Ijazah Tembak Acad
Di tengah kebingungan, Acad menemukan jawaban ke mana arah pembicaraan Mamak selama ini. Berminggu-minggu Acad merasa perintah Mamak bagai misteri. Perintah yang harus dituruti tanpa tahu alasannya.
Di tengah kebingungan, Acad menemukan jawaban ke mana arah pembicaraan Mamak selama ini. Berminggu-minggu Acad merasa perintah Mamak bagai misteri. Perintah yang harus dituruti tanpa tahu alasannya. Setelah mendengar percakapan dua orang pelanggan kantin siang itu, barulah Acad mengerti apa yang diinginkan Mamak.
Beberapa minggu yang lalu Mamak melontarkan keinginannya agar Acad bersekolah lagi, tapi Acad menolak.
”Sudah saja, Mak. Orang-orang kan tidak tahu kalau saya tidak lulus SD. Kalau saya mendaftar di SKB buat ikut paket A berarti saya mempermalukan diri saya, membuka rahasia saya, kalau saya bersekolah hanya sampai SD kelas dua.”
Acad dan Mamak, ibunya, memang pendatang baru di Sogitia. Tiga tahun yang lalu, mereka pindah dari desa mereka, Huntu Dalam, ke ibu kota kabupaten baru itu setelah menjual kebun kelapa dan sawah yang mereka punya. Desa mereka dulu berada di ujung utara kabupaten dan bersebelahan langsung dengan Hutan Lindung. Maka sangat wajar kalau Acad tidak lulus sekolah, karena jarak sekolahnya sangat jauh.
Ketika mereka pindah ke Sogitia, tak ada yang tahu kalau Acad tak punya ijazah pendidikan apa pun. Tiga tahun yang lalu, saat hijrah, Acad sudah berumur 18 tahun, sudah lewat usia sekolah, jadi tidak ada yang curiga ketika Acad hanya di kantin membantu Mamak dan tak pernah berangkat ke sekolah.
”Sana pergi daftar di SKB. Di sana itu kau cuma belajar buat ikut ujian. Mamak sudah tanya ke Ester, orang Sidupa yang biasa makan di kantin sini. Dia kan kerja di SKB. Dia bilang cuma empat bulan saja kau sekolah. Satu minggu juga cuma dua kali datang. Jadi kau pasti bisa.”
”Sudah saja, Mak. Nanti tidak ada yang bantu Mamak di kantin kalau saya ke sekolah.”
Acad memang selalu membantu Mamak di kantin. Acad tahu, tidaklah mudah harus melayani pelanggan yang membeludak setiap jam istirahat kerja. Apalagi, pagi hari Mamak harus memasak semua makanan. Acad mengambil bagian untuk belanja bahan di pasar dan mencuci piring.
”Eh, kau kira mereka yang belajar di SKB sama dengan belajar di sekolah biasa? Yang satu hari full belajar? Di sana kau cuma pergi jam 4 sore, sebelum Magrib kau sudah pulang. Cuma sama saja dengan Taman Pengajian di Huntu Dalam.”
Walaupun, Acad tak tamat SD, namun Acad tetap mengaji di Taman Pengajian di Huntu Dalam. Tidak ada SD di Huntu Dalam, sehingga Acad harus berjalan kaki dengan jarak yang tak dekat saat harus berangkat sekolah. Itulah mengapa Acad memilih berhenti ketika kelas dua, apalagi di sekolah kadang tidak ada guru yang datang.
”Lelah-lelah ke sekolah, Bapak Guru tidak ada. Lebih baik saya di kebun dan sawah saja,” pikir Acad saat itu. Untunglah Ustaz Umar tak hanya mengakarkan membaca dan menulis huruf Hijaiyah, tapi juga mengajarkan baca tulis huruf Latin dan menghitung, jadi Acad bisa menulis dan membaca, juga tahu Matematika dasar. Mamak sangat percaya dengan kemampuan ustaz renta itu dalam mengajar, karena ustaz sepuh itu juga yang mengajarkan Mamak dan orang-orang sebaya Mamak calistung (baca, tulis, dan menghitung).
”Kalau sore, sudah tidak terlalu banyak orang datang, jadi tidak apa-apa kalau Mamak sendirian urus kantin.”
Mamak tetap ngotot. Dan Acad tetap menolak. Dia merasa tak butuh itu semua. Yang membingungkannya, dulu Mamak tak pusing-pusing ketika dia memutuskan untuk berhenti, dan Mamak cukup puas saat tahu Acad bisa membaca dan menghitung. Tapi sekeras apa pun Acad meniolak, lebih keras pula Mamak memaksa. Akhirnya Acad mengikuti kemauan Mamak, Acad pun mendaftar ke SKB.
***
”Oh, jadi Acad ini ternyata tidak lulus SD ya, Mamak Acad?” Tuti, teman kerja Ester di SKB yang siang itu makan di kantin bertanya kepada Mamak pertanyaan yang dia sendiri sudah tahu jawabannya. Sewaktu Acad mendaftarkan diri untuk mengikuti pendidikan paket A, Tutilah yang menerimannya.
”Oh ya? Ada juga orang zaman sekarang yang tidak lulus SD ya?” Timpal seorang pegawai lain yang entah dari Dinas atau Badan apa.
Lalu topik pembicaraan orang-orang di kantin berganti, mereka seolah kompak membicarakan topik orang-orang putus sekolah dan kejahatan dilakukan oleh orang-orang yang tak ”berpendidikan”.
”Itu Sabir yang preman pasar, dia kan juga tidak punya ijazah SMP. Sekolahnya cuma sampai SD. Tapi kalau menurut saya, dia itu tidak lulus TK. Kalau sekolah mana mungkin jadi pencopet.”
”Makanya sekolah, biar pintar. Biar tidak mudah dibodohi. Kalau sekolah, kita yang bisa bodohi orang.” Lalu terdengar suara tawa orang-orang dari kantin itu.
Acad yang saat itu sedang mencuci piring di bagian belakang kantin geram mendengar pembicaraan mereka, yang menurut Acad tidak menghargai perasaan Acad sebagai orang yang tak pernah punya ijazah.
Sesaat setelah kantin sepi, Acad mengajukan keberatannya kepada Mamak.
”Mak, pokoknya tidak mau saya sekolah. Biar saja saya tidak lulus SD, asal jangan suruh saya sekolah di SKB. Tidak mau saya diejek.”
”Eh Acad, sekolah saja. Kau harus sekolah. Awas kalau kau tidak mau dengar Mamak. Pokoknya kau harus sekolah. Tidak usah kau dengar mereka, dengar saja Mamak.”
”Baru kenapa Mamak paksa saya sekolah? Buat apa? Kenapa Mamak dulu tidak paksa saya sekolah? Nanti sekarang?” Acad merasa harus mengetahui alasan keteguhan hati Mamak. Lagi pula yang menjalaninya Acad, jadi sudah seharusnya Acad tahu mengapa dia harus sekolah.
”Begini, Cad. Ini kan kabupaten baru jadi kau harus sekolah.”
Acad mengerutkan kening sebagai tanda dia tidak mengerti dengan alasan yang dikemukakan Mamak.
”Lalu?”
”Jadi kalau tahun ini kau lulus paket A, baru kau daftar paket B. Nah, tahun depan kau lulus paket B, baru kau daftar lagi paket C. Berarti dua tahun depan kau bisa lulus paket C.”
Acad masih tidak menemukan jawaban dari pertanyaannya.
”Lalu?”
”Kau bisa bayangkan bagaimana orang lain kasih habis waktu dua belas tahun sekolah SD sampai lulus SMA, sementara kau hanya kasih habis waktu tiga tahun.”
”Apa Mamak punya maksud ini?”
Acad semakin bingung dengan arah pembicaraan ibunya. Kabupaten baru, pendidikan paket A sampai C dan perbandingan waktu pendidikan.
”Pokoknya sana sekolah. Kau tidak maukah bikin senang Mamak punya hati?”
Kalimat itu membuat Acad tidak bisa menolak. Itu seolah menjadi kalimat paling mujarab dari Mamak untuk Acad agar dia mengikuti keinginan Mamak. Bagi Acad, Mamak adalah satu-satunya harta yang harganya tak ternilai, membuat Mamak bahagia, berarti membahagiakan dirinya sendiri.
***
”Jadi itu kepala Dinas barumu pakai ijazah S-2 tembak?”
”Iya, itu ijazah tembak. Tidak pernah kuliah, tapi dapat ijazah. Dia buat begitu supaya cepat jadi eselon dua.”
”Hus-hus. Jangan keras-keras kalau bercerita tentang itu. Masalah ijazah tembak ini, terlalu sensitif. Jangan sampai karena pembicaraan ini kita berdua dimutasi di pedalaman kabupaten.”
”Iya kah?”
”Kau tidak tahu apa, bukan cuma kepala dinasmu yang pakai ijazah tembak. Bupati juga pakai ijazah S-1 tembak. SMA saja beliau tidak tamat, beliau cuma pakai ijazah paket C waktu mencalonkan diri jadi anggota DPR dulu. Malah Rano, yang kau punya teman sekantor itu, bisa jadi PNS cuma pakai ijazah paket semua dengan ijazah S-1 tembak. Dulu kan dia itu cuma sopirnya Wakil Bupati.”
Acad yang sedang mencuci piring di balik dinding berbahan tripleks, dapat menangkap jelas setiap kalimat yang mereka ucapkan walaupun mereka berbicara dengan suara yang sangat rendah. Dan kini tahulah Acad apa alasan Mamak memaksanya bersekolah. Pantas saja Mamak bawa-bawa kabupaten kita sebagai kabupaten baru, gumamnya dalam hati.
”Jadi Mamak mau saya nanti mendaftar jadi PNS daerah ya?” todong Acad malam itu, ketika kantin sudah tutup dan Mamak sedang menghitung uang pendapatan kantin.
”Ternyata pintar sekali anak Mamak ini. Biarpun tidak lulus sekolah, pintar sekali kau Acad. Baru tiga minggu saja kau sekolah, kau sudah pintar. Tidak salah Mamak suruh kau sekolah.”
Acad mengabaikan pujian Mamak yang tak berniat untuk memuji itu.
”Tapi saya...,” Acad belum menyelesaikan kalimatnya, Mamak langsung menyambung.
”Kalau tiga tahun kau sudah dapat ijazah paket C, Mamak mau beli ijazah sarjana tembak buat kau. Jadi nanti namamu Arsad Lingkau, SE. Sarjana Ekspres.”
Acad enggan merespons gurauan Mamak. Dia ingin mengutarakan keinginannya, tapi Mamak terus berbicara.
”Sebenarnya Mamak mau beli ijazah tembak itu dari sekarang tapi duit Mamak belum cukup.”
Mendengar itu Acad spontan merespons, ”Bagaimana bisa Mamak beli ijazah sarjana tembak sekarang? Masa ada orang dapat ijazah sarjana di tahun yang sama dengan ijazah paket A-nya.”
”Nah, itu kan Mamak bilang. Kau ini pintar. Kau lebih pintar dari Kepala Dinas yang mereka bicarakan tadi siang. Masa bisa dia beli ijazah tembak terlalu jauh di Surabaya, sementara orang tahu dia hanya berputar-putar di Sogitia dan sekitarnya. Dia saja bisa jadi Kepala Dinas, apalagi kau.”
”Mamak, tapi saya...” Lagi-lagi kalimat Acad menggantung.
”Jadi nanti empat tahun lagi, kau coba daftar CPNS. Si Bakir yang kerja di BKD bilang, setiap dua tahun ada penerimaan CPNS di sini karena ini kabupaten baru. Jadi pas sekali. Pas Mamak beli ijazah sarjana tembak untuk kau, kau sudah bisa daftar CPNS di tahun yang sama. Nah sekarang kau bicara? Apa mau kau bilang?”
”Saya tidak mau jadi PNS, Mak. Saya mau bantu Mamak saja di kantin. Saya mau kantin ini bangunannya bisa jadi permanen dan diperluas. Biar orang-orang yang makan di sini tidak antre di luar dan kita bisa menerima satu atau dua orang karyawan untuk bantu-bantu. Hitung-hitung membuka lapangan kerjalah.”
”Oh, itu bagus. Mamak suka itu.” Acad lega mendengarnya.
”Jadi, daripada beli ijazah tembak sampai puluhan juta, lebih baik duitnya buat bangun kantin ini saja.”
”Oh, tidak bisa, bangun kantin nanti, kalau kau sudah jadi sarjana, biarpun cuma sarjana ekspres.”
”Tapi buat apa mak? Membangun kantin tidak perlu ijazah, apalagi cuma ijazah tembak.”
”Kan Mamak sudah bilang, kau daftar PNS kalau sudah jadi sarjana.”
”Tapi saya tidak mau jadi PNS, saya...”
”Kalau tidak mau jadi PNS tidak apa-apa. Mamak hanya mau kau daftar dan ikut tes saja. Mamak mau lihat, pintar mana kau atau orang-orang yang sekolah 12 tahun ditambah kuliah 4 tahun.”
--------------
Nur Husna Annisa lahir di Manado. Narablog dan editor ini pernah mengikuti Kelas Cerpen Kompas 2018. Tahun 2019 dia menerbitkan buku antologi cerpennya, Pulau Kramat.