Larasati, Akses Belajar Seluasnya untuk Anak-anak Borobudur
Meski tak bekerja sebagai guru, Larasati (49) tergerak mengembangkan kegiatan pembelajaran gratis bagi anak-anak di kawasan Borobudur. Dia mengajak anak-anak belajar bahasa Inggris serta sejumlah keterampilan lain.
Oleh
REGINA RUKMORINI
·5 menit baca
Meski tak memiliki latar belakang pendidikan formal sebagai guru, Larasati (49) tergerak mengembangkan kegiatan pembelajaran gratis bagi anak-anak di kawasan Borobudur, Kabupaten Magelang, Jawa Tengah. Melalui kegiatan itu, Larasati mengajak anak-anak belajar bahasa Inggris serta sejumlah keterampilan lain agar mereka memiliki bekal untuk menggapai masa depan lebih baik.
Larasati lahir dan besar di Dusun Kenayan, Desa Borobudur, Kecamatan Borobudur, Magelang. Rumah masa kecilnya hanya berjarak sekitar 200 meter dari Candi Borobudur. Ayahnya juga bekerja sebagai petugas kebersihan di candi tersebut. Oleh karena itu, sejak kecil, perempuan yang akrab disapa Atik itu sudah kerap berkunjung ke Candi Borobudur.
Kesempatan itu dimanfaatkan Atik untuk belajar bahasa asing dengan mendengarkan percakapan antara pemandu wisata dan turis mancanegara. Dari proses itu, dia sedikit demi sedikit belajar bahasa Inggris dan Jepang. Pertemuan dengan para pemandu wisata juga membuat Atik bisa belajar tentang cerita-cerita yang terpatri di relief Candi Borobudur.
”Saat ada rombongan wisatawan datang bersama pemandu, saya biasanya akan mendekat. Berlagak melihat-lihat relief, saya sebenarnya numpang, ikut mendengarkan penjelasan dari pemandu wisata,” ujar Atik saat ditemui, Minggu (9/10/2022), di Magelang.
Pada awal tahun 1980-an, saat Atik masih kanak-kanak, pemerintah melakukan penataan di kawasan Candi Borobudur. Penataan itu membuat ratusan keluarga di sekitar Candi Borobudur, termasuk keluarga Atik, harus pindah. Masyarakat yang pindah itu kemudian mendapat uang ganti rugi.
Sebagian besar warga menggunakan uang itu untuk kebutuhan konsumtif, seperti membeli sepeda motor. Namun, orangtua Atik memilih menabung uang itu. ”Bapak ibu saya merasa perlu menabung karena menurut mereka uang itu dibutuhkan untuk bekal membiayai pendidikan anak-anaknya kelak,” tutur perempuan kelahiran Magelang, 2 Februari 1973 itu.
Keputusan orangtuanya itulah yang membuat Atik memahami betapa pendidikan merupakan sesuatu yang sangat penting. Apalagi, di kemudian hari, keputusan tersebut terbukti tepat. Saat banyak tetangganya kehabisan uang dan akhirnya terpaksa menjadi pedagang asongan di kawasan Candi Borobudur, Atik tetap bisa melanjutkan pendidikan.
Bahkan, setelah lulus SMA, Atik bisa belajar bahasa Jepang secara langsung di ”Negeri Sakura”. Sesudah kursus selama enam bulan di Jepang, dia lalu kembali ke Indonesia.
Meski tak punya latar belakang pendidikan formal sebagai guru, Atik memang tertarik dengan dunia pendidikan sejak kecil. Saat masih duduk di bangku sekolah dasar (SD), dia sering dimintai tolong untuk mendampingi anak-anak tetangga sekitarnya untuk belajar dan mengerjakan pekerjaan rumah. Setelah beberapa waktu, dia juga sempat menjadi guru les untuk anak-anak.
Kesulitan ekonomi
Pada tahun 2008, Atik merasa tergerak saat melihat kesulitan ekonomi yang dialami sejumlah remaja yang merupakan anak dari pedagang asongan di kawasan Candi Borobudur. Dia lalu mengajak 13 remaja lulusan SMA itu untuk membantu bekerja di penginapan yang dikelolanya di Yogyakarta. Mereka dilatih untuk melayani tamu serta mengerjakan tugas lain, misalnya merapikan kamar dan membersihkan penginapan.
Selama bekerja, para remaja itu digaji dari pendapatan yang diterima Atik. Selain itu, Atik juga mengajak mereka belajar bahasa Inggris, berlatih membuat surat lamaran kerja, hingga latihan menjalani wawancara kerja. Pelatihan itu berlangsung selama sekitar enam bulan.
Setelah itu, Atik mendampingi remaja-remaja itu hingga akhirnya mereka diterima bekerja di kapal pesiar dan hotel. ”Sesudah bekerja, mereka juga saya minta untuk membantu membiayai pelatihan atau pendidikan anak-anak lain di kawasan Borobudur,” kata Atik yang aktif menulis dan telah menerbitkan tiga buku.
Keberhasilan mendampingi 13 remaja itulah yang membuat Atik meneruskan kegiatan pembelajaran untuk anak-anak di kawasan Borobudur. Pada tahun 2017, Atik membuat kegiatan pembelajaran yang melibatkan sekitar 40 anak di Desa Ngadiharjo, Kecamatan Borobudur. Kegiatan yang digelar di teras rumah warga itu mencakup pembelajaran bahasa Inggris, membaca buku, dan bercerita.
Setelah beberapa waktu, Atik lalu berpindah dengan mengajar anak-anak di sekitar Candi Pawon, Desa Wanurejo, Kecamatan Borobudur. Pada tahun 2019, Atik mendirikan Sekolah Kasih-I CARE untuk mewadahi kegiatan pembelajaran anak-anak di kawasan Borobudur. Frasa “I CARE” dalam nama sekolah itu merupakan singkatan dari integrity, collaboration, accuracy, responsibility, and excellent.
Bahasa Inggris menjadi materi pembelajaran utama di sekolah yang berlokasi di Desa Karangrejo, Kecamatan Borobudur, itu. Namun, ada juga sejumlah kegiatan lain di sekolah tersebut, misalnya bermain musik, menyanyi, memasak, sepak bola, menari, melukis, dan lainnya. Kegiatan memasak dilakukan untuk melatih kemandirian anak-anak dalam pekerjaan rumah tangga, sedangkan aktivitas belajar lainnya lebih dimaksudkan untuk menambah keterampilan sekaligus hiburan.
Selain itu, ada juga upaya penanaman budi pekerti di sekolah tersebut. Untuk mendukung pembelajaran itu, terdapat tujuh guru serta sejumlah sarana pendukung. Karena bukan sekolah formal, pembelajaran Sekolah Kasih-I CARE tak mengacu pada kurikulum nasional. Atik bersama para guru merumuskan sendiri kurikulum pembelajaran.
Para murid juga dibebaskan untuk memilih kegiatan yang mereka sukai. Selain itu, materi pembelajaran pun bisa dipadupadankan. Aktivitas memasak, misalnya, bisa dimanfaatkan untuk memperdalam kosakata terkait bumbu-bumbu dalam bahasa Inggris.
Saat ini, kegiatan belajar di Sekolah Kasih-I CARE diikuti sekitar 50 anak dan remaja dari Desa Karangrejo dan sekitarnya. Usia mereka bervariasi, antara 2 tahun hingga 20 tahun. Namun, kebanyakan murid di sekolah tersebut adalah anak-anak SD.
Kegiatan pembelajaran di Sekolah Kasih-I CARE bisa diikuti secara gratis. Untuk membiayai sekolah itu, Atik menyisihkan sebagian penghasilannya dari penyewaan guest house dan pendapatan biro travel miliknya. Selain itu, Atik juga mendapat dukungan dana dari teman akrabnya semasa SMA.
Meski tak punya latar belakang pendidikan formal sebagai guru, Atik memang tertarik dengan dunia pendidikan sejak kecil.
Selain Sekolah Kasih-I CARE, aktivitas pembelajaran yang dirintis Atik di tempat lain, misalnya di Desa Ngadiharjo dan Desa Wanurejo, juga masih berjalan. Pembelajaran di dua lokasi tersebut diikuti oleh puluhan anak dan dikoordinasi oleh para mantan murid Atik. Untuk memastikan keberlanjutan aktivitas itu, Atik juga memberi gaji untuk mantan muridnya yang kini menjadi pengajar.
Semua itu dilakukan Atik karena dia ingin anak-anak di kawasan Borobudur mendapat akses belajar yang seluas-luasnya sehingga mereka memiliki masa depan yang lebih baik. ”Dengan memberi pendidikan dan keterampilan, saya berharap anak-anak Borobudur memiliki bekal untuk meraih masa depan yang cerah,” ujarnya.