juga ikut, Han.”
Aku tersipu dengan respons Eka. Di saat yang sama aku membuka Whatsapp dan segera menghubungi Lusi. ”Aku ikut. Jangan bilang aku tak bernyali!” Tulisku di Whatsapp.
”Kukirimkan list perlengkapan yang diperlukan, ya. Ini aku baru minta list-nya dari Ari.” Tanpa menunggu jawabanku, Lusi sudah mengirimkannya.
Kuperhatikan list itu. Aku membacanya satu per satu. Sial, banyak sekali perlengkapan yang belum ada. Aku harus segera mengumpulkan semua yang ada di list itu. Sedangkan waktuku sudah tak banyak.
Tiba-tiba terbayang kembali wajah Eka.
Baca juga: Sebotol Arak Li Bai Dalam Cawan Corona
***
Kami bertujuh berangkat menggunakan mobil sewaan. Di antara kami semua, hanya aku yang bisa mengendarai mobil. Aku duduk di depan kemudi. Sedangkan Lusi duduk di sampingku di baris depan. Lusi meminta untuk duduk di depan karena sering mual-mual kalau perjalanan jauh. Sungguh paradoks, padahal di antara kami semua hanya dia yang pandai membaca peta.
”Eh, kamera digitalmu mana?”
”Itu di dashboar.”
”Di mananya?"
”Di tas kecilku.”
Akhirnya ia menemukan tas kecil yang kumaksud. Ia mengeluarkan kamera digital kecil dan lusuh itu. Tampak glasir warna merahnya terkelupas. Dengan ekor mataku terlihat ia sedang melihat-lihat foto-foto kami sebelum berangkat. Ia tersenyum-senyum tetapi kemudian sedikit mengeluh.
”Aduh, kok di sini aku nampak lebih tembem. Mestinya aku gak jongkok di barisan depan.”
”Harusnya kamu memunggungi kamera biar gak tembem, Si.” Aku hanya menggelengkan kepala.
”Iiihh... Kamu jahat, Han....”
Jika diingat-ingat kamera digital yang ada di genggamannya kini itu telah cukup lama menemani momen-momen hidupku. Aku memperolehnya setelah susah payah menabung di masa SMA. Teman-temanku dulu sering memuji bahwa hasil jepretanku bagus. Mereka menyarankan untuk membeli sendiri kamera supaya bakatku terasah. Karena itulah aku mengumpulkan uang. Dan kalau boleh jujur aku ingin kuliah di Fakultas Seni Media Rekam. Tapi orangtuaku menginginkan aku menjadi insinyur. Maka dari itu aku kuliah arsitektur. Dan sebagai hiburan, orangtuaku menambal sisa uang yang kurang untuk membeli kamera digital itu.
”Ternyata foto-fotomu bagus juga, Han.” Lusi ternyata telah me-scroll gambar-gambar ke bagian bawah. ”Kamu bisa ajari aku, kan?”
”Boleh, kalau kamu mau.” Aku tak tahu harus berkata apa. Sering kali aku gugup kalau dipuji orang.
”Selama naik gunung, boleh aku yang pegang kameramu?”
”Gimana ya.... ”
”Sebagai permulaan latihan, sini kamu aku fotokan.”
Selama naik gunung, boleh aku yang pegang kameramu?
”Jangan, Si! Gak usah!”
Tapi ia malah tersenyum simpul. Mengabaikan perkataanku dan berkali-kali menekan tombol shutter. Ketika memotret ia menampilkan wajah kagum padaku. Entah dibuat-buat atau memang begitu adanya. Aku tak tahu. Sambil menyetir aku menghalang-halangi kamera itu dengan kelima jari kiriku. Ia malah geli, mungkin karena melihat pipiku yang menyemburat merah karena marah. Alhasil, tingkah laku kami membangunkan ”singa-singa” yang tertidur. Bisik-bisik dan nada-nada risih mulai menghangatkan daun-daun telingaku. Teman-teman kami di kursi belakang mulai terkekeh dan saling mengumpan sindiran-sindiran nakal.
”Ciee... Ada yang makin akrab,” mereka berbunyi.
”Apa sih? Berisik tahu,” bantahku dan Lusi hampir berbarengan.
Dasar bocah-bocah celaka. Aku jadi malu karena ulah mereka. Kuperhatikan spion dalam mobil. Syukurlah Eka tengah terlelap di kursi baris ketiga. Kalau tidak, maka tamat riwayatku.
Aduhai Eka yang manis. Meski terlelap, keanggunannya tak pernah surut.
***
Kulit Lusi tak kalah layu denganku pagi itu. Memang sepanjang perjalanan ia menemaniku mengemudi dengan obrolannya yang tak begitu menarik. Andai saja yang duduk di sampingku semalam adalah Eka, pasti situasinya akan berbeda. Langit malam yang cerah dan bulan yang terang benderang akan menjadi tema yang menyenangkan. Sedangkan bersama Lusi? Kalau boleh memilih aku akan tidur saja.
Setelah sarapan dan minum sedikit kopi, kami lekas bergegas. Meninggalkan mana yang perlu ditinggalkan dan membawa mana yang perlu kami bawa. Kami memulai pendakian. Pendakian pertama bagiku dan Eka tentunya.
***
Aku terus melangkah mengimbangi langkah rombongan. Entah sudah berapa ratus langkah telah aku ayunkan. Tubuhku sudah dibanjiri keringat.
”Ayo semangat, Han.” Perempuan ini jarang sekali berkata-kata. Dan ketika ia melakukannya, kesejukan turut diundang. ”Kamu hebat, Han, mau membawakan air minum kami para perempuan. Ia menepuk pundakku?
Gumamku girang dalam hati.
”Gak berat, kok. Masih berada dalam kapasitasku. Botol minummu sudah habis, belum?”
”Masih ada, kok.”
”Woi, ayo cepat. Kita sudah mau sampai sabana.” Teriak Huda di barisan paling depan. Ia yang memimpin kami di pendakian ini. Selain Ari, dia memang orang yang paling berpengalaman di antara kami. Ia kegirangan. Nampak sangat bersemangat sekali. ”Lihatlah, pasti kalian puas dengan pemandangannya.”
Ternyata sudah banyak kelompok para pendaki di sabana ini. Mereka nampak sangat menikmati senja dengan cara masing-masing. Ada yang bernyanyi, ada yang menyesap kopi, dan lain sebagainya. Meski aku tak bisa menjelaskannya, di sabana ini matahari senja memang nampak agak berbeda.
Baca juga: Ziarah
Orang-orang tengah sibuk memotretnya. Aku pun mengeluarkan kamera digital dari tas kecilku. Kuakui senja sangat indah saat itu. Namun Eka yang sedang memandanginya, jauh lebih indah lagi bagiku. Aku mengambil beberapa gambar. Tentu bukan matahari senja yang aku potret.
Di malam hari, Lusi sempat menawariku minuman hangat. Setelah itu aku sangat kelelahan. Meski berat, nampaknya keindahan malam harus rela aku lewatkan.
***
Kami telah sampai di puncak. Pendakian dari sabana menuju puncak tak seberat kemarin. Padahal kami sudah berjalan dari selepas subuh. Kami bahagia dapat mencapai puncak. Semua orang merayakannya. Setelah kami memotret diri dengan kata-kata ucapan di atas kertas masing-masing, kami melingkar dan duduk-duduk santai.
Namun di tengah-tengah kami asyik bersantai, Ari tiba-tiba berdiri. Jelaslah semua mata tertuju kepadanya.
Dan Ari pun mulai berucap, ”Kawan-kawan bersaksilah. Di tempat yang indah ini aku akan menyatakan pengakuan.” Ari kemudian membacakan kata-kata indah dari secarik kertas yang ada di tangannya. Semua orang hening dan khidmat menyaksikannya. Barulah setelah semua orang menyadari bahwa Ari tengah menyatakan cinta kepada Eka, semua pun bersorak-sorai. Mereka histeris bahagia.
Ya, semua orang bahagia, kecuali aku. Dan Eka sendiri? Biasanya sulit untuk menebak ekspresi di wajahnya. Namun saat ini. Wajahnya berkata sejujur-jujurnya. Ia tak bisa menutup-nutupi. Kulit pipinya merona, jauh lebih indah dari senja hari yang lalu. Sungguh tak ada seorang pun yang menyangka ini akan terjadi.
Sedangkan hatiku remuk berkeping-keping. Senja yang kudambakan telah hilang sebelum sempat aku raih. Ia hilang telah dicuri orang. Bagiku rasanya tak akan ada lagi kehidupan setelah hari ini. Semuanya gelap melebihi malam tergelap sekalipun. Aku cemburu. Tapi aku tak bisa berbuat apa-apa.
Dan aku pun tak bisa mengendalikan diriku. Setelah Ari dan Eka duduk. Kutarik Lusi yang tengah duduk di sampingku. Aku menyeretnya ke tengah lingkaran. Dan tentu semua orang melihat pula ke arah kami.
“Lusi, maukah kau menerima cintaku?”
***
Matahari semakin condong ke barat. Namun Lusi masih saja betah duduk di sampingku serta merangkul tanganku.
”Aku masih tak menyangka. Ternyata kamu juga mencintaiku.” Tak sedikit pun ucapan Lusi menggetarkan hatiku. Mungkin hatiku terlampau kelu dan mati rasa akibat kejadian tadi. Namun Lusi berbeda denganku. Wajahnya semakin cerah dan memerah.
Aku masih tak menyangka. Ternyata kamu juga mencintaiku.
Kemudian Lusi melepaskan tas kecilku yang sedari tadi ia sandang. Ia mengeluarkan kamera dari dalamnya.
”Yaa... Baterainya habis, Han.” Terbit kekecewaan di wajah Lusi.
”Ya sudah, simpan saja kamera itu.”
”Aku masih ingin berfoto lagi denganmu pakai kamera kesayanganmu ini, Han.”
”Apa fotomu kurang banyak, Si? Sudahlah, simpan kamera itu.”
”Kamu kok sewot gitu sih, Han?” Lusi menyimpan kamera itu di atas tas kecilku di sampingnya. Aku tak menjawabnya. Beberapa detik kami hening hingga akhirnya Tirta dan Asti berteriak-teriak dari kejauhan. ”Woi pasangan baru, ayo sini. Kita foto-foto bareng.”
Aku dan Lusi salah tingkah dengan panggilan baru itu. Kami pun bangkit dan langsung berlari ke arah mereka.
***
Bekunya malam telah mencair oleh matahari pagi. Kami tengah di penginapan di kaki gunung. Kami siap pulang. Segala bawaan telah dibereskan, sarapan pun telah selesai kami habiskan. Tapi seketika itu kami tersentak dengan keramaian yang diciptakan Lusi.
”Han...!” Ujarnya dengan mata yang bulat penuh.
”Apa?” Rasanya malas menjawab seruannya.
”Kamera digitalmu tertinggal di puncak.” Jelasnya.
”Tas kecilnya?” Aku minta penjelasan.
”Tertinggal juga,” jawabnya. Alangkah lemasnya aku mendengar berita itu.
”Maafkan aku, Han!” Penyesalan dan rasa bersalah terbit di wajahnya. Mungkin karena ia menyaksikanku termenung lama.
Kamera digital itu memang sangat berharga bagiku. Meski murah dan tak berkemampuan wah, ia punya sejarah di hidupku. Ia adalah penangkap kenangan andal yang telah lama menemaniku. Sedih memang kehilangannya, tapi aku juga sedih harus mengabarkan kepada teman-temanku bahwa kunci mobil sewaan kami juga berada di tas kecilku yang tertinggal di puncak sana.
***
Herpin Nopiandi Khurosan
Lahir di Garut, 6 November 1988. Pernah belajar di Universitas Padjadjaran dan Universitas Gadjah Mada. Beberapa tulisannya tersebar di beberapa media berupa cerita pendek, cerita bersambung, dan cerita pendek terjemahan. Dua buku kumpulan cerpennya akan segera terbit dengan judul ”Lepidoptera” dan ”Hujan Tak Deras Malam ini, Air Matanya yang Deras”. Aktif bergiat di Sanggar EKS. Saat ini tinggal di Salatiga dan mengajar di IAIN Salatiga.